Pages

Kamis, 12 Maret 2015

Cerpen : Murid-Muridku



Murid-Muridku



        Mungkin aku harus mulai beradaptasi dengan murid-muridku di tempat ini, sejak mengajar di sekolah baru ini terasa sekali perbedaannya, kemarin aku mengajar siswa Sekolah Menengah Atas atau disingkat SMA dan sekarang aku harus berhadapan dengan siswa-siswa sekolah dasar. Mudah-mudahan mereka bisa diajak bekerja sama. Ehem. Lebih tepatnya, mudah-mudahan meraka tidak nakal. Aku menjadi wali kelas lima, sekaligus guru untuk semua mata pelajaran. Disekolah yang sekarang ini satu guru menangani satu kelas, dan itu berarti mengajar untuk semua mata pelajaran tidak seperti waktu aku mengajar di SMA kemarin, aku hanya menangani pelajaran bahasa inggris saja.
        Saat mulai perkenalan, murid-muridku terlihat diam, kurang aktif, dan menurutku sedikit malu-malu. Aku menjadi wali kelas lima disekolah ini lantaran guru yang sebelumnya telah pensiun, maka akulah yang menjadi penerusnya untuk mengajar murid-muridku ini. Sehari, dua hari, tiga hari murid-muridku masih terlihat diam dan sedikit malu-malu, ingin izin ke kamar kecilpun malu-malu. Aku hanya tersenyum melihat kelakuan mereka.
        Sudah hampir tiga minggu aku disekolah ini, dan akupun sudah mulai hafal nama-nama mereka, dan tentunya merekapun sudah mulai aktif. Sejak awal aku mengajar semua siswa terlihat rajin sekali, tidak ada yang bolos sekolah. Murid pintar! Pujiku kepada murid-muridku. Namun, akhir-akhir ini muridku yang bernama Iqbal tampak sering sekali tidak masuk sekolah, kemarin selama tiga hari berturut-turut Iqbal tidak masuk sekolah. Saat jam istirahat aku menghampiri Iqbal dan mengajaknya ke ruang guru, aku ingin tahu kenapa Iqbal sering tidak masuk beberapa hari kemarin.
“Iqbal. Kamu kemarin kenapa tidak masuk sekolah?” Tanyaku kepada Iqbal saat jam istirahat dan tentu saja Iqbal sudah berada diruangan guru.
“Ada yang meninggal Bu.” Jawab Iqbal.
“Innalilahi. Siapa yang meninggal Bal?” Tanyaku pelan.
“Kakeknya Serly Bu.” Jawab Iqbal
“Serly itu siapa Bal?” Tanyaku ingin tahu.
“Pacar saya Bu, di SD Harapan itu yang diseberang jalan.” Jawab Iqbal.
Oh My God!” Desisku.
See? Jaman sekarang, anak SD saja sudah punya pacar, anak SD sudah bisa pacaran. Mau jadi apa negara ini.
“Iqbal, masih kecil itu tidak boleh pacaran dulu ya sayang.” Ucapku.
“Bu Guru jomblo ya? Masa melarang aku pacaran.”
Astaga, anak macam apa ini, bisa-bisanya dia berkata aku jomblo dan melarang dia pacaran, padahal ini untuk kebaikannya juga. Ya Tuhan, tabahkanlah hatiku.
“Terus, kemarinnya lagi kamu kenapa tidak masuk sekolah?” Tanyaku lagi.
“Ada yang meninggal juga Bu.” Jawab Iqbal dengan santai.
“Innalilahi. Siapa Bal?” Tanyaku lagi.
“Ibu ini seperti polisi saja, yang meninggal Neneknya Serly Bu.” Jawab Iqbal.
“Wah, kok bisa ya meninggalnya hampir bersamaan?” Tanyaku dengan selidik kepada Iqbal.
“Namanya juga jodoh Bu.” Iqbal nyolot.
“Jodoh? Apa hubungannya Bal?” Aku masih sabar menghadapi Iqbal.
“Itu namanya cinta sejati Bu. Kalau yang satu meninggal yang lain juga meninggal. Mereka pasti bahagia di surga. Itulah cinta sejati Bu.” Jawab Iqbal.
Anak kecil sudah bisa bicara tentang cinta sejati? Apakah pengaruh sinetron? Atau pengaruh film Korea? Ya Tuhan berikan kekuatan kepadaku.
“Terus waktu kemarin-kemarinnya lagi, kamu kenapa tidak masuk sekolah juga Bal?” Tanyaku pada Iqbal dengan penuh kesabaran.
“Sama Bu, ada yang meninggal juga.” Jawab Iqbal santai.
“Kenapa semuanya meninggal?” Tanyaku berbisik pada diri sendiri.
“Namanya juga takdir Bu.” Iqbal nyeletuk.
“Siapa lagi Bal yang meninggal?” Tanyaku dengan extra sabar.
“Itu loh bu, sepupu saya, dia itu masih kecil Bu, kasihan deh Bu masih kecil sudah di panggil Tuhan.. Dia itu cucu anaknya keponakan Pak De nya Kakak Ipar Sepupunya Eyang Kakung saya.”
Oh My God!!”
***
Keesokan harinya Iqbal sudah masuk sekolah, syukurlah dia sudah masuk sekolah dan aku tidak mendengar kabar dukacita tentang orang meninggal, entah kabar itu sungguhan atau hanya cerita karangan Iqbal saja. Aku mulai mengajar seperti biasa. Aku mulai mencoba bermain dengan khayalan anak-anak muridku.
“Anak-anak, kalian pernah melihat singa?”
“Pernah Buu...”  Jawab mereka serentak.
“Kalian tahu singa kan?”
“Tahu Buuu…”
“Singa itu binatang yang apa?”
“Binatang buas Bu, galak.” Jawab Atun, salah satu muridku.
“Sekarang Ibu mau bertanya. Atun kalau kamu sedang ada di hutan, lalu kamu bertemu singa yang kelaparan, apa yang kamu lakukan?” Aku mulai bertanya.
“Saya memanjat pohon bu.” Jawab Atun.
“Kalau singanya ikut manjat pohon? Apa yang akan kamu lakukan Atun?” Tanyaku lagi
  “Saya lompat ke danau, lalu saya renang Bu.” Jawan Atun lagi
  “Kalau singanya juga ikut lompat ke danau? Apa yang kamu lakukan?”
  “Ibu ini singa ya? Dari tadi tanya-tanya terus.”
  Oh My God!!
***
Ternyata dugaanku meleset, awalnya aku menduga anak-anak muridku adalah anak-anak yang manis dan pendiam, tetapi aku sedikit keliru, terbukti dengan kehadiran Iqbal dan Atun yang kemarin membuatku geram. Seperti biasa aku kembali masuk kelas dan mengajar, kali ini aku mengajar pelajaran bahasa Indonesia, pelajaran mengarang yang aku yakin murid-muridku pasti suka mengarang.
“Anak-anak, hari ini kita belajar bahasa Indonesia, pelajaran mengarang.” Kataku saat berada di kelas, berharap hari ini akan berjalan normal, tidak ada peristiwa yang aneh. Namun Wahyu salah satu muridku yang terkenal tengil menjawab..
“Tugas apa bu?” Tanya Wahyu.
 “Tugas mengarang Wahyu. Makanya tolong dengar Ibu berbicara ya.” Jawabku sabar.
 “Mengarang itu kan mengarang kesakitan ya Bu?”
“Kalau kesakitan itu namanya mengerang, Wahyu.” Aku menjelaskan.
“Beda huruf "a" sama "e" doang Bu.” Jawab Wahyu.
 Aku hanya tersenyum.
“Eh tapi Bu, mengerang itu bukannya gini, kita harus mengerang penjajah".
“Itu menyerang, Wahyu.” Aku menjawab.
“Ooh,, oiya Bu, menyerang itu bukannya gini ya, aah uuuhh.. Oooh... Aahhh..”
“Wahyu! Itu mendesah!” Aku geram. Jauh sekali melesetnya dari menyerang ke mendesah, lagipula anak ini tau darimana sih. Keterlaluan.
“Cieee... Kok ibu tau sih,. Jangan-jangaaaann....” Wahyu tidak meneruskan perkataannya.
“Sudah, sudah. Tidak usah berisik, sekarang kalian bikin karangan tentang Ibu Kartini. Candi Borobudur, dan pantai. Kalian pilih salah satu saja.
“Tapi Bu…” Potong Wahyu.
“Tidak ada yang bantah, kerjakan sekarang.” Aku mulai tegas kepada anak-anak.
Anak-anak muridku pun mulai mengerjakan. Setelah selesai Aku memanggil beberapa dari mereka untuk membacakan cerita karangan mereka.
“Atun, kamu sudah selesai? Ayo maju ke depan untuk membacakan karangan kamu.”
Atun pun menurut dan berdiri didepan kelas lalu membacakan karangannya.
“Kamu membuat karangan tentang apa Atun?” Tanyaku.
“Candi Borobudur Bu.”
“Baiklah, silakan dibacakan kepada teman-temanmu.”
“Candi Borobudur. Candi ini terdapat di daerah Magelang di Jawa tengah, Papaku pernah mengajakku ke Candi Borobudur bersama Tante Virna karena kata Papa saat itu mumpung Mama sedang pergi keluar kota. Aku pergi bersama Tante Virna, sekretaris Papa yang seksi dan kata Papa Tante Virna lebih seksi dari Mama. Kata Papa Tante Virna lebih cantik dari Mama, kata Papa tante Virna lebih bohay dari Mama, kata Papa Tante Virna….”
“Atun, kamu bercerita tentang Candi Borobudur atau Tante Virna?” Aku memotong cerita Atun yang sepertinya sudah mulai aneh kurasa.
“Dua-duanya Bu.” Jawab Atun polos.
“Ya Sudah, sudah cukup. Sekarang kamu kembali ke bangku.” Perintahku.
“Iqbal, kamu mengarang tentang apa?” Tanyaku pada Iqbal.
“Pantai Bu.”
“Silakan maju kedepan kelas Bal, ceritakan kepada teman-temanmu.” Perintahku kepada Iqbal dan Iqbal menuruti perintahku. Iqbal mulai membaca di depan kelas.
“Pantai. Pantai adalah suatu tempat yang biasa kita kunjungi saat liburan. Tidak hanya anak-anak seperti kita yang datang kepantai, tetapi juga ada orangtua, Kakek, Nenek, dan anak-anak muda atau juga orang dewasa.”
Aku tersenyum, sepertinya karangan Iqbal ini dikerjakan dengan serius, mudah-mudahan tidak ngawur seperti cerita Atun tadi, awalnya Candi Borobudur, tetapi ujung-ujungnya malah, ah sudahlah.
“Dipantai kita bisa bermain pasir, bermain ombak, bermain air, bahkan bisa mandi dengan menggunakan ban yang disewakan. Minggu lalu Papaku mengajakku ke pantai, beserta dengan Mama dan Nisa Kakakku juga Arly pacar Kakakku. Dari pagi sampai hampir malam kami bermain dipantai, sampai pada hari sudah malam aku melihat Kak Nisa dengan pacarnya sedang berada dipojokan dan kemudian….”
“Sudah sudah Iqbal, silakan duduk.” Aku memotong cerita Iqbal, firasatku tidak enak akan cerita lanjutan dari Iqbal. 
“Tapi belum selesai Bu.” Jawab Iqbal.
“Gantian sama yang lain ya. Yang lain juga mau membaca di depan.” Alasanku agar Iqbal tidak melanjutkan ceritanya.
Lalu aku memanggil Wahyu memintanya untuk bercerita didepan kelas.
“Cerita karangan kamu tentang apa Wahyu?” Tanyaku pada Wahyu sambil tersenyum.
“Te tee tentang, Iiiibu Kartini Bu.” Jawab Wahyu gugup. Jelas saja Wahyu gugup dia belum membuat ceritanya sama sekali. Buku tulisnya saja masih kosong. Wahyu belum menulis apapun di buku tulisnya.
“Kenapa gugup Wahyu?” Tanyaku lembut, namun Wahyu hanya diam.
“Kamu belum membuat ceritanya ya?” Tanyaku lagi.
“Ng ng ngga Bu. Saya sudah membuat cerita karangan saya.” Jawab Wahyu berbohong.
“Baiklah, kalau kamu sudah membuat cerita karangan silakan maju ke depan dan membaca cerita yang telah kamu buat.” Perintahku kepada Wahyu.
Wahyu pun menurut dan berjalan ke depan kelas, wahyu mulai membuka bukunya, dan mulai membacakan karangannya.
“Ibu Kartini. Iya ibu kartini, inget ya Kartini, bukan Kartono.” Wahyu memulai sambil menebar senyum
 “Ibu Kartini lahir di Jepara, pada tanggal dua puluh satu bulan april tahun seribu delapan ratus tujuh puluh sembilan dan meninggal di Rembang pada tanggal tujuh belas bulan september pada tahun seribu sembilan ratus empat. Innalilahi wa innailaihi rojiuunn.”
Dengan watados alias wajah tanpa dosa Wahyu melipat buku nya.
“Hah? Sudah?” Tanyaku heran.
Wahyu dengan kalem dan pamer lesung pipit dan dengan senyum sok imut menjawab, “Sudah Bu.”
Lagi-lagi kejadian hari ini. Ya Tuhan, berikanlah aku kekuatan untuk menghadapi murid-muridku yang error ini.

*** SELESAI ***

Tentang Penulis :

Siska L. Rumahorbo. Suka Real Madrid C.F, suka Cristiano Ronaldo (tapi sayang Ronaldonya ga suka Siska), suka Mario Gotze (dan ternyata Mario Gotze juga suka Siska, *dalam mimpinya Siska*). Alumni Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten. Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. FB : Siska Lasria Rumahorbo. Twitter : @kikareky dan @kim289_, LINE : siskalasriarumahorbo. Blog: siskalasriar289.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar