Pages

Kamis, 12 Maret 2015

Cerpen : Saat Hati Memilih



Saat Hati Memilih


Malam itu aku pulang bersama Dimas, sebenarnya aku ingin sekali pulang bersama Julian, tetapi sayang tempat tinggal kami tidak searah, kost-anku dan kost-an Julian bertolak arah, jadi aku pulang diantar Dimas yang searah denganku. Malam ini sudah cukup larut, bahkan bisa dibilang sudah dini hari, ini sudah jam dua pagi, dan aku baru pulang, bisa gawat kalau Ibu pemilik kost tahu aku pulang larut malam, bukan karena peraturan di tempat kost yang melarang anak-anak kostnya pulang malam, tetapi karena Ibu kost yang menganggap aku, dan juga anak-anak kost lain seperti anak mereka sendiri, mereka khawatir jika anak-anak mereka pulang sampai larut malam, bahkan dini hari. Selayaknya orangtua yang geram melihat anaknya, atau lebih tepatnya anak perempuannya pulang malam, Bu Rima pemilik kostan akan ngomel-ngomel kalau ada yang ketahuan pulang pagi, seperti aku sekarang ini. 

Sesampainya di depan kost-an aku langsung menelepon Ririn teman kost-ku untuk memantau keadaan supaya aku aman memasuki kost-an dan tidak kena omel oleh Bu Rima. Saat keadaan kira-kira aman, barulah aku masuk. Ririn dengan mata merem-melek dan dengan kondisi yang aku yakin dia sekarang setengah sadar membukakan pagar untukku, kasihan temanku ini, aku sudah mengganggu tidurnya. 

“Ganggu aja lu, gue ngantuk tau!” Marah Ririn saat kami sudah dikamar.
Aku dan Ririn satu kamar tetapi beda tempat tidur.

“Sorry ya Rin, lagian lu malem minggu gini masa kerjaan lu cuma tidur?”
“Gue ga suka kelayapan kaya lu!”

“Gue bukan kelayapan, gue cuma melepas penat setelah seminggu kerja.”

Whatever.”

“Diantar siapa lu tadi?” Tanya Ririn dengan mata sayup, maklum namanya juga orang ngantuk dan mungkin saja saat ini Ririn setengah sadar.

“Gue diantar Dimas, pengennya sih Julian, tapi kan kita nggak searah, dia dimana gue kemana. Gue nggak tega minta dianterin sama dia.”

“Laki lu nggak ngamuk lu pulang jam segini? Satria sabar banget ya, beruntung lu punya pacar kaya Satria” 

“Dia nggak akan marah, ya iyalah. Amel gitu… Rin, gue mau cerita.”

“Besok aja Mel, gue ngantuk.” Jawab Ririn malas sambil naik ke tempat tidur dan memeluk gulingnya.

“Rin, dengerin gue.” Kataku sambil duduk ditempat tidur Ririn.

“Berisik Mel. Gue ngantuk ah.” Ririn mengambil selimut dan menutup wajahnya dengan selimut. Aku memukul Ririn dengan bantal gulingku lalu aku menuju ke tempat tidurku.

          Ya Tuhan, perasaan macam apa ini? Aku mencoba untuk tidur, tetapi terus terbayang saat tadi aku nongkrong dengan teman-temanku. Dimas dan Julian adalah teman-teman dari kantor lamaku. Ya, aku sekarang bekerja di perusahaan Advertising setelah kemarin aku bekerja pada perusahaan Asuransi. Aku masih dekat dengan teman-teman dari kantor lamaku. Aku teringat kejadian tadi. Saat bermain bowling Julian mengajariku cara melempar bola, bahkan saat karaokean tadi.

Sebenarnya bukan hanya aku, Julian dan Dimas yang tadi pergi, ada juga Selvi dan beberapa teman yang lain, tetapi aku tidak terlalu menghiraukannya. Aku terpaku hanya pada Julian. Iya Julian, dan entah apa yang ada dalam pikiranku tadi, aku tidak ingat pada Satria pacarku saat tadi. Pada saat karokean itupun aku menyanyikan lagu “Suka sama kamu” dari band Bagindaz, aku menyanyikannya untuk Julian. Iya, untuk Julian, dan saat menyanyikan lagu itu aku duduk disamping Julian, Julian memegang tanganku, tidak, lebih tepatnya menggenggam. Julian menggengam tanganku saat aku menyanyi tadi. Saat itu juga aku duduk disamping Julian, kami begitu dekat, bahkan aku menggandeng tangannya.

Oh my! Selesai karaoke, dan saat keluar dari tempat karaoke aku berjalan disamping Julian, dan tak kusangka Julian merangkulku, aku antara ingin melepaskan rangkulannya atau menerima rangkulannya. Aku ingin melapas rangkulannya karena aku ingat Satria, pacarku. Sementara aku ingin terus dirangkulnya karena aku merasa nyaman, dan bahagia. Oh My!

Sudah hampir pukul empat subuh, aku belum bisa tidur juga. “Satria, maafkan aku ya sayang.” Ucapku dalam hati. Pikiranku masih melanglang buana, dari Sabang sampai Merauke kembali lagi ke Sabang tiba lagi di Merauke. Pikiranku mulai tidak jelas. Aku sudah lama kenal Julian, sejak aku menjadi karyawan baru di kantornya, sampai sekarang aku resign. Sementara Satria, aku juga sudah lama kenal dengan Satria, dan dalam hubungan ini kami hampir setahun berpacaran, aku dan Satria bahkan sudah berencana untuk serius dan Satria ingin membawaku dan memperkenalkan aku kepada kedua orangtuanya juga keluarga besarnya. Aku pernah memperkenalkan Satria pacarku kepada teman-teman kantor lamaku, kepada Dimas juga kepada Julian. Satria kini berada di Surabaya, dia bekerja disana. 

Aku berharap Satria baik-baik saja disana, dan tidak tergoda oleh wanita lain, tetapi apa yang terjadi dengan aku, aku mulai tergoda. Laki-laki seperti Satria, tentunya menjadi incaran perempuan-perempuan lain, dengan wajah yang oke, pekerjaan yang bagus dan kepribadian yang manis membuat Satria banyak yang ingin mendekati, aku benar-benar beruntung bisa menjadi calon istri Satria. Pikiran-pikiran itu terus bermain dalam otakku sampai aku tertidur. Satria.
***
“Kamu pulang jam berapa semalam?” Tanya Satria saat dia meneleponku

“Eum…. Aku sampe kost-an jam tiga kurang.” Jawabku takut.

“Ngapain aja sih? Pergi sama siapa sampe pulang subuh gitu?”

“Maaf ya sayang. Aku pergi sama temen-temen kantor lama.” Jawabku dengan nada melas. Aku takut Satria marah.

“Sama temen kantor apa sama pacar baru?” Tanya Satria curiga.

“Heh! Kamu itu apa-apaan sih! Nggak ada pacar baru, nggak ada pacar aku selain kamu.” 

“Cuma kamu sama Tuhan yang tau.” Ketus sekali jawaban Satria.
Kami mulai ribut ditelepon, Satria biasanya kalau sudah ribut begini ujung-ujungnya aku dikasih kuliah enam SKS, Satria kalau sedang marah aku bisa diceramahi ini itu, dan seperti yang ku katakan tadi, enam SKS! Aku sedang dikamar bersama Ririn, Ririn langsung pergi keluar kamar saat dia mulai merasakan aura negatif dikamarnya. Aura negatif yang datang dariku, karena aku mulai ribut dengan Satria. Setelah ceramah enam SKS selesai Ririn kembali ke kamar.
“Kenapa sih? Ribut melulu.” Tanya Ririn.

“Biasalah orang pacaran masa nggak ada ribut.”

“Lu udah pacaran jarak jauh, masih aja ribut-ribut.”

“Berisik lu. Kaya nggak pernah pacaran aja.” 

Seketika Ririn diam. Aduh! Aku salah ngomong. Aku membuat Ririn sedih dengan perkataanku, Ririn pasti sedih dan ingat kejadian itu. Kejadian saat pacar Ririn meninggal dunia bersama selingkuhannya. Harusnya Ririn bersyukur pacarnya yang berkhianat telah meninggal, bahkan bersama selingkuhannya itu. Pengkhianat seharusnya mati.

“Rin, maafin gue ya.” Ucapku sambil menghampiri Ririn.

“Iya Mel. Gak apa-apa. Pengkhianat udah seharusnya mati!” Ririn murka.

Deg! Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Pengkhianat? Apakah aku pengkhianat? Mengkhianati Satria dengan rasa yang kumiliki sekarang? Ah, aku tidak menyukai Julian. Tidak! Aku tidak menyukai Julian. Aku bukan pengkhianat!
 
“Mel, lu kenapa bengong?”

“Ah,, mmmm.. nggak Rin.”

“Julian ganteng ya, lu kayaknya bahagia tiap kali cerita tentang Julian.”

“Lebih ganteng Satria.” Jawabku

“Lu suka ya sama Julian?”

“Ngga Rin, ada-ada aja lu.” Aku mengelak, entah aku benar-benar tidak menyukai Julian, atau aku sedang mengingkari perasaanku.

“Suka juga ga apa-apa kok, Julian ganteng. Lagi pula Satria jauh.”

“Nggak mungkin lah Rin gue suka Julian.”

“Nggak ada yang nggak mungkin sayang.” 

“Gue mencoba dan memilih setia pada Satria.”

“Bagus kalo lu setia, tapi harus lu tau Mel, kesetiaan itu bisa dikalahkan dengan orang yang selalu ada.”
***

          Mungkin benar aku menyukai Julian, bahkan dulu alasanku resign dari kantor lama adalah karena aku tidak ingin satu kantor dengan Julian, dan ingin menghindari Julian, apa mungkin dari dulu aku sudah menyukai Julian? Aku menghindari Julian sejak lama, sejak aku berpacaran dengan Satria. Jujur aku tidak tahan dengan godaan, dan saat itu aku berfikir aku mulai tergoda dengan Julian, dan aku memilih menghindar dari godaan itu. Perempuan mana yang tidak tertarik dengan Julian. Tampan, mapan, perhatian. Sempurna. Dan aku adalah salah satu dari mereka itu. Tidak salah lagi, aku benar menyukai Julian. Aku benar-benar bingung, aku sayang Satria namun aku sudah lama menyukai Julian, apa yang harus lakukan, siapa yang akan aku pilih. Entahlah, aku tak tahu.
“Rin, Julian ngajak gue ketemu.”

“Ya terus?” Tanya Ririn cuek. 

“Gue harus gimana? Gue ketemu atau gue tolak? Gue takut.”

“Apa yang lu takutin Mel? Lu takut lu semakin suka sama Julian.”

Aku hanya diam, tidak menjawab pertanyaan Ririn.
***

          Aku akhirnya bertemu juga dengan Julian ditempat yang telah kami tentukan, masih terlalu pagi jika ingin menghabiskan waktu weekend ini, aku langsung menuju tempat yang sudah kami sepakati,  tidak ada yang spesial disini, hanya jalan-jalan dan makan, dan ketika makan.

          “Mel, Dimas, ngomong apa sama lu?” Tanya Julian saat makan.

          “Ngga ada.”
 
          “Yakin?” 

          “Mmmm… Dimas mau jodohin kita, padahal Dimas tau gue udah punya pacar. Rese temen lu itu.”

          “Temen gue kan temen lu juga.” Jawab Julian.

“Lu suka kan sama gue?” Lanjut Julian, dan jujur pertanyaan Julian membuatku tiba-tiba batuk. Aku diam sejenak, memandang Julian, memandang matanya, mencoba melihat dan merasakan apa yang dia rasa saat ini.

          “Julian, gue tau lu cakep, lu keren, kerjaan lu juga udah bagus, cewe mana yang nggak suka sama lu, kalau di bilang gue suka sama lu, sebagai cewe normal gue akui gue suka sama lu tapi gue tekankan, gue sebatas suka sama lu, gue nggak pernah sedikitpun berharap apapun terjadi diantara kita.” Jawabku dengan tegas.
          “Yakin? Yakin cuma suka? Ga ada perasaan lain?” Goda Julian.

          “Gue yakin karena perasaan cinta dan sayang gue cuma untuk Satria.” 

          “Makasih atas kejujuran lu ya Mel.” Jawab Julian tersenyum.

Aku membalas senyumnya, setelah selesai makan aku pamit pulang kepada Julian, dan sejak saat itu aku mulai jaga jarak dengannya karena aku hanya ingin menjaga rasa yang ada antara aku dan Satria.

 Jika hatiku boleh berbicara dia akan mengakui bahwa aku menyukai Julian, namun hatiku tak bisa ingkar jika sayangku hanya untuk Satria. Aku memang menyukai Julian sejak lama, namun aku sadar bahwa rasa suka itu hanyai sampai disitu, ku akui hingga kini aku masih menyukai Julian, walau sempat terfikir apakah aku harus menduakan Satria karena aku menyukai Julian, ataukah aku memutuskan hubungan dengan Satria lalu pergi bersama Julian, aku sadar itu hanya fikiran bodoh. Aku sadar itu adalah godaan saat jarak jauh, dan aku sadar rasa sayang ini akan tetap bertahan. Saat hati berbicara dia memilih orang yang membuatnya nyaman, saat hati berbicara dia memilih untuk setia karena aku yakin kesetiaanku kepada Satria tidak akan sia-sia. Saat hati berbicara dengarkanlah dia, karena dia akan membawamu kepada kebahagiaan.

*** END ***
Tentang Penulis :

Siska L. Rumahorbo. Suka Real Madrid C.F, suka Cristiano Ronaldo (tapi sayang Ronaldonya ga suka Siska), suka Mario Gotze (dan ternyata Mario Gotze juga suka Siska, *dalam mimpinya Siska*). Alumni Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten. Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. FB : Siska Lasria Rumahorbo. Twitter : @kikareky dan @kim289_, LINE : siskalasriarumahorbo. Blog: siskalasriar289.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar