Rindu Fajar
(Oleh Siska L. Rumahorbo)
Alin
membawakan makanan dan menyuruhku makan setelah semalam tadi tak sedikitpun
makanan masuk perutku. Aku menginap dirumah Alin dengan harapan aku tidak
kesepian, dan tidak terlalu galau jika ingat kepada Al pacarku yang sekarang
jauh disana, karena biasanya aku menghabiskan waktu bersama Al, dan sejak
hubungan kami ini jarak jauh (seperti sambungan telepon, SLJJ alias sambungan
langsung jarak jauh.) kami hanya bisa menghabiskan waktu dengan saling
mendengar suara. Aku tidak ingin Ibuku melihatku galau.
“Wi, makan
dulu, nanti kamu sakit.” Alin mengingatkan aku. Aku hanya mengangguk karena aku
tidak ingin berbicara banyak, dan Alin tahu itu.
Aku ingat
saat pertama aku bertemu dan berkenalan dengan Al di stasiun Kereta Jakarta
Kota. Saat itu kami sama-sama sedang menunggu Kereta jurusan Bogor karena saat
itu aku ingin bermain kerumah Alin, kami duduk dibangku, dan Al mulai
mengajakku mengobrol.
“Neng, baru
pulang kerja ya?” Tanya Al pada saat itu.
“Lu ngomong
sama gue?”
“Nggak, gue
ngomong sama bangku.” Jawabnya sambil mengalihkan penglihatannya ke bangku dan
mengelus-elus bangku.
“Ya iyalah
gue ngomong sama lu.” Sambungnya sambil melotot ke arahku.
“Oh. Gue
pikir lu ngomong sama bangku.” Jawabku dengan memandang ke bangku dan ikutan
mengelus-elus bangku. “Nama gue bukan Neng.” Sambungku.
“Iya, maaf.
Lu baru pulang kerja?”
“Nggak, gue
baru pulang ngondek!” Jawabku ketus, sudah tahu aku baru pulang kerja, kenapa
dia tanya segala? Aku tahu sih maksudnya adalah basa basi, tapi basa basinya
itu sudah basi, basa basi busuk, dan mendengar jawabanku itu wajah Al tampak
kaget.
“Lu aneh,
udah tau gue baru pulang kerja, pake tanya segala. Lu baru pulang kerja juga?”
Aku bertanya balik pada Al, dan jawabannya membuatku serasa medapat nilai satu
sama.
“Nggak Mbak,
gue baru pulang ngondek.” Jawabnya sambil nyengir.
“Kasian,
ganteng-ganteng kok ngondek.” Kataku pelan, namun terdengar oleh Al.
“Emang salah
kalo orang ganteng ngondek?” Tanya Al, namun aku tidak menjawab.
“Panggil gue
Al, Mbak siapa?” Al memberikan tangannya, dan aku meyambutnya, kami bersalaman.
“Wiwi.”
Jawabku singkat.
“Lu kerja
dimana Al?” Tanyaku dengan menyebut nama “Al” agar terdengar akrab.
“Di lembaga
keuangan Wi. Lu dimana?”
“Di Bank
maksud lu? Bagian apa?” Tanyaku
“Gue di
bagian Front Office Wi.”
“Teller?
Atau Customer Service?”
“Depannya
lagi wi.”
“Apaan?
Marketing?”
“Bukan Wi,
depannya lagi. Gue biasa bawa pentungan sama peluit.”
“Satpam?”
Tanyaku, sementara Al tersenyum.
“Iya Wi, kan
bagian depan kantor. Hehehe…”
Ya ampun,
saat itu aku masih nggak percaya kalau Al bekerja sebagai satpam di sebuah
Bank, paras yang menurutku masuk dalam kategori tampan rasanya sayang sekali
jika harus bekerja sebagai satpam. Padahal menurutku dia bisa menjadi foto
model, model iklan, bahkan bintang sinetron. Al benar-benar tampan, tidak putih
memang, kulitnya sawo matang namun lesung pipit di wajahnya itu membuat Al
terlihat manis, apalagi saat dia tersenyum. Saat itu Al ingin mengunjungi
temannya yang sedang sakit.
“Wiwi, kerja
di Bank juga? Bagian apa?” Tanya Al padaku.
“Gue bagian
back office.” Jawabku singkat.
“Yang ngurusin
data-data gitu ya Wi?”
“Bukan, gue
ngurusin yang kotor-kotor, gelas kotor, lantai kotor, dan lain-lain.”
“OG? Office
girl?” Tanya Al, dan aku hanya bisa tersenyum.
“Iya, itu
kan di bagian belakang kan, sama kayak lu kan?” Jawabku sambil tersenyum.
Sempat dia
berkata bahwa sangat disayangkan jika aku harus menjadi office girl, namun ya
begitulah kenyataannya. Sambil menunggu kereta kami terus mengobrol, dan
akhirnya aku tahu bahwa pekerjaan dia sebagai satpam itu adalah sebagai
pekerjaan sambilan, karena saat itu Al ingin sekali kuliah namun keadaan
finansial yang kurang mendukung, maka Al harus sambil bekerja untuk bisa
membiayai kuliahnya. Ternyata sudah lama juga Al bekerja sebagai satpam dan
kuliahnyapun sudah hampir selesai. Pertemuan pertama dengan Al, perkenalan
dengan Al, membuatku semakin merindukan Al.
***
Alin kembali
ke kamar setelah tadi dia meninggalkan aku sendirian ke kamar dan dia terlihat
khawatir lantaran aku belum juga makan makanan yang dia bawakan tadi, dia
mengambil makanan itu, dan menyuapi aku.
“Mamam dulu
yuk Wiwi sayang, nanti kamu atit.” Alin berusaha membujukku.
“Buka
mulutnya sayang, a dulu.. aaaa…..” Kata Alin dan aku menurut, aku membuka mulut
dan Alin memasukkan makanan ke mulutku, Alin tentu tidak tega melihat aku dari
semalam belum makan, maka dari itu Alin berinisiatif menyuapi aku. Aku jadi
ingat saat aku sakit Al menjengukku dan Al menawarkan diri ingin menyuapi aku
namun Al ingin menyuapi aku pake sendok semen, memangnya mulut aku ini adukan
semen. Al keterlaluan.
“Alin, gue
kangen sama Al.” Kataku saat Alin menyuapiku.
“Sabar ya
Wi, lu berdoa aja supaya Al baik-baik disana.” Alin tersenyum.
Selesai
menyuapi aku Alin menyuruku istirahat dan meninggalkan aku sendirian dikamar
dan dia kembali ke ruang tamu untuk menemui Hans pacarnya karena Hans sedang
datang menemui Alin, aku jadi tidak enak hati merepotkan Alin.
“Ya Tuhan,
semoga Al baik-baik saja.”
Kesendirian
seperti inilah yang membuat aku kembali mengingat Al, waktu awal-awal kisahku
dengan Al. Pernah saat itu aku berada diterminal bis, saat itu aku ingin ke
Purwakarta mengunjungi Kakaku yang sedang sakit, aku sudah duduk didalam bis
menunggu bis berangkat dan tak kusangka Al juga berada disitu, melihatku duduk
sendiri Al menghampiriku dan duduk disebelahku.
“Wiwi, lu
mau kemana?” Tanya Al yang terlihat kaget, seperti baru pernah saja melihat
wanita cantik sepertiku.
“Nah, lu
sendiri mau kemana?” Aku balik tanya.
“Purwakarta.”
“Ya udah,
berarti gue juga mau ke Purwakarta.” Jawabku galak.
“Lu ngikutin
gue ya Wi?”
“Huekk… Ih,
Pede banget lu.”
“Kamu kenapa
Wi? Kamu mual? Kamu sakit?” Tanya Al.
“Iya! Gue
mual liat muka lu!” Aku masih jutek.
“Kamu
beneran mual? Jangan-jangan kamu hamil. Wi, gue kan belum pernah sentuh lu
sedikitpun, kok lu bisa hamil?”
“Gue hamil anaknya Kampret! Puas lu!”. Jawabku
emosi. Setelah itu tidak ada lagi percakapan diantara kami. Namun, lima menit
kemudian Al bertanya lagi.
“Wi, lu mau
ke Purwakarta kan?”
“Yah elah,
ini orang tadi kan udah nanya, ngapain sih tanya lagi?”
“Nggak
apa-apa Wi, sama gue juga mau ke Purwakarta.” Jawab Al sambil senyum.
Namun, lima
menit kemudian Al kembali bertanya kepadaku.
“Wi, lu mau
ke Purwakarta ya? Mau ngapain?”
“Iya! Gue
mau jenguk Kakak gue yang lagi sakit!” Jawabku dengan emosi.
Lima menit
kemudian.
“Wi, lu yakin
mau ke Purwakarta?” Tanya Al lagi.
“IYA
KAMPRET!! GUE YAKIN! SEKALI LAGI LU NANYA GUE GOROK LEHER LU!” Aku benar-benar
emosi lantaran dari tadi Al menanyakan hal yang sama.
Lima menit
kemudian.
“Wi…”
“APA?!”
“Tadi lu
bilang kalo lu hamil anak kampret, barusan lu ngatain gue kampret, berarti lu
hamil anak gue dong Wi. Wah, kita harus cepet nikah Wi.”
“Ogah! Gue
ogah nikah sama lu!”. Jawabku galak. Setelah itu kami diam, namu tak lama Al
kembali memanggilku.
“Lu beneran
mau ke Purwakarta?”
“Iya Al! Ngapain
sih tanya terus?”
“Eum…. Ini
Wi, kayaknya kita salah bis deh.” Jawabnya dengan wajah pucat, mungkin karena
dari tadi aku memarahinya.
“KENAPA
NGGAK BILANG DARI TADI??”
Saat itu
kami buru-buru turun dari bis, dan sejak kejadian itu aku mulai dekat dengan
Al.
***
Pernah saat
itu Al mengunjungiku kerumahku, kami mengobrol bercanda, sharing, dan aku
mengeluh dengan keadaan badanku karena aku merasa berat badanku sepertinya
naik. You know what? Saat itu aku
sama Al sudah berpacaran.
“Al, menurut
kamu aku sekarang agak gemuk nggak sih?”
“Nggak kok
sayang.”
“Jangan
bohong! Jujur dong sayang.” Pintaku.
“Sayang,
kamu itu nggak gendut, cuma gembrot.”
“APA?? Itu
sama aja!” Aku marah dan aku langsung ngambek.
Al berusaha
membujukku namun aku tetap marah, Al mengambil boneka Teddy Bearku dan bilang,
“Kamu itu
lucu sayang, kayak Teddy Bear ini.” Kata Al mencoba meredakan emosiku.
“Masa sih?”
Aku mulai melunak dan tersenyum.
“Iya sayang,
kamu sekarang jadi seperti Teddy Bear ini, padahal tadinya kamu seperti Barbie.”
Jawab Al kemudian.
“Tuh kan!
Berarti kamu bilang aku gendut kan?”
“Hahaha…..
Nggak sayang, bukan gitu maksud aku.” Al malah tertawa puas sekali.
Lama kami
ngobrol, dan saat akan pulang hujan mulai turus dan cukup deras, Ibuku tidak
tega membiarkan Al pulang karena khawatir Al akan sakit, Ibu menyuruh Al untuk
menginap saja dirumahku. Ibu mencari Al tetapi
Al tidak ada.
“Wi, Al
kemana? Pulang ya? Padahal Ibu sudah bilang sama Al biar dia menginap disini
saja.” Kata Ibu.
“Kok tidur
disini Bu? Ibu suruh Al nginep disini Bu?”
“Iya Wi,
soalnya hujannya deras, jadi Ibu suruh dia tidur disini saja.”
Tak lama Al
muncul di hadapan kami dengan keadaan basah.
“Sayang,
kamu kok basah-basahan begini?” Tanyaku pada Al.
“Tadi calon
mertua suruh aku menginap disini, jadinya tadi aku pulang ambil bantal, guling
dan selimut, biar anget kalo bobo sama kamu.” Jawab Al.
“Hih, siapa
juga yang mau bobo sama kamu!” Jawabku jutek lalu aku meninggalkan Al.
Entah
jadinya Al tidur dimana.
Kenangan-kenangan
awal itu masih saja ku ingat, aku benar-benar tidak menyangka, rasanya baru
kemarin aku mengenal Al namun sekarang aku harus jauh dari dia. Sudah hampir
seminggu Al tidak ada kabar, sejak dia lulus kuliah dan berhenti menjadi
satpam, Al pindah ke Jogja dan bekerja disana, sementara aku masih menjadi
office girl dan sebentar lagi akan menyelesaikan pendidikan sarjanaku, aku
tidak ingin kalah dengan Al, walau aku wanita tapi aku ingin juga menjadi
sarjana, dan aku tidak ingin terus-terusan menjadi office girl.
***
“Wi, besok
Ibu sama Bapak mau ke Purwakarta, kakakmu sakit. Kamu besok pulang ya sayang,
nggak ada orang dirumah, nanti kalau dugondol maling gimana? Sekarangkan lagi
musim.”
“Yah elah
Bu, maling juga liat-liat kali rumah yang mau dimalingin. Lagian dirumah juga
ada Moppy.” Jawabku.
“Nanti yang
jaga Moppy siapa? Yang kasih makan siapa? Yang mandiin siapa?”
“Iya udah
deh, nanti malam aku pulang.”
Malam ini
aku terpaksa pulang karena esok pagi Ibu dan Bapak akan pergi dan aku hanya
berdua saja dengan Moppy. Kenalkan, Moppy adalah guguk kesayanganku (ya iyalah
kesayangan karena hanya dia gugukku). Aku harus menjaga dan merawatnya.
***
“Al kamu dimana sih? Kenapa nggak ada kabar?”
“Al, jawab
dong Al! Bikin aku emosi!”
“AL! JAWAB!”
Sepertinya
aku sudah mulai kurang waras lantaran Al yang benar-benar tidak ada kabar. Aku
hanya bisa berbicara dengan foto Al yang terpajang di kamarku.
“Al, kalo
kamu mau putus sama aku, kamu bilang baik-baik Al, jangan begini caranya.” Aku
mengambil foto Al, aku berdiri didekat jendela sambil terus memandang foto Al.
“Kamu fikir
perempuan mana yang nggak akan uring-uringan kalau pacarnya nggak ada kabar?
Cuma perempuan sarap aja yang seperti itu.”
Aku berbalik
badan, aku ingat Moppy-ku sendirian dari tadi, aku mengambilnya dan
mengelus-elus bulu-bulunya yang halus.
“Moppy, Al
jahat banget, dia tega nggak kasih kabar ke aku.” Aku masih mengelus-elus
Moppy. Aku kembali ke dekat jendela, aku menaruh Moppy ditempatnya yang berupa
karpet dengan bulu-bulu halus.
“Kamu
nyebelin Al!!” Aku berteriak.
“Nyebelin
tapi bikin kangen kan?” Tiba-tiba ada suara dan aku langsung membalikkan
badanku.
“AL!”
Aku
benar-benar tak menyangka Al kini ada dihadapanku, sejak kapan dia ada
dikamarku, aku tak merasakan kedatangannya. Untung yang datang Al, kalau saja
yang datang adalah maling, habis sudah. Tapi ku akui Al ini maling, maling yang
mencuri segalanya dariku, termasuk hati dan perhatianku. Aku langsung memeluk
Al.
“Kamu kapan
sampe di Jakarta? Kenapa nggak kasih kabar? Nggak usah bilang surprise! Aku
nggak suka surprise! Terus kamu kenapa nggak bisa dihubungi? SMS aku nggak di
balas, telepon aku nggak di angkat! Apa segitu sibuknya kamu? Hah?”
“Ya ampun,
kamu bisa nggak sih ngomong pelan-pelan? Nggak usah saingan sama radio rusak
yang ngomong terus nggak berhenti-berhenti, kalau kamu terus-terusan ngomong
kan aku nggak bisa ngerti maksud kamu apa, kalau aku nggak ngerti maksud kamu
nanti kamu marah, kalau kamu marah nanti aku lagi yang salah kalau aku salah
nanti kamu ngambek lagi, kalau kamu ngambek nantiii…..”
“Kamu tuh
yang nyerocos terus, makin pinter nyerocos kamu sekarang.”
“Maaf ya sayang, aku benar-benar
sibuk.”
“Saking
sibuknya sampe lupa sama aku?”
“Ngga lupa
sayang, aku juga lagi siapin ini.” Jawab Al sambil memberikan sesuatu.
Aku membuka
pemberiannya, aku melihat ada beberapa persiapan pernikahan, rupanya Al
mempersiapkan sendiri pernikahan kami, kenapa Al harus melakukan ini sendiri,
padahal aku bisa bantu dia. Namun alasan Al dia tidak ingin mengganggu
kuliahku, jadi cukup Al saja yang super sibuk dan super repot, dan mulai hari
ini Al akan tinggal di Jakarta lagi dan kami akan menikah di Jakarta, tentunya
setelah aku lulus kuliah nanti. Aku memeluk Al dan dia membalas pelukanku.
“Sayang,
Bapak kamu petugas PLN ya?” Tiba-tiba Al bertanya dan aku rasa dia ingin
menggombal, sebenarnya Al ini bukan tipe penggombal.
“Kamu mau
gombal? Aku jawab “iya” aja deh.”
“Pantesan
kalo deket kamu “tegang” melulu bawaannya.”
Aku melepaskan pelukanku, melotot
dan mencubit tangan Al. Namun Al kembali memelukku, aku merasa nyaman dipeluk
Al.
“Sayang, Ibu kamu pasti petugas PAM
ya?” Al masih melanjutkan.
“Aku jawab “iya” aja deh biar kamu
seneng.”
“Pantesan aku kok kaya basah-basah
gimanaaaa gitu kalo deket kamu.”
“AAALLL.” Aku mencubit pipi Al.
“AL FAJAR WARDANA!!”
“Kenapa sayang?”
“Becanda kamu keterlaluan!”
Saat-saat seperti inilah yang
membuat aku merindukan Al, saat bercanda bersama dia, saat kelakuan dia yang
menurutku error, saat-saat seperti inilah yang kemarin membuatku galau bahkan
hampir hilang waras, aku nggak bisa jauh dari Al, sehari tanpa kabar saja aku
sudah gelisah (bukan geli-geli basah), itulah kenapa selama seminggu kemarin
aku hampir gila dibuatnya.
***
Kegalauanku
kini berakhir, Al sudah kembali dari Jogja dia sekarang bekerja di Jakarta, dan
aku juga sudah meyelesaikan pendidikanku. Pernikahan kami telah berjalan, dan
saat ini adalah saat terindah untuk kami, kami akan pergi bulan madu, kami akan
pergi ke Bali.
Saat di
pesawat.
“Wi, kamu
mau kemana?”
“Ya ke Bali
lah, lu pikir?” Jawabku jutek.
“Kok sama?
Kamu ikutin aku ya Wi?”
“Hueeek…
Hih! Males banget!”
“Sama suami
nggak boleh galak-galak Wi.”
“Terus
kenapa?”
“Nanti kalau
ditinggal nangis-nangis, galau.” Al menggodaku.
“Wi, kamu
yakin mau ke Bali?”
“Sekali lagi
nanya gue gorok leher lu.”
“Hahaha…….
Kamu kok masih galak aja sih?”
“Kali ini
kita nggak salah pesawat. Kamu tenang aja.”
“Kita memang
nggak salah pesawat Wi, tapi kita salah seat.”
Jawab Al.
Aku langsung
melihat tiket dan melihat nomor seat
kami.
“Kenapa kamu
nggak bilang daritadi AL FAJAR!”
Saat-saat seperti inilah yang
membuat aku merindukan Fajar, sekarang aku tidak lagi memanggil dengan
panggilan Al, tetapi Fajar. Karena Fajar layaknya fajar yang menyinari bumi,
begitu juga dengan Fajar yang selalu menyinariku dengan kasih dan sayangnya.
Fajar yang selalu menghangatkanku dengan pelukannya, dan Fajar yang mampu
mencairkan amarahku dengan senyumannya. Ada sesuatu dalam diri Fajar yang
membuatku selalu merindukan dia, bahkan setelah kami menikahpun aku masih
selalu merindukan Fajar.
*** SELESAI ***
Tentang
Penulis :
SiskaL. Rumahorbo. Suka Real Madrid C.F, suka Cristiano Ronaldo (tapi sayang
Ronaldonya ga suka Siska), suka Mario Gotze (dan ternyata Mario Gotze juga suka
Siska, *dalam mimpinya Siska*). Alumni Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Banten. Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. FB : Siska Lasria Rumahorbo. Twitter
: @kikareky dan @kim289_, LINE : siskalasriarumahorbo. Blog:
siskalasriar289.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar