Saat
Hati Memilih
(Oleh
Siska L. Rumahorbo)
Malam itu aku pulang bersama Dimas,
sebenarnya aku ingin sekali pulang bersama Julian, tetapi sayang tempat tinggal
kami tidak searah, kost-anku dan kost-an Julian bertolak arah, jadi aku pulang
diantar Dimas yang searah denganku. Malam ini sudah cukup larut, bahkan bisa
dibilang sudah dini hari, ini sudah jam dua pagi, dan aku baru pulang, bisa
gawat kalau Ibu pemilik kost tahu aku pulang larut malam, bukan karena
peraturan di tempat kost yang melarang anak-anak kostnya pulang malam, tetapi
karena Ibu kost yang menganggap aku, dan juga anak-anak kost lain seperti anak
mereka sendiri, mereka khawatir jika anak-anak mereka pulang sampai larut
malam, bahkan dini hari. Selayaknya orangtua yang geram melihat anaknya, atau
lebih tepatnya anak perempuannya pulang malam, Bu Rima pemilik kostan akan
ngomel-ngomel kalau ada yang ketahuan pulang pagi, seperti aku sekarang ini.
Sesampainya di depan kost-an aku langsung
menelepon Ririn teman kost-ku untuk memantau keadaan supaya aku aman memasuki
kost-an dan tidak kena omel oleh Bu Rima. Saat keadaan kira-kira aman, barulah
aku masuk. Ririn dengan mata merem-melek dan dengan kondisi yang aku yakin dia
sekarang setengah sadar membukakan pagar untukku, kasihan temanku ini, aku
sudah mengganggu tidurnya.
“Ganggu aja lu, gue ngantuk tau!” Marah
Ririn saat kami sudah dikamar.
Aku dan Ririn satu kamar tetapi beda
tempat tidur.
“Sorry ya Rin, lagian lu malem minggu
gini masa kerjaan lu cuma tidur?”
“Gue ga suka kelayapan kaya lu!”
“Gue bukan kelayapan, gue cuma melepas
penat setelah seminggu kerja.”
“Whatever.”
“Diantar siapa lu tadi?” Tanya Ririn
dengan mata sayup, maklum namanya juga orang ngantuk dan mungkin saja saat ini
Ririn setengah sadar.
“Gue diantar Dimas, pengennya sih
Julian, tapi kan kita nggak searah, dia dimana gue kemana. Gue nggak tega minta
dianterin sama dia.”
“Laki lu nggak ngamuk lu pulang jam
segini? Satria sabar banget ya, beruntung lu punya pacar kaya Satria”
“Dia nggak akan marah, ya iyalah. Amel
gitu… Rin, gue mau cerita.”
“Besok aja Mel, gue ngantuk.” Jawab
Ririn malas sambil naik ke tempat tidur dan memeluk gulingnya.
“Rin, dengerin gue.” Kataku sambil
duduk ditempat tidur Ririn.
“Berisik Mel. Gue ngantuk ah.” Ririn
mengambil selimut dan menutup wajahnya dengan selimut. Aku memukul Ririn dengan
bantal gulingku lalu aku menuju ke tempat tidurku.
Ya
Tuhan, perasaan macam apa ini? Aku mencoba untuk tidur, tetapi terus terbayang
saat tadi aku nongkrong dengan teman-temanku. Dimas dan Julian adalah
teman-teman dari kantor lamaku. Ya, aku sekarang bekerja di perusahaan Advertising setelah kemarin aku bekerja
pada perusahaan Asuransi. Aku masih dekat dengan teman-teman dari kantor
lamaku. Aku teringat kejadian tadi. Saat bermain bowling Julian mengajariku
cara melempar bola, bahkan saat karaokean tadi.
Sebenarnya bukan hanya aku,
Julian dan Dimas yang tadi pergi, ada juga Selvi dan beberapa teman yang lain,
tetapi aku tidak terlalu menghiraukannya. Aku terpaku hanya pada Julian. Iya
Julian, dan entah apa yang ada dalam pikiranku tadi, aku tidak ingat pada
Satria pacarku saat tadi. Pada saat karokean itupun aku menyanyikan lagu “Suka
sama kamu” dari band Bagindaz, aku
menyanyikannya untuk Julian. Iya, untuk Julian, dan saat menyanyikan lagu itu
aku duduk disamping Julian, Julian memegang tanganku, tidak, lebih tepatnya
menggenggam. Julian menggengam tanganku saat aku menyanyi tadi. Saat itu juga
aku duduk disamping Julian, kami begitu dekat, bahkan aku menggandeng tangannya.
Oh my! Selesai karaoke, dan saat keluar dari tempat karaoke aku berjalan
disamping Julian, dan tak kusangka Julian merangkulku, aku antara ingin
melepaskan rangkulannya atau menerima rangkulannya. Aku ingin melapas
rangkulannya karena aku ingat Satria, pacarku. Sementara aku ingin terus
dirangkulnya karena aku merasa nyaman, dan bahagia. Oh My!
Sudah hampir pukul empat subuh, aku
belum bisa tidur juga. “Satria, maafkan aku ya sayang.” Ucapku dalam hati.
Pikiranku masih melanglang buana, dari Sabang sampai Merauke kembali lagi ke
Sabang tiba lagi di Merauke. Pikiranku mulai tidak jelas. Aku sudah lama kenal
Julian, sejak aku menjadi karyawan baru di kantornya, sampai sekarang aku resign.
Sementara Satria, aku juga sudah lama kenal dengan Satria, dan dalam hubungan
ini kami hampir setahun berpacaran, aku dan Satria bahkan sudah berencana untuk
serius dan Satria ingin membawaku dan memperkenalkan aku kepada kedua
orangtuanya juga keluarga besarnya. Aku pernah memperkenalkan Satria pacarku
kepada teman-teman kantor lamaku, kepada Dimas juga kepada Julian. Satria kini
berada di Surabaya, dia bekerja disana.
Aku berharap Satria baik-baik saja
disana, dan tidak tergoda oleh wanita lain, tetapi apa yang terjadi dengan aku,
aku mulai tergoda. Laki-laki seperti Satria, tentunya menjadi incaran
perempuan-perempuan lain, dengan wajah yang oke, pekerjaan yang bagus dan
kepribadian yang manis membuat Satria banyak yang ingin mendekati, aku
benar-benar beruntung bisa menjadi calon istri Satria. Pikiran-pikiran itu
terus bermain dalam otakku sampai aku tertidur. Satria.
***
“Kamu pulang jam berapa semalam?” Tanya
Satria saat dia meneleponku
“Eum…. Aku sampe kost-an jam tiga
kurang.” Jawabku takut.
“Ngapain aja sih? Pergi sama siapa
sampe pulang subuh gitu?”
“Maaf ya sayang. Aku pergi sama
temen-temen kantor lama.” Jawabku dengan nada melas. Aku takut Satria marah.
“Sama temen kantor apa sama pacar
baru?” Tanya Satria curiga.
“Heh! Kamu itu apa-apaan sih! Nggak ada
pacar baru, nggak ada pacar aku selain kamu.”
“Cuma kamu sama Tuhan yang tau.” Ketus
sekali jawaban Satria.
Kami mulai ribut ditelepon, Satria
biasanya kalau sudah ribut begini ujung-ujungnya aku dikasih kuliah enam SKS,
Satria kalau sedang marah aku bisa diceramahi ini itu, dan seperti yang ku katakan
tadi, enam SKS! Aku sedang dikamar bersama Ririn, Ririn langsung pergi keluar
kamar saat dia mulai merasakan aura negatif dikamarnya. Aura negatif yang
datang dariku, karena aku mulai ribut dengan Satria. Setelah ceramah enam SKS
selesai Ririn kembali ke kamar.
“Kenapa sih? Ribut melulu.” Tanya
Ririn.
“Biasalah orang pacaran masa nggak ada
ribut.”
“Lu udah pacaran jarak jauh, masih aja
ribut-ribut.”
“Berisik lu. Kaya nggak pernah pacaran
aja.”
Seketika Ririn diam. Aduh! Aku salah
ngomong. Aku membuat Ririn sedih dengan perkataanku, Ririn pasti sedih dan
ingat kejadian itu. Kejadian saat pacar Ririn meninggal dunia bersama
selingkuhannya. Harusnya Ririn bersyukur pacarnya yang berkhianat telah
meninggal, bahkan bersama selingkuhannya itu. Pengkhianat seharusnya mati.
“Rin, maafin gue ya.” Ucapku sambil
menghampiri Ririn.
“Iya Mel. Gak apa-apa. Pengkhianat udah
seharusnya mati!” Ririn murka.
Deg! Tiba-tiba jantungku berdegup
kencang. Pengkhianat? Apakah aku pengkhianat? Mengkhianati Satria dengan rasa
yang kumiliki sekarang? Ah, aku tidak menyukai Julian. Tidak! Aku tidak
menyukai Julian. Aku bukan pengkhianat!
“Mel, lu kenapa bengong?”
“Ah,, mmmm.. nggak Rin.”
“Julian ganteng ya, lu kayaknya bahagia
tiap kali cerita tentang Julian.”
“Lebih ganteng Satria.” Jawabku
“Lu suka ya sama Julian?”
“Ngga Rin, ada-ada aja lu.” Aku
mengelak, entah aku benar-benar tidak menyukai Julian, atau aku sedang
mengingkari perasaanku.
“Suka juga ga apa-apa kok, Julian
ganteng. Lagi pula Satria jauh.”
“Nggak mungkin lah Rin gue suka Julian.”
“Nggak ada yang nggak mungkin sayang.”
“Gue mencoba dan memilih setia pada
Satria.”
“Bagus kalo lu setia, tapi harus lu tau
Mel, kesetiaan itu bisa dikalahkan dengan orang yang selalu ada.”
***
Mungkin
benar aku menyukai Julian, bahkan dulu alasanku resign dari kantor lama adalah karena aku tidak ingin satu kantor
dengan Julian, dan ingin menghindari Julian, apa mungkin dari dulu aku sudah
menyukai Julian? Aku menghindari Julian sejak lama, sejak aku berpacaran dengan
Satria. Jujur aku tidak tahan dengan godaan, dan saat itu aku berfikir aku
mulai tergoda dengan Julian, dan aku memilih menghindar dari godaan itu.
Perempuan mana yang tidak tertarik dengan Julian. Tampan, mapan, perhatian.
Sempurna. Dan aku adalah salah satu dari mereka itu. Tidak salah lagi, aku
benar menyukai Julian. Aku benar-benar bingung, aku sayang Satria namun aku
sudah lama menyukai Julian, apa yang harus lakukan, siapa yang akan aku pilih.
Entahlah, aku tak tahu.
“Rin, Julian ngajak gue ketemu.”
“Ya terus?” Tanya Ririn cuek.
“Gue harus gimana? Gue ketemu atau gue
tolak? Gue takut.”
“Apa yang lu takutin Mel? Lu takut lu
semakin suka sama Julian.”
Aku hanya diam, tidak menjawab
pertanyaan Ririn.
***
Aku
akhirnya bertemu juga dengan Julian ditempat yang telah kami tentukan, masih
terlalu pagi jika ingin menghabiskan waktu weekend
ini, aku langsung menuju tempat yang sudah kami sepakati, tidak ada yang spesial disini, hanya
jalan-jalan dan makan, dan ketika makan.
“Mel,
Dimas, ngomong apa sama lu?” Tanya Julian saat makan.
“Ngga
ada.”
“Yakin?”
“Mmmm…
Dimas mau jodohin kita, padahal Dimas tau gue udah punya pacar. Rese temen lu
itu.”
“Temen
gue kan temen lu juga.” Jawab Julian.
“Lu suka kan sama gue?” Lanjut Julian,
dan jujur pertanyaan Julian membuatku tiba-tiba batuk. Aku diam sejenak,
memandang Julian, memandang matanya, mencoba melihat dan merasakan apa yang dia
rasa saat ini.
“Julian,
gue tau lu cakep, lu keren, kerjaan lu juga udah bagus, cewe mana yang nggak
suka sama lu, kalau di bilang gue suka sama lu, sebagai cewe normal gue akui
gue suka sama lu tapi gue tekankan, gue sebatas suka sama lu, gue nggak pernah
sedikitpun berharap apapun terjadi diantara kita.” Jawabku dengan tegas.
“Yakin?
Yakin cuma suka? Ga ada perasaan lain?” Goda Julian.
“Gue
yakin karena perasaan cinta dan sayang gue cuma untuk Satria.”
“Makasih
atas kejujuran lu ya Mel.” Jawab Julian tersenyum.
Aku membalas senyumnya, setelah selesai
makan aku pamit pulang kepada Julian, dan sejak saat itu aku mulai jaga jarak
dengannya karena aku hanya ingin menjaga rasa yang ada antara aku dan Satria.
Jika
hatiku boleh berbicara dia akan mengakui bahwa aku menyukai Julian, namun
hatiku tak bisa ingkar jika sayangku hanya untuk Satria. Aku memang menyukai
Julian sejak lama, namun aku sadar bahwa rasa suka itu hanyai sampai disitu, ku
akui hingga kini aku masih menyukai Julian, walau sempat terfikir apakah aku
harus menduakan Satria karena aku menyukai Julian, ataukah aku memutuskan
hubungan dengan Satria lalu pergi bersama Julian, aku sadar itu hanya fikiran
bodoh. Aku sadar itu adalah godaan saat jarak jauh, dan aku sadar rasa sayang
ini akan tetap bertahan. Saat hati berbicara dia memilih orang yang membuatnya
nyaman, saat hati berbicara dia memilih untuk setia karena aku yakin
kesetiaanku kepada Satria tidak akan sia-sia. Saat hati berbicara dengarkanlah
dia, karena dia akan membawamu kepada kebahagiaan.
*** END ***
Tentang Penulis :
Siska L. Rumahorbo. Suka Real Madrid
C.F, suka Cristiano Ronaldo (tapi sayang Ronaldonya ga suka Siska), suka Mario
Gotze (dan ternyata Mario Gotze juga suka Siska, *dalam mimpinya Siska*). Alumni
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten. Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.
FB : Siska Lasria Rumahorbo. Twitter : @kikareky dan @kim289_, LINE :
siskalasriarumahorbo. Blog: siskalasriar289.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar