Pages

Selasa, 03 Maret 2015

Cerpen : Lunas



Lunas

Baru saja kubaringkan tubuh ini di kasur terdengar samar suara Ibu berbicara dengan seseorang diseberang sana hingga memaksaku bangun dan menguping pembicaraan Ibu dengan pria yang bernama Darma itu. Pasti Om Darma ingin menagih hutangnya pada Ibu, kalau bukan tentu Om Darma tidak akan menghubungi Ibu. Orang kaya yang serba punya dan hidupnya sangat sempurna, menurutku begitu. Beberapa waktu yang lalu Ibu mendapat pinjaman darinya untuk biaya kuliahku, Ibu sangat ingin melihat anak-anaknya sukses dan tentunya lepas dari kemiskinan ini. Mengendap-endap sambil bersembunyi di balik dinding, kupasang telingaku juga konsentrasiku.
***
Ayah telah pergi berpulang ke rumah Allah. Kata Ibu, Allah lebih mencintai Ayah maka dari itu Allah memanggil Ayah dan dengan begitu Ayah tidak akan tersiksa lagi dengan penyakit yang bersarang ditubuhnya. Satu-satunya tulang punggung kami kini sudah tiada, dan kepergian Ayahpun meninggalkan hutang Ibu pada Om Darma, karena semasa Ayah hidup banyak hutang untuk biaya pengobatan, belum lagi hutang untuk biayaku masuk kuliah. Ibu bersikeras ingin aku kuliah agar kelak aku sukses dan membawa kehidupan keluarga menjadi lebih baik. Lepas dari belenggu kemiskinan.
***
Sore ini aku meminta Fandi untuk menemaniku pergi ke tempatku mengajar les. Fandi, teman terbaikku sejak kecil, sangat baik. Kami bertetangga sudah hampir dua puluh tahun. Aku tak ingin melihat Ibu susah jadi kuputuskan untuk menerima tawaran dari sebuah lembaga bimbingan belajar untuk menjadi tenaga pengajar.
Bukan maksud sok menolak tawaran tempo hari, tetapi aku merasa kemampuanku masih belum bisa untuk menjadi tenaga pengajar di tempat yang terbilang “wah” dan konon katanya banyak anak-anak pintar disana. Sempat kuberfikir, sudah pintar untuk apa ikut bimbel? Dasar orang kaya! Mungkinkah mereka mengikuti bimbel itu hanya untuk bergaya dan tak ingin ketinggalan dengan teman, entahlah. Aku tidak memusingkan hal itu.
Tekadku adalah aku bekerja sebagai tenaga pengajar untuk membantu Ibu, walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak, setidaknya aku bisa meringankan ongkos untuk ke kampus hasil dari mengajar.
Mungkin ini sudah jalanku. Fandi mengendarai motor dengan hati-hati, namun dari belakang, motor kami diserempet oleh sebuah mobil sedan hingga kami terjatuh dan dari belakang kami sebuah truk datang dengan kecepatan tinggi lalu melindas tubuhku juga tubuh Fandi yang tergeletak di aspal.
***
Ibu teriak histeris, menangis menjerit saat mendengar kabar bahwa aku dan Fandi mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan. Beberapa pengendara dan penduduk sekitar sempat menolong kami, membawa ke sebuah Rumah Sakit terdekat, namun usaha manusia tidak direstui Yang Maha Kuasa, aku dan Fandi harus beristirahat dengan tenang lantaran kami kehabisan darah selama dalam perjalanan menuju Rumah Sakit.
Luka di kepalaku, luka di tangan dan kaki-ku, tak seberapa parah dibanding luka-luka pada tubuh Fandi. Luka lebar menganga dan harus dijahit. Setelah urusan dari Rumah Sakit selesai, keluargaku membawa jasad kami pulang ke rumah. Tangis Ibuku semakin menjadi saat keluargaku mencoba untuk member penghiburan.
Ibu, akan kubayar semua hutangmu dengan uang yang didapat dari asuransi jasa raharja, dan aku bisa bertemu dengan Ayah di rumah Allah. Tugasku didunia telah selesai. Hutang ibuku telah lunas.
*** SELESAI ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar