Pages

Kamis, 12 Maret 2015

Cerpen : Rindu Fajar



Rindu Fajar

Alin membawakan makanan dan menyuruhku makan setelah semalam tadi tak sedikitpun makanan masuk perutku. Aku menginap dirumah Alin dengan harapan aku tidak kesepian, dan tidak terlalu galau jika ingat kepada Al pacarku yang sekarang jauh disana, karena biasanya aku menghabiskan waktu bersama Al, dan sejak hubungan kami ini jarak jauh (seperti sambungan telepon, SLJJ alias sambungan langsung jarak jauh.) kami hanya bisa menghabiskan waktu dengan saling mendengar suara. Aku tidak ingin Ibuku melihatku galau.
“Wi, makan dulu, nanti kamu sakit.” Alin mengingatkan aku. Aku hanya mengangguk karena aku tidak ingin berbicara banyak, dan Alin tahu itu.
Aku ingat saat pertama aku bertemu dan berkenalan dengan Al di stasiun Kereta Jakarta Kota. Saat itu kami sama-sama sedang menunggu Kereta jurusan Bogor karena saat itu aku ingin bermain kerumah Alin, kami duduk dibangku, dan Al mulai mengajakku mengobrol.
“Neng, baru pulang kerja ya?” Tanya Al pada saat itu.
“Lu ngomong sama gue?” 
“Nggak, gue ngomong sama bangku.” Jawabnya sambil mengalihkan penglihatannya ke bangku dan mengelus-elus bangku.
“Ya iyalah gue ngomong sama lu.” Sambungnya sambil melotot ke arahku.
“Oh. Gue pikir lu ngomong sama bangku.” Jawabku dengan memandang ke bangku dan ikutan mengelus-elus bangku. “Nama gue bukan Neng.” Sambungku.
“Iya, maaf. Lu baru pulang kerja?”
“Nggak, gue baru pulang ngondek!” Jawabku ketus, sudah tahu aku baru pulang kerja, kenapa dia tanya segala? Aku tahu sih maksudnya adalah basa basi, tapi basa basinya itu sudah basi, basa basi busuk, dan mendengar jawabanku itu wajah Al tampak kaget.
“Lu aneh, udah tau gue baru pulang kerja, pake tanya segala. Lu baru pulang kerja juga?” Aku bertanya balik pada Al, dan jawabannya membuatku serasa medapat nilai satu sama.
“Nggak Mbak, gue baru pulang ngondek.” Jawabnya sambil nyengir.
“Kasian, ganteng-ganteng kok ngondek.” Kataku pelan, namun terdengar oleh Al.
“Emang salah kalo orang ganteng ngondek?” Tanya Al, namun aku tidak menjawab.
“Panggil gue Al, Mbak siapa?” Al memberikan tangannya, dan aku meyambutnya, kami bersalaman.
“Wiwi.” Jawabku singkat.
“Lu kerja dimana Al?” Tanyaku dengan menyebut nama “Al” agar terdengar akrab.
“Di lembaga keuangan Wi. Lu dimana?”
“Di Bank maksud lu? Bagian apa?” Tanyaku
“Gue di bagian Front Office Wi.”
“Teller? Atau Customer Service?”
“Depannya lagi wi.”
“Apaan? Marketing?”
“Bukan Wi, depannya lagi. Gue biasa bawa pentungan sama peluit.”
“Satpam?” Tanyaku, sementara Al tersenyum.
“Iya Wi, kan bagian depan kantor. Hehehe…”
Ya ampun, saat itu aku masih nggak percaya kalau Al bekerja sebagai satpam di sebuah Bank, paras yang menurutku masuk dalam kategori tampan rasanya sayang sekali jika harus bekerja sebagai satpam. Padahal menurutku dia bisa menjadi foto model, model iklan, bahkan bintang sinetron. Al benar-benar tampan, tidak putih memang, kulitnya sawo matang namun lesung pipit di wajahnya itu membuat Al terlihat manis, apalagi saat dia tersenyum. Saat itu Al ingin mengunjungi temannya yang sedang sakit.
“Wiwi, kerja di Bank juga? Bagian apa?” Tanya Al padaku.
