Pages

Selasa, 03 Maret 2015

Cerpen : Curahan Hati Sang Mentari



Curahan Hati Sang Mentari
(Oleh : Gisela Maria)

Ini hanyalah sebuah tulisan kecil, hasil refleksiku pada suatu senja, kuberi nama “Curahan Hati Sang Mentari”.

Aku mengeluh, setiap keluar rumah rasanya seperti akan berhadapan dengan musuh, padahal tak ada sedikitpun tanda-tanda akan ada perusuh. Gerah, suasana di luar rumah membuat semakin jengah. Panas, panas ini membuat hati mengganas. Tapi ada ketakutan yang sedikit berlebihan, aku takut.
Dulu kau begitu ramah, setiap aku keluar rumah kau selalu tersenyum cerah, aku pun tak takut untuk berjumpa denganmu, kapanpun dimanapun, bahkan sendirian sekalipun. Kau duduk di tahtamu, di tempat tertinggi. Aku keluar seorang diri, berdiri sendiri menantang menatapmu dengan berani. Aku kaumandikan dengan kehangatan yang tak pernah bisa aku lupakan. Tapi kini, jangankan menatapmu, untuk keluar pun sekarang rasanya aku enggan.
Kau telah berubah. Kau memang tersenyum cerah, tapi senyummu terlalu cerah, seakan-akan ingin membunuhku. Senyummu seolah-olah ingin membakarku hidup-hidup. Kini aku enggan untuk menyapamu, menatapmu aku tak mampu, senyummu terlalu angkuh. Mungkin sekarang kau akan tertawa karena aku tak lagi bisa berdiri seorang diri untuk menantangmu dan menatapmu. Senyum angkuhmu itu terlalu menyilaukan mataku. Setiap aku bediri di luar sana, kau seperti telah siap menghanguskan aku, hangatmu telah memanas dan memanggangku sampai aku tak mampu meneriakkan kata menyerah lagi. Begitu dahsyatnya perubahanmu dalam waktu sekejap. Kini, kau yang dulu begitu aku sayangi, telah berubah menjadi sesuatu yang menakutkan.
Suatu senja, ketika aku duduk sendiri dan diam terlalu sunyi, hingga sayup-sayup kudengar sebuah suara yang mengajakku berbicara. Terdengar lirih.
Aku tidak pernah berubah, Tere. Kalaupun aku berubah, itu bukan kemauanku. Tak sadarkah kau, siapa yang membuatku jadi begini? Ini ulahmu, ulah teman-temanmu, ulah kalian semua.”
“Suara siapa itu?” aku menoleh ke kanan dan kiri. Kupastikan aku sedang sendirian sore itu. Sampai ketika aku melihat kau sedikit meredup karena tertutup segumpal awan yang melintas
“Ini aku, Mentari,” ucapmu masih dengan lirih.
“Hey? Ini ulahku? Memangnya kapan aku berulah? Pernahkah aku melakukan sesuatu yang membuatmu berubah menjadi sesosok monster?” tanyaku setelah tahu bahwa kau yang mengajakku berbicara.
Astaga, bahkan kau sendiri tidak menyadarinya? Baik, aku akan membantumu mengingatnya,” kau mengajakku kembali mengingat semuanya. “Apa kau ingat, apa yang kau lakukan ketika kau sedang menulis, lalu salah? Kau meremas kertas itu dan membuangnya. Kemudian kau membuat kesalahan lagi, meremasnya lagi, dan membuangnya lagi. Kau lakukan itu berulang kali. Padahal kertas itu masih banyak yang kosong.”
Aku terdiam ketika mengingat kejadian itu. Kejadian sepuluh tahun yang lalu ketika pertama kalinya aku mulai menulis. Dulu aku belum memiliki laptop sehingga kertas dan pena adalah andalanku untuk menumpahkan segala ide di kepalaku.
Setelah itu, apa kau ingat, apa yang kau lakukan dengan kertas-kertas itu setelah menumpuk?” lanjutmu. “Kau membuangnya ke tempat sampah. Dari tempat sampah, kau membawanya ke mana? Ke tempat pembakaran, lalu dengan entengnya kau menyalakan pemantik api itu dan membakar habis kertas itu.”
Lagi-lagi aku terdiam, memikirkan hal-hal yang kau katakan. Aku seperti mendapat tamparan keras. Lagi-lagi ucapanmu benar, itu juga memang perbuatanku.
Apakah kau pernah berpikir, Tere, berapa banyak pohon yang ditebang untuk menghasilkan selembar kertas? Pohon-pohon itu habis hanya untuk menghasilkan kertas, yang pada akhirnya malah kau sia-siakan. Itu baru perbuatanmu, bayangkan bila semua orang melakukan hal yang sama seperti yang kau lakukan. Berapa banyak pohon lagi yang harus mati sia-sia? Dan ketika mereka telah habis, tak ada lagi yang akan menggantikan mereka melindungi tempat tinggalmu.”
Aku tertunduk malu mendengarkan setiap katamu, hati ini rasanya seperti ditikam belati beracun. Namun semuanya membuatku berpikir lagi, benarkah itu semua? Sekejam itukah aku? Sekejam itukah manusia-manusia lainnya? Mengapa tak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa akan berdampak seperti ini?
“Kau tahu, Tere? Dari dulu aku memang panas, bila tak panas maka tak akan ada kehidupan di dunia ini. Tapi karena kau membakar kertas-kertas itu, maka aku semakin panas, ditambah lagi pohon-pohon yang telah mati sia-sia itu. Itu baru perkara kertas, belum lagi tunggangan mesin andalanmu itu, yang setiap hari tak pernah berhenti kau ajak berkeliling kota. Itu baru kau, belum yang lainnya. Dari atas sini aku bisa melihat berapa jumlah mesin berjalan itu, semakin hari semakin bertambah banyak, sedangkan jumlah pohon semakin berkurang.”
Segumpal awan yang tadinya menutupi sebagian ‘wajah’mu, telah berlalu tersapu angin. Cahayamu yang keemasan segera menerpa wajahku. Senja itu kau memang marah, tapi cahayamu ramah. Aku bisa merasakan kehangatanmu yang dulu selalu kunanti. Setelah diam beberapa saar, kau melanjukan curahan hatimu lagi.
“Di sudut lain, alat yang begitu kalian banggakan, yang membuat kalian betah belama-lama di dalam rumah, yang membuat ruangan kalian serasa berada di Eropa. Kalian di dalam sana boleh merasa nyaman, tapi apakah kalian tidak sadar bahwa zat yang dihasilkan oleh alat itu telah membuatku semakin panas juga?”
Aku tahu alat apa yang kau maksud. AC, tentu saja. Siapa yang tidak betah berada di ruangan ber-AC? Dengan keadaan Bumi yang semakin memanas ini, semua orang lebih memilih berdiam diri di dalam ruangan ber-AC. Tapi tanpa disadari freon yang dihasilkan oleh mesin pendingin itu ikut memicu menjadi penyebab menipisnya lapisan ozon. Itu juga yang membuat kau kian memanas.
Kau pikir aku mau jadi seperti ini, Tere?” lanjutmu lagi. “Kau pikir aku mau dianggap seperti monster? Tentu tidak, Tere. Kau dan teman-temanmu sekarang menganggapku seperti musuh. Setiap keluar rumah, kalian memakai baju tebal, topi, sarung tangan, bahkan kacamata gelap. Aku terlalu panas, aku terlalu menyilaukan, aku menghanguskan kalian. Ya, mungkin aku memang tidak menginginkannya, tapi itulah harga yang harus kalian bayar atas apa yang telah kalian lakukan!”
Untuk yang kesekian kalinya aku tersentil mendengar ucapanmu. Apa-apaan ini? ternyata aku sendiri yang telah mengubahmu menjadi monster. Iya, jika sekarang aku jadi takut denganmu, itu juga karena aku sendiri yang terlalu angkuh. Dulu aku masih bocah kecil yang tahunya hanya bermain dan bermain. Ketika beranjak remaja, mulai banyak hal kecil yang aku lakukan. Hingga akhirnya sekarang, ketika hal kecil itu telah menjadi besar, dan saat inilah aku menuai hasilnya. Benar katamu, inilah harga yang harus aku bayar.
Apa aku akan diam saja? Apa aku akan membiarkan keadaan tetap begini? Tentu tidak. Aku ingin mengubahmu menjadi sahabatku lagi, seperti ketika aku masih kecil dulu. Apapun akan aku lakukan untuk mengembalikan Mentari-ku seperti dulu lagi. Aku ingin kau tersenyum hangat lagi, dan aku ingin senyummu selalu dinanti, bukan hanya saat senja hari.
Hai, pohon hijau nan mungil, cepat besar ya, Nak. Mentari membutuhkanmu, kami semua membutuhkanmu, batinku sambil menyirami salah satu anak pohon di halaman rumah. Anak pohon angsana yang sudah kupelihara selama satu tahun ini, semoga bisa membuat Mentari tersenyum ramah lagi.

-The End-

Gisela Maria Swastika Sari Manohara, lahir di Palembang, 3 Mei 1991. Sulung dari tiga bersaudara. Masih tercatat sebagai Mahasiswa Teknik Arsitektur Sekolah Tinggi Teknik Musi yang sibuk dengan Tugas Akhir, namun selalu tergoda untuk menulis dan menulis lagi. Penikmat coklat, pengagum musik, dan pecinta malam alias tukang begadang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar