Pages

Senin, 21 Juli 2014

Bintang, Tunjukkanlah Jalan Pulang Kepada Ayahku!


Cerpen terbaik I dalam event bertema "RINDU"
(Penerbit Mafaza Media)

Bintang, Tunjukkanlah Jalan Pulang Kepada Ayahku!
Oleh Rizky

Angin malam berembus dengan lembut. Bunga-bunga dan dedaunan bergoyang mengikuti iramanya. Mbah memelukku, melindungi dari dinginnya angin yang menusuk-nusuk.
“Ayo masuk ke dalam nduk! Nanti kamu bisa masuk angin. Kalau masuk angin disuntik Bu Dokter loh! Jussss.” Mbah mulai mengeluarkan jurus rayuannya. Aku tidak peduli dan melepaskan pelukannya. Aku kembali melompat-lompat di atas bangku bambu  yang lebarnya lebih dari tinggi badanku. Tepat di atasnya aku bisa melihat langit bertabur jutaan bintang yang berkedap-kedip genit. Aku gemas. Awas kau! Akan ku tangkap! Aku melompat lagi seraya menggapai bintang dengan kedua tanganku. Aku melompat lagi, lebih tinggi.
“Looooompaaaat!” lengkingku.
“Hop!” mbah meraih dan mendekapku kembali. “jangan lompat-lompat nduk! Nanti kamu bisa jatuh!”
“Bintang mbah. Ais mau bintang.” Rengekku.
“Ais mau bintang? Ambilnya harus pake roket sayang. Nanti Ais minta roket ke ayah ya! Biar bisa ambil bintang.”
Roket itu apa mbah?”
“Roket itu kendaraan canggih yang bisa buat terbang ke langit untuk ambil bintang.”
“Oooh harrus pake roket ya? Ais tunggu ayah deh. Ayah kapan pulang sih mbah?”
“Kalau Ais mau nurut sama mbah, ayah pasti akan cepat pulang. Anak manis, nurut ya sama mbah! Bobo dulu yuk!”
“Ok mbah.” Aku pun menyerah dan percaya dengan perkataan mbah. Aku merengkuh dan menyandarkan kepala pada bahunya. Ia lekas membawaku masuk ke dalam rumah, meninabobokan aku.
***
Aku setia menunggumu ayah. Aku ingin terbang bersamamu ke langit. Kita terbang bertiga, Aku, ayah, dan ibu. Ayah di kanan, ibu di kiri, dan aku di tengah. Bersama kalian berdua, aku akan memetik bintang-bintang. Aku janji akan menuruti semua titah mbah, agar ayah segera pulang.
Ayah, aku rindu saat kita bertiga menyambut indahnya dunia walau hanya dengan mengelilingi sawah. Ingatkah? Kau mengangkatku, mendudukkanku di atas bahumu. Kau tunjukkan kepadaku luasnya hamparan padi yang masih hijau. Udara segar menyapu sekujur tubuhku. Burung-burung berterbangan melengkapi indahnya pemandangan pagi itu. Ayah tersenyum, ibu pun tersenyum. Sungguh bahagianya aku.
Ayah, tahu kah kau? Semenjak ayah pergi, ibu sering keluar rumah. Keluar pagi dan pulang malam. Entah apa yang dilakukannya. Mbah bilang, ibu bekerja. Aku tidak mengerti kenapa ibu bekerja. Saat ayah bersama kami, ibu hanya menemaniku di rumah. Masak, bersih-bersih dan mengajakku bermain. Tapi sekarang ibu berubah. Ayah cepatlah pulang!
Aku rasa ibu merindukan ayah. Ayah tahu? Setiap malam ibu tidur di sampingku. Dan hampir setiap malam aku merasakan ada air yang membasahi keningku. Aku curiga, apakah rumah kami kebocoran? Dengan sedikit malas aku mencoba membuka kedua kelopak mataku yang terkatup. Sayup-sayup kulihat buliran bening mengalir dari mata ibu. Oh, ternyata ibu juga bisa menangis? Aku kira hanya aku yang bisa menangis. Yang kutahu, ibu selalu tersenyum. Aku menebaknya, mungkin ibu merindukan ayah.
***
“Sudah lupakan dia! Kehidupanmu harus terus berjalan! Pikirkan saja Aisyah anakmu! Masa depannya masih panjang.” Kulihat mbah mengelus pundak ibu. Apa yang mereka bicarakan? Siapa yang dilupakan? Aku tidak mengerti. Ibu hanya tersenyum. Tapi, kulihat senyumnya berbeda. Tidak seperti ketika bersama ayah.
“Ibu berangkat dulu ya sayang. Ais main sama mbah dulu! Ok!” Ibu mencium keningku kemudian berlalu meninggalkanku di atas pangkuan mbah.
“Kalau saja ayahmu gak selingkuh nduk, Ibumu tidak harus susah begini. Astaghfirullah.” gumam mbah. Aku baru saja mendengar kata yang asing bagiku.
“Mbah, selingkuh itu apa?” tanyaku.
“Bukan.. bukan apa-apa nduk.” Mbah gelagapan menjawab pertanyaanku. Ah, aku tidak mengerti.
“Oh, hmm. Mbah, Ais mau permen.”
“Iya, yuk beli permen. Ais mau permen apa sayang? Lollipop atau permen karet?”
Lollipooooooooooop.” Teriakku kegirangan.
***
Kata mbah, minggu depan lebaran. Lebaran itu apa? Aku tidak mengerti. Hanya saja teman-temanku sangat gembira menyambutnya. Ridwan, Icha, Bagus, dan Fatma begitu bahagia karena dibelikan baju baru oleh ayahnya. Kata mereka, banyak kue, sirup, dan juga permen di rumahnya. Aku juga mau baju baru, kue, dan permen. Ayah, kapan kau pulang?
Kata mbah ini lebaran ke empat bagiku. Apakah akan jadi lebaran pertama tanpa ayah? Terlintas kembali kata asing itu, “selingkuh,” apa artinya? Seolah mbah tidak suka ayah selingkuh. Aku tidak mengerti. Apakah selingkuh itu artinya pergi? Bahasa orang dewasa begitu rumit. Aku tidak mau ayah seperti bang Toyib. Yang katanya tiga kali puasa tiga kali lebaran tidak kunjung pulang. Sepertinya itu sangat lama.
Kenapa ayah tidak segera pulang? Aku menebak, mungkin ayah sedang tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Kalau begitu akan kutitipkan pesan pada bintang-bintang, “Bintang, tunjukkanlah jalan pulang kepada ayahku! Bawalah dia kesini! Sampaikan salamku padanya! Salam kangeeeeeeeeeeeen dan sayang dari Aisyah.”  

*** THE END ***


Rizky, mahasiswa tingkat akhir. Mungkin tulisannya pantas dibilang “kacau.” Tapi tak mengapa, setidaknya event2 menulis dapat membantu memberikan semangat untuk berkarya. :D salam lima jari

Sepotong Rindu, Seorang Lelaki Pada Sang Guru


Cerpen terbaik II dalam event bertema "RINDU"
(Penerbit Mafaza Media)


Sepotong Rindu, Seorang Lelaki Pada Sang Guru
Oleh: Hijrah BillaLogica

“Gelora rindu mampu merobek segala macam tutup dan membuka semua rahasia.”
_Imam Al-Ghazali_
***
            Perasaanku saat ini seperti cuaca di luar sana. Mendung. Awan tebal berisi milyaran titik-titik hujan disertai angin yang bertiup deras dan kilat yang bergerigi seakan mencambuk langit. Dan tanpa sadar air mataku pun berlinang. Setelah kubaca sms yang kuterima pagi ini dari adikku yang berada di kampung. Disana tertulis,
            “Assalamualaikum, Bang Salman. Inalilahi wainailaihi rojiun. Bang, ustaz Hamdi telah berpulang tadi malam pukul 21.45 wib. Namun kami sungguh tidak mengira sama sekali beberapa saat sebelum ustaz Hamdi menghembuskan napas terakhirnya beliau sempat bertanya tentang kabarmu bahkan berkata bahwa beliau sangat rindu padamu. Kami sangat berharap Bang Salman bisa pulang walau hanya sehari saja. Wassalam.”
            Aku semakin tak bisa membendung kesedihanku dan rasa menyesal karena tidak sempat sekalipun mengunjungi ustaz Hamdi yang sedang sakit. Rinduku tiba-tiba saja membuncah pada lelaki tua yang amat berjasa dalam perjalanan ibadahku itu. Ustaz Hamdi, yang selalu sabar mengenalkanku pada huruf-huruf hijaiyah, mengajariku cara membaca Qur’an sampai fasih, membimbingku salat dengan cara yang baik dan benar, dan menjadi tempatku mencurahkan segenap perasaan ketika hatiku sedang dirundung resah. Apalagi ustaz Hamdi adalah lelaki soleh yang tidak pernah sekalipun membuat masalah di kampungku tersebab kebaikannya yang membuat orang-orang selalu ramah dan sangat menghargainya.
            Aku tahu bahwa ustaz Hamdi memang sangat menyayangiku. Ia bahkan sangat tahu apa-apa saja keinginan, harapan, dan segala rahasiaku dimasa lalu hingga akhirnya aku memutuskan merantau dan belum pernah pulang setelah itu. Sungguh apa yang telah dilakukan ustaz Hamdi kepadaku tak akan pernah bisa terbalas dengan apapun yang dapat kuberikan kepadanya. Namun saat ini dan seterusnya, dengan rasa menyesal,  aku hanya dapat mempersembahkan doa kepadanya, semoga Tuhan menempatkannya di sisi paling indah bersama orang-orang soleh lainnya.
            Kemudian kutatap langit mendung sesaat lalu kepejamkan kedua mataku, membiarkan angin menghembus memenuhi rongga dadaku dan titik-titik air hujan yang masuk melalui jendela membasahi wajahku. Aku sedang merasakan sesuatu yang bergetar dalam dadaku sampai tiba-tiba saja segalanya berpusar dengan cepat menembus kegelapan hingga akhirnya saat kubuka mata, aku telah berada pada sepotong cerita di masa lalu. Bersama ustaz Hamdi.
            Malam itu gelap seperti malam-malam sebelumnya di kampungku. Penerangan hanya berupa lampu-lampu minyak yang terbuat dari kaleng-kaleng minuman ringan ataupun botol kaca seperti obor yang diletakkan di tiap-tiap halaman rumah ataupun mesjid. PLN belum masuk ke kampungku saat itu. Hanya ada satu mesin kecil yang diletakkan di balai desa. Itupun hanya digunakan pada saat acara tertentu di balai desa dan di mesjid. Selebihnya kami selalu melewati malam bersama terang lampu minyak atau rembulan dan bintang-bintang saat tampak di langit.
            Ketika itu aku sedang duduk sendirian di tangga mesjid. Merenung di sisi kanan  obor yang menyala terang. Teman-temanku sudah pulang lebih dulu seusai belajar mengaji. Aku masih belum ingin pulang ke rumah meski  sudah sepi tidak ada siapa-siapa lagi di sana kecuali ustaz Hamdi yang masih sibuk berberes menutup pintu dan jendela mesjid. Aku sedang dilanda perasaan takut dan bersalah kala itu. Namun lamunanku buyar ketika sebuah suara yang ramah menegurku. Aku tahu suara itu. Suara ustaz Hamdi. Rupanya beliau pun juga sudah selesai berberes dan hendak pulang.
            “Loh, belum pulang, Le?” Tanya ustaz Hamdi berdiri di dekatku. Caranya memanggil murid-murid mengajinya adalah salah satu hal yang tidak pernah bisa kulupakan. Beliau memanggil semua murid laki-lakinya dengan sebutan “Tole” sementara murid-murid perempuannya dengan sebutan “Nduk”. Sungguh unik. Karena ustaz Hamdi adalah seorang lelaki berdarah Jawa tulen. Lahir dan besar di sana hingga akhirnya ia terpilih menjadi transmigran yang dikirim ke kampung melayu kami puluhan tahun yang lalu sebelum kami ada.
            Aku terdiam tak langsung menjawab. Menunduk seraya berpikir sampai ustaz Hamdi mengulang pertanyaannya.
            “Ehem! Belum pulang, Le?”
            “Hmmm…. Belum, Ustaz,” jawabku singkat dan serak seraya tetap menunduk.
            “Loh, kenapa belum pulang? Sudah malam ini,” katanya dengan aksen Jawa yang kental sekali. “Ibu sama bapakmu cemas nanti.”
            “Justru itu, Ustaz. Saya tidak berani pulang. Saya takut.”
            Ustaz Hamdi lantas duduk di sebelahku. Menghela napas, ia menyuruhku menatapnya lalu ia tersenyum padaku. Senyumnya yang mendamaikan hati adalah satu hal lain yang juga selalu tertanam dalam ingatanku. Gundahku perlahan hilang ketika ia bertanya sambil memegang bahuku yang kurus.
            “Ada apa toh, Le? Kok kamu sampai tidak berani pulang. Ada masalah sama ibu dan bapakmu ya?”
            Aku hanya mengangguk dan memalingkan wajah darinya.
            “Masalah apa? Sini, cerita sama Ustaz. Barangkali nanti bisa bantu sedikit, Insha Allah.”
            Sebenarnya aku masih takut dan tidak enak hati menceritakan masalah yang sedang kuhadapi kepada siapapun. Namun, ustaz Hamdi selalu saja berhasil merobohkan pertahanan hatiku yang kaku. Ia sangat mengerti bagaimana caranya meluluhkan hati seseorang walau hanya lewat segaris senyumannya yang ramah.
            “Begini, Ustaz,” kataku mulai berani cerita dengan mimik sedih. “Sebenarnya ibu sama bapak saya tidak tahu masalah ini, bahkan mereka tidak menuduh saya. Tapi kok saya jadi merasa bersalah dan sangat berdosa setelah mendengar ceramah Ustaz tadi di dalam mesjid.”
            Ustaz Hamdi mengangguk-angguk mendengarkan ceritaku dengan seksama sembari tersenyum. Seakan dia sedang menganalisis permasalahanku. Maka kulanjutkan kejujuran ceritaku padanya.
            “Tadi pagi, tanpa bilang sama ibu, saya mengambil uang ibu di bawah kasur, Ustaz. Uangnya dipakai untuk iuran di sekolah. Waktu saya pulang, ibu kebingungan dan sedih setelah tahu uangnya hilang. Padahal uang itu sangat perlu buat beli kebutuhan makan. Makanya saya jadi bingung dan takut, Ustaz.”
            Baru saja aku menyelesaikan ceritaku padanya, ia langsung berkata, “Masha Allah, Salman. Jadi kamu mencuri uang ibumu?”
            Dengan gemetar dan jantung berdegup kencang aku mengangguk lambat.
            “Tapi saya tidak bermaksud begitu, Ustaz. Itu saya lakukan karena terpaksa.”
            Ustaz Hamdi mendecak dan menghela napas seraya membalas, “Yang namanya mengambil barang milik orang lain tanpa permisi itu disebut dengan mencuri, Salman. Tidak ada pengecualian. Apalagi itu uang ibumu sendiri yang sebenarnya sangat diperlukan untuk kebutuhan makan keluargamu. Itu sangat berdosa. Allah sangat tidak menyukai orang-orang yang panjang tangan atau suka mengambil barang milik orang lain. Kita dilarang memanfaatkan kesempatan terpaksa untuk berbuat keburukan. Allah itu Maha Melihat apa-apa saja yang dilakukan oleh segala makhluk ciptaanNya. Apalagi kamu ini anak soleh, tidak boleh begitu, Le.”
            Aku terdiam mendengarkan nasehat ustaz Hamdi. Yang membuatku ingin menangis sekeras-kerasnya karena semakin merasa bersalah dan berdosa. Namun, bukan ustaz Hamdi namanya jika tak bisa membuat jiwa seseorang kuat kembali. Tutur katanya yang lembut membuat malamku menjadi lebih damai.
            “Yo wis, biar Ustaz antar kamu pulang sekarang, tidak usah sedih lagi. Biar nanti Ustaz yang jelaskan sama orang tuamu dan mengganti uang yang sudah kamu ambil.”
            “Tapi, Ustaz?”
           “Sudah, tidak usah dipikirkan. Tenang saja, Ustaz tidak bakal cerita kepada teman-temanmu dan siapapun kok. Semuanya biar Allah saja yang tahu. Tapi ingat, Le. Jangan sekali-kali kamu mengulanginya lagi, Itu berdosa dan Allah sangat membencinya. Paham?”
            Aku mengangguk. Dadaku semakin terasa longgar. Napasku mulai ringan dan kepalaku tidak terasa berat lagi. Perasaanku lebih tenang sekarang. Dalam cahaya obor yang menyala terang  aku melihat senyum ustaz Hamdi yang begitu tulus dan hangat.
            Ustaz Hamdi kemudian berdiri dan mengulurkan tangannya padaku. Kuraih tangannya dan ia segera saja mengajakku pulang. Dalam perjalanan menembus kegelapan bersama cahaya dari api obor yang menari-nari ditangan kanan ustaz Hamdi kupeluk beliau erat-erat seraya berkata, “terima kasih ya Ustaz. Allah pasti selalu sayang sama Ustaz.”
            Tiba-tiba segalanya berpusar kembali, seperti dalam ombak tinta hitam pekat, aku kecil dan ustaz Hamdi serta semuanya lenyap dalam gelap. Aku berputar dan merasa agak pusing. Kemudian  kutarik napasku perlahan, ketika kubuka mata ternyata aku telah kembali ke masa sekarang. Sedang berdiri di tepi jendela yang semakin basah karena hujan yang menderas. Dan wajahku hangat oleh air mata yang berlinang. Ah, ustaz Hamdi. Aku sangat rindu memelukmu.
            Selagi bayangan peristiwa masa kecil bersama ustaz Hamdi itu masih membekas di pelupuk mataku, kupandang sekilas langit mendung yang tampak berat dan kelam. Kemudian aku berbalik seraya mengusap air mataku, memutuskan masuk ke dalam kamar dan mulai mengeluarkan pakaian dari dalam lemari. Lalu mulai  menyusunnya ke dalam koper yang sudah kubentangkan di atas tempat tidur.
***
Lirik, 02 Juli 2014
: ter-untuk guru mengajiku dulu. semoga Allah membangunkan sebuah istana kemuliaan di Surga sana.

Biodata
Hijrah BillaLogica adalah nama pena dari Rocky Billal. Lahir di Lirik, 14 Agustus 1990. Hobi Menulis, Membaca buku sastra dan novel epik fantasi. Tinggal di Jalan Iskandar Ismail RT 008 RW 002 Desa Rejosari Kecamatan Lirik Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau. bisa dihubungi via email di logicabillal@yahoo.com.  

TUAN


Cerpen terbaik III dalam event yang bertema "RINDU"
(Penerbit Mafaza Media)


TUAN
By Jose Rizal

Tak pelak diri ini hanya bisa berharap dihempaskan pada masamnya pembuangan, atau sebaiknya terjamahi lagi. Gegap gempita pada seputaran tak mampu lagi menggubah keputus-asaan. Dia. Pada tiap malamnya selalu berdendang padaku, mencurahkan semua kisah suka maupun duka. Memberikan noktah pada tiap kata terakhir. Menggengam erat, bahkan memeluk sesaat sebelum beranjak. Dulu, sekarang tidak lagi.

Berjajar penuh di hadapanku buku-buku tebal. Tertata rapi. Sebagian kosong karena telah terbaca dan belum sempat dikembalikan. Mungkin besok sudah tertanam lagi dalam deretan itu. Deretan yang lugas seolah sombong berdiri tegak berhimpit antara satu dengan yang lain. Mereka mencoba bersolek sebagus mungkin, agar tercerabut dari himpitan dan kemudian dijamahi sekian jam.  Satu hal yang tak disukai mereka; abu rokok yang tanpa sengaja terjatuh tepat pada tubuhnya. Meskipun buku itu berisi tentang akibat buruk yang disebabkan rokok. Dia tetap membacanya dengan segenap kepulan asap yang tak pernah berhenti.

“Tuan. Keberadaanku kini mungkin tak lagi kau hirau, namun mengapa tak kau buang saja? Agar segera hancur semua kenanganmu sendiri dan pastinya kenanganku bersamamu. Terapung pada sungai sambil sesekali meluruhkan tubuh. Entah terhantam padas, atau terpatuk ikan-ikan kecil. Itu lebih menyenangkan daripada kau diamkan saja di sini. Tak berhimpit. Seolah menyalahi kodratku sendiri”

Malam ini Tuan datang. Seperti biasa. Menyalakan lampu meja yang benderang di dalam kamar remang. Tak sempat Tuan berganti baju. Hanya melepas sepatu dan dasi. Aku mengharap Tuan menghampiriku. Menjamahi, berdendang, dan kemudian meninggalkan noktah untuk terakhir kalinya. Beberapa yang lain juga berharap seperti itu. Tak hirau seberapa banyak kepulan asap dan abu yang nantinya memberikan sedikit rasa perih pada tubuh kami. Sayang, Tuan lebih tertarik dengan perangkat modern nan erotis itu. Sebuah perangkat yang konon katanya mampu menyediakan segala kebutuhan mahluk seperti Tuan.

Parasnya memang lebih menggoda. Tuan tak hanya mampu menyentuh dan atau sesekali membolak-balik seperti apa yang tuan lakukan padaku. Dengannya tuan mendapatkan sesuatu yang lebih sensual. Tuan mampu merabai tiap bidang yang berstektur, menekan entah perlahan ataupun keras. Menggesernya sesering mungkin. Semua indera peraba mampu aktif dengannya. Dari sini wajah tampan tuan terlihat sesekali berkelip ditempa cahaya yang tepat terpancar di depan muka. Aku bisa membayangkan betapa erotisnya subjek yang mampu mengeluarkan cahaya gemerlap itu. Senyum yang mengembang tatkala perangkat modern itu berkelip menempa garis wajah yang menonjol milik tuan, membuatku semakin ingin melompat-menghambur-mendekap kemudian meresapi lagi sejuknya mata yang merabaiku. Na'as, keinginan itu hanya membuat rindu di hati ini semakin pejal menusuki. Serasa sakit tak berujung. Putus asa rasanya; ingin segera beranjak dari sini. Tapi tak bisa. Tuan. 

Tetangga sebelah, aku bisa melihatnya dari jendela yang tak pernah lagi kau tutup kelambunya. Di ujung sana, yang sepertiku masih saja bisa menikmati belaian lembut tuannya. Saat cahaya mentari pagi menerobos dedaunan, dan kemudian menghangatkan ruangan itu. Saat itulah tuan mereka berdendang, membelai, memaknai tiap kisah di antara keduanya. Tak berhenti saat itu saja. Kala senja merapat, masih saja ada aktifitas yang menyenangkan di antaranya. Aku merindukan yang seperti itu, seperti di balik jendela tuan. Tahukan tuan? Tubuh ini mengering tanpa belaian tinta kasih sayangmu lagi. Tiap pori-poriku semakin merapat, sehingga terlihat kusut. Pada ruang-ruang kosong yang tuan tinggalkan, mulai ditumbuhi titik noda yang bertebaran. Bukan inginku. Titik noda tumbuh dengan sendirinya, mungkin karena sedang berharap pada Tuan yang lain. Tuan yang ada di balik jendela itu.

Sudilah kiranya sejenak tinggalkan perangkat modern yang erotis itu. Karena kini aku sudah tak jenak dengannya. Dengannya kau terlalu banyak menyisihkan waktu, sehingga aku yang di sini merasa rindu sekaligus cemburu. Sudilah beranjak mendekatiku. Menumpahkan tintamu yang sudah mulai mengering itu. Memberikan noktah kala menyudahi aku. Sudikah Tuan? Sekedarnya saja untuk mengobati rasa rindu yang semakin hari semakin menggebu ini. Akan aku lentangkan tubuh ini agar tuan leluasa menjamahi dan bisa sepuasnya meniti tiap sisinya. Sejenak saja Tuan. Maka akan melembab lagi ruang-ruang yang sebelumnya telah mengering. Barang satu atau dua menit saja, aku bahagia tuan. Karena kebahagiaanku adalah saat terjamahi tat kala telah lama tuan berpaling. Itu saja tuan.

Sebuah mukjizat datang menghampiriku malam ini. Sesaat setelah Tuan menutup pintu, sorot matanya langsung tertuju padaku. Bukan perangkat erotis itu. Perangkat yang membuat seluruh isi ruangan ini muram, dan cemburu di dalam hatiku. Tuan mendekatiku. Rasa hati ini berbunga-bunga. Seluruh isi ruangan ini seolah terhenyak melihat sesuatu yang sedikit janggal; meskipun beberapa bulan yang lalu hal ini adalah hal yang lumrah. Tuan menjamahiku. Ah... mendesir darah ini sampai ke ubun-ubun. Seolah aku perawan yang terbuai jejaka kala berbulan madu di atas perahu kecil di tengah telaga. Tiap sentuhan mampu mempercepat detak jantung, memompa darah yang berlomba mencapai puncaknya. Tuan membolak-balik tubuhku. Ah... ini yang telah lama aku rindukan. Genggaman erat tangan kekar itu membuatku tak berdaya. Kepulan asap rokok yang dulu serasa mengganggu kini bak semerbak aroma nafas yang sedang diburu birahi. Abu yang tak sengaja jatuh di tubuhku kini tak terasa perih, malah membuai. Tuan …

Agh! Tangan tuan terlalu kuat menarikku. Sontak semua yang ada di sini terperangah. Suasana menjadi ribut. Tarikan yang berulang-ulang membuat tubuhku menjadi beberapa bagian; robek. Tuan mengepali bagian-bagian yang tak mampu tuan hancurkan. Dengan geram tuan menuju ke arah jendela. Dengan paksa membuka kait penguncinya yang telah aus. Setelah terbuka tuan menghanyutkan aku pada sungai yang mengalir di balik jendela. Tuan, bukan ini yang aku inginkan. aku merindukan babak sebelum kau menghempasku di sini...

Lamat-lamat dari kejauhan, aku mendengar suara perempuan yang baru saja masuk ke dalam ruanganmu. Sepertinya dia sedang kalap. Aku mengenal suara itu. Masih terdengar dari sini, bahwasanya perempuan itu sedang mencariku. Mungkin sedang mencari sesuatu dariku. Sebuah kisah perselingkuhanmu dan foto seorang gadis lain yang kau simpan dalam tubuhku. Ya, jika saja tuan beberapa hari yang lalu mau menjamahiku. Akan aku sampaikan pada tuan, bahwa perempuan itu mendapati foto perempuan lain selain dirinya di dalam tubuhku. Tapi sayang, tuan telah mabuk dengan perangkat erotis itu. Maaf tuan. Meskipun ada gadis lain di dalam tubuhku, meski ada gadis lain yang tuan jamahi selain diriku, meski kini telah terhempas karena tanganmu. Tuan, aku tetap merindumu. Merindukan bait kisahmu yang selalu kau tuliskan pada tubuhku. Entah kisah suka maupun duka. Karena itulah kodratku sebagai buku diary mu.

Malang, 8 Juni 2014


Di kalangan sanggar teater dan kepenulisan wilayah lokal Malang Raya lebih dikenal Jose Rizal daripada nama aslinya Yusrizal Helmi. Akun FB yusrizalhelmi@rocketmail.com. Blog http://HYPERLINK "http://cantingjo.blogspot.com/"cantingjo.blogspot.com. Pernah mendapatkan penghargaan penulisan naskah fragmen budi pekerti  terbaik se - Jawa Timur. Maret 2014 menerbitkan kumcer berjudul TETAS. Sedang dalam proses menyelesaikan Novel berjudul “Tentang Seribu Lalat Yang Tak Pernah Mati”