“Gue bagian back office.” Jawabku singkat.
“Yang ngurusin data-data gitu ya Wi?”
“Bukan, gue ngurusin yang kotor-kotor, gelas kotor, lantai kotor, dan lain-lain.”
“OG? Office girl?” Tanya Al, dan aku hanya bisa tersenyum.
“Iya, itu kan di bagian belakang kan, sama kayak lu kan?” Jawabku sambil tersenyum.
Sempat dia berkata bahwa sangat disayangkan jika aku harus menjadi office girl, namun ya begitulah kenyataannya. Sambil menunggu kereta kami terus mengobrol, dan akhirnya aku tahu bahwa pekerjaan dia sebagai satpam itu adalah sebagai pekerjaan sambilan, karena saat itu Al ingin sekali kuliah namun keadaan finansial yang kurang mendukung, maka Al harus sambil bekerja untuk bisa membiayai kuliahnya. Ternyata sudah lama juga Al bekerja sebagai satpam dan kuliahnyapun sudah hampir selesai. Pertemuan pertama dengan Al, perkenalan dengan Al, membuatku semakin merindukan Al.
***
Alin kembali ke kamar setelah tadi dia meninggalkan aku sendirian ke kamar dan dia terlihat khawatir lantaran aku belum juga makan makanan yang dia bawakan tadi, dia mengambil makanan itu, dan menyuapi aku.
“Mamam dulu yuk Wiwi sayang, nanti kamu atit.” Alin berusaha membujukku.
“Buka mulutnya sayang, a dulu.. aaaa…..” Kata Alin dan aku menurut, aku membuka mulut dan Alin memasukkan makanan ke mulutku, Alin tentu tidak tega melihat aku dari semalam belum makan, maka dari itu Alin berinisiatif menyuapi aku. Aku jadi ingat saat aku sakit Al menjengukku dan Al menawarkan diri ingin menyuapi aku namun Al ingin menyuapi aku pake sendok semen, memangnya mulut aku ini adukan semen. Al keterlaluan.
“Alin, gue kangen sama Al.” Kataku saat Alin menyuapiku.
“Sabar ya Wi, lu berdoa aja supaya Al baik-baik disana.” Alin tersenyum.
Selesai menyuapi aku Alin menyuruku istirahat dan meninggalkan aku sendirian dikamar dan dia kembali ke ruang tamu untuk menemui Hans pacarnya karena Hans sedang datang menemui Alin, aku jadi tidak enak hati merepotkan Alin.
“Ya Tuhan, semoga Al baik-baik saja.”
Kesendirian seperti inilah yang membuat aku kembali mengingat Al, waktu awal-awal kisahku dengan Al. Pernah saat itu aku berada diterminal bis, saat itu aku ingin ke Purwakarta mengunjungi Kakaku yang sedang sakit, aku sudah duduk didalam bis menunggu bis berangkat dan tak kusangka Al juga berada disitu, melihatku duduk sendiri Al menghampiriku dan duduk disebelahku.
“Wiwi, lu mau kemana?” Tanya Al yang terlihat kaget, seperti baru pernah saja melihat wanita cantik sepertiku.
“Nah, lu sendiri mau kemana?” Aku balik tanya.
“Purwakarta.”
“Ya udah, berarti gue juga mau ke Purwakarta.” Jawabku galak.
“Lu ngikutin gue ya Wi?”
“Huekk… Ih, Pede banget lu.”
“Kamu kenapa Wi? Kamu mual? Kamu sakit?” Tanya Al.
“Iya! Gue mual liat muka lu!” Aku masih jutek.
“Kamu beneran mual? Jangan-jangan kamu hamil. Wi, gue kan belum pernah sentuh lu sedikitpun, kok lu bisa hamil?”
 “Gue hamil anaknya Kampret! Puas lu!”. Jawabku emosi. Setelah itu tidak ada lagi percakapan diantara kami. Namun, lima menit kemudian Al bertanya lagi.
“Wi, lu mau ke Purwakarta kan?”
“Yah elah, ini orang tadi kan udah nanya, ngapain sih tanya lagi?”
“Nggak apa-apa Wi, sama gue juga mau ke Purwakarta.” Jawab Al sambil senyum.
Namun, lima menit kemudian Al kembali bertanya kepadaku.
“Wi, lu mau ke Purwakarta ya? Mau ngapain?”
“Iya! Gue mau jenguk Kakak gue yang lagi sakit!” Jawabku dengan emosi.
Lima menit kemudian.
“Wi, lu yakin mau ke Purwakarta?” Tanya Al lagi.
“IYA KAMPRET!! GUE YAKIN! SEKALI LAGI LU NANYA GUE GOROK LEHER LU!” Aku benar-benar emosi lantaran dari tadi Al menanyakan hal yang sama.
Lima menit kemudian.
“Wi…”
“APA?!”
“Tadi lu bilang kalo lu hamil anak kampret, barusan lu ngatain gue kampret, berarti lu hamil anak gue dong Wi. Wah, kita harus cepet nikah Wi.”
“Ogah! Gue ogah nikah sama lu!”. Jawabku galak. Setelah itu kami diam, namu tak lama Al kembali memanggilku.
“Lu beneran mau ke Purwakarta?”
“Iya Al! Ngapain sih tanya terus?”
“Eum…. Ini Wi, kayaknya kita salah bis deh.” Jawabnya dengan wajah pucat, mungkin karena dari tadi aku memarahinya.
“KENAPA NGGAK BILANG DARI TADI??”
Saat itu kami buru-buru turun dari bis, dan sejak kejadian itu aku mulai dekat dengan Al.
***
Pernah saat itu Al mengunjungiku kerumahku, kami mengobrol bercanda, sharing, dan aku mengeluh dengan keadaan badanku karena aku merasa berat badanku sepertinya naik. You know what? Saat itu aku sama Al sudah berpacaran.
“Al, menurut kamu aku sekarang agak gemuk nggak sih?”
“Nggak kok sayang.”
“Jangan bohong! Jujur dong sayang.” Pintaku.
“Sayang, kamu itu nggak gendut, cuma gembrot.”
“APA?? Itu sama aja!” Aku marah dan aku langsung ngambek.
Al berusaha membujukku namun aku tetap marah, Al mengambil boneka Teddy Bearku dan bilang,
“Kamu itu lucu sayang, kayak Teddy Bear ini.” Kata Al mencoba meredakan emosiku.
“Masa sih?” Aku mulai melunak dan tersenyum.
“Iya sayang, kamu sekarang jadi seperti Teddy Bear ini, padahal tadinya kamu seperti Barbie.” Jawab Al kemudian.
“Tuh kan! Berarti kamu bilang aku gendut kan?”
“Hahaha….. Nggak sayang, bukan gitu maksud aku.” Al malah tertawa puas sekali.
Lama kami ngobrol, dan saat akan pulang hujan mulai turus dan cukup deras, Ibuku tidak tega membiarkan Al pulang karena khawatir Al akan sakit, Ibu menyuruh Al untuk menginap saja dirumahku. Ibu mencari Al tetapi  Al tidak ada.
“Wi, Al kemana? Pulang ya? Padahal Ibu sudah bilang sama Al biar dia menginap disini saja.” Kata Ibu.
“Kok tidur disini Bu? Ibu suruh Al nginep disini Bu?”
“Iya Wi, soalnya hujannya deras, jadi Ibu suruh dia tidur disini saja.”
Tak lama Al muncul di hadapan kami dengan keadaan basah.
“Sayang, kamu kok basah-basahan begini?” Tanyaku pada Al.
“Tadi calon mertua suruh aku menginap disini, jadinya tadi aku pulang ambil bantal, guling dan selimut, biar anget kalo bobo sama kamu.” Jawab Al.
“Hih, siapa juga yang mau bobo sama kamu!” Jawabku jutek lalu aku meninggalkan Al.
Entah jadinya Al tidur dimana.
Kenangan-kenangan awal itu masih saja ku ingat, aku benar-benar tidak menyangka, rasanya baru kemarin aku mengenal Al namun sekarang aku harus jauh dari dia. Sudah hampir seminggu Al tidak ada kabar, sejak dia lulus kuliah dan berhenti menjadi satpam, Al pindah ke Jogja dan bekerja disana, sementara aku masih menjadi office girl dan sebentar lagi akan menyelesaikan pendidikan sarjanaku, aku tidak ingin kalah dengan Al, walau aku wanita tapi aku ingin juga menjadi sarjana, dan aku tidak ingin terus-terusan menjadi office girl.
***
“Wi, besok Ibu sama Bapak mau ke Purwakarta, kakakmu sakit. Kamu besok pulang ya sayang, nggak ada orang dirumah, nanti kalau dugondol maling gimana? Sekarangkan lagi musim.”
“Yah elah Bu, maling juga liat-liat kali rumah yang mau dimalingin. Lagian dirumah juga ada Moppy.” Jawabku.
“Nanti yang jaga Moppy siapa? Yang kasih makan siapa? Yang mandiin siapa?”
“Iya udah deh, nanti malam aku pulang.”
Malam ini aku terpaksa pulang karena esok pagi Ibu dan Bapak akan pergi dan aku hanya berdua saja dengan Moppy. Kenalkan, Moppy adalah guguk kesayanganku (ya iyalah kesayangan karena hanya dia gugukku). Aku harus menjaga dan merawatnya.
***
 “Al kamu dimana sih? Kenapa nggak ada kabar?”
“Al, jawab dong Al! Bikin aku emosi!”
“AL! JAWAB!”
Sepertinya aku sudah mulai kurang waras lantaran Al yang benar-benar tidak ada kabar. Aku hanya bisa berbicara dengan foto Al yang terpajang di kamarku.
“Al, kalo kamu mau putus sama aku, kamu bilang baik-baik Al, jangan begini caranya.” Aku mengambil foto Al, aku berdiri didekat jendela sambil terus memandang foto Al.
“Kamu fikir perempuan mana yang nggak akan uring-uringan kalau pacarnya nggak ada kabar? Cuma perempuan sarap aja yang seperti itu.”
Aku berbalik badan, aku ingat Moppy-ku sendirian dari tadi, aku mengambilnya dan mengelus-elus bulu-bulunya yang halus.
“Moppy, Al jahat banget, dia tega nggak kasih kabar ke aku.” Aku masih mengelus-elus Moppy. Aku kembali ke dekat jendela, aku menaruh Moppy ditempatnya yang berupa karpet dengan bulu-bulu halus.
“Kamu nyebelin Al!!” Aku berteriak.
“Nyebelin tapi bikin kangen kan?” Tiba-tiba ada suara dan aku langsung membalikkan badanku.
 “AL!”
Aku benar-benar tak menyangka Al kini ada dihadapanku, sejak kapan dia ada dikamarku, aku tak merasakan kedatangannya. Untung yang datang Al, kalau saja yang datang adalah maling, habis sudah. Tapi ku akui Al ini maling, maling yang mencuri segalanya dariku, termasuk hati dan perhatianku. Aku langsung memeluk Al.
“Kamu kapan sampe di Jakarta? Kenapa nggak kasih kabar? Nggak usah bilang surprise! Aku nggak suka surprise! Terus kamu kenapa nggak bisa dihubungi? SMS aku nggak di balas, telepon aku nggak di angkat! Apa segitu sibuknya kamu? Hah?”
“Ya ampun, kamu bisa nggak sih ngomong pelan-pelan? Nggak usah saingan sama radio rusak yang ngomong terus nggak berhenti-berhenti, kalau kamu terus-terusan ngomong kan aku nggak bisa ngerti maksud kamu apa, kalau aku nggak ngerti maksud kamu nanti kamu marah, kalau kamu marah nanti aku lagi yang salah kalau aku salah nanti kamu ngambek lagi, kalau kamu ngambek nantiii…..”
“Kamu tuh yang nyerocos terus, makin pinter nyerocos kamu sekarang.”
            “Maaf ya sayang, aku benar-benar sibuk.”
“Saking sibuknya sampe lupa sama aku?”
“Ngga lupa sayang, aku juga lagi siapin ini.” Jawab Al sambil memberikan sesuatu.
Aku membuka pemberiannya, aku melihat ada beberapa persiapan pernikahan, rupanya Al mempersiapkan sendiri pernikahan kami, kenapa Al harus melakukan ini sendiri, padahal aku bisa bantu dia. Namun alasan Al dia tidak ingin mengganggu kuliahku, jadi cukup Al saja yang super sibuk dan super repot, dan mulai hari ini Al akan tinggal di Jakarta lagi dan kami akan menikah di Jakarta, tentunya setelah aku lulus kuliah nanti. Aku memeluk Al dan dia membalas pelukanku.
“Sayang, Bapak kamu petugas PLN ya?” Tiba-tiba Al bertanya dan aku rasa dia ingin menggombal, sebenarnya Al ini bukan tipe penggombal.
“Kamu mau gombal? Aku jawab “iya” aja deh.”
“Pantesan kalo deket kamu “tegang” melulu bawaannya.”
            Aku melepaskan pelukanku, melotot dan mencubit tangan Al. Namun Al kembali memelukku, aku merasa nyaman dipeluk Al.
            “Sayang, Ibu kamu pasti petugas PAM ya?” Al masih melanjutkan.
            “Aku jawab “iya” aja deh biar kamu seneng.”
            “Pantesan aku kok kaya basah-basah gimanaaaa gitu kalo deket kamu.”
            “AAALLL.” Aku mencubit pipi Al.
            “AL FAJAR WARDANA!!”
            “Kenapa sayang?”
            “Becanda kamu keterlaluan!”
            Saat-saat seperti inilah yang membuat aku merindukan Al, saat bercanda bersama dia, saat kelakuan dia yang menurutku error, saat-saat seperti inilah yang kemarin membuatku galau bahkan hampir hilang waras, aku nggak bisa jauh dari Al, sehari tanpa kabar saja aku sudah gelisah (bukan geli-geli basah), itulah kenapa selama seminggu kemarin aku hampir gila dibuatnya.
***
Kegalauanku kini berakhir, Al sudah kembali dari Jogja dia sekarang bekerja di Jakarta, dan aku juga sudah meyelesaikan pendidikanku. Pernikahan kami telah berjalan, dan saat ini adalah saat terindah untuk kami, kami akan pergi bulan madu, kami akan pergi ke Bali.
Saat di pesawat.
“Wi, kamu mau kemana?”
“Ya ke Bali lah, lu pikir?” Jawabku jutek.
“Kok sama? Kamu ikutin aku ya Wi?”
“Hueeek… Hih! Males banget!”
“Sama suami nggak boleh galak-galak Wi.”
“Terus kenapa?”
“Nanti kalau ditinggal nangis-nangis, galau.” Al menggodaku.
“Wi, kamu yakin mau ke Bali?”
“Sekali lagi nanya gue gorok leher lu.”
“Hahaha……. Kamu kok masih galak aja sih?”
“Kali ini kita nggak salah pesawat. Kamu tenang aja.”
“Kita memang nggak salah pesawat Wi, tapi kita salah seat.” Jawab Al.
Aku langsung melihat tiket dan melihat nomor seat kami.
“Kenapa kamu nggak bilang daritadi AL FAJAR!”
            Saat-saat seperti inilah yang membuat aku merindukan Fajar, sekarang aku tidak lagi memanggil dengan panggilan Al, tetapi Fajar. Karena Fajar layaknya fajar yang menyinari bumi, begitu juga dengan Fajar yang selalu menyinariku dengan kasih dan sayangnya. Fajar yang selalu menghangatkanku dengan pelukannya, dan Fajar yang mampu mencairkan amarahku dengan senyumannya. Ada sesuatu dalam diri Fajar yang membuatku selalu merindukan dia, bahkan setelah kami menikahpun aku masih selalu merindukan Fajar.

*** SELESAI ***
Tentang Penulis :

SiskaL. Rumahorbo. Suka Real Madrid C.F, suka Cristiano Ronaldo (tapi sayang Ronaldonya ga suka Siska), suka Mario Gotze (dan ternyata Mario Gotze juga suka Siska, *dalam mimpinya Siska*). Alumni Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten. Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. FB : Siska Lasria Rumahorbo. Twitter : @kikareky dan @kim289_, LINE : siskalasriarumahorbo. Blog: siskalasriar289.blogspot.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar