Lunas
(Oleh Siska L. Rumahorbo)
Baru saja kubaringkan tubuh ini di kasur terdengar
samar suara Ibu berbicara dengan seseorang diseberang sana hingga memaksaku
bangun dan menguping pembicaraan Ibu dengan pria yang bernama Darma itu. Pasti
Om Darma ingin menagih hutangnya pada Ibu, kalau bukan tentu Om Darma tidak
akan menghubungi Ibu. Orang kaya yang serba punya dan hidupnya sangat sempurna,
menurutku begitu. Beberapa waktu yang lalu Ibu mendapat pinjaman darinya untuk
biaya kuliahku, Ibu sangat ingin melihat anak-anaknya sukses dan tentunya lepas
dari kemiskinan ini. Mengendap-endap sambil bersembunyi di balik dinding,
kupasang telingaku juga konsentrasiku.
***
Ayah telah pergi berpulang ke rumah Allah. Kata Ibu,
Allah lebih mencintai Ayah maka dari itu Allah memanggil Ayah dan dengan begitu
Ayah tidak akan tersiksa lagi dengan penyakit yang bersarang ditubuhnya. Satu-satunya
tulang punggung kami kini sudah tiada, dan kepergian Ayahpun meninggalkan
hutang Ibu pada Om Darma, karena semasa Ayah hidup banyak hutang untuk biaya
pengobatan, belum lagi hutang untuk biayaku masuk kuliah. Ibu bersikeras ingin
aku kuliah agar kelak aku sukses dan membawa kehidupan keluarga menjadi lebih
baik. Lepas dari belenggu kemiskinan.
***
Sore ini aku meminta Fandi untuk menemaniku pergi ke
tempatku mengajar les. Fandi, teman terbaikku sejak kecil, sangat baik. Kami bertetangga
sudah hampir dua puluh tahun. Aku tak ingin melihat Ibu susah jadi kuputuskan
untuk menerima tawaran dari sebuah lembaga bimbingan belajar untuk menjadi tenaga
pengajar.
Bukan maksud sok menolak tawaran tempo hari, tetapi
aku merasa kemampuanku masih belum bisa untuk menjadi tenaga pengajar di tempat
yang terbilang “wah” dan konon katanya banyak anak-anak pintar disana. Sempat
kuberfikir, sudah pintar untuk apa ikut bimbel? Dasar orang kaya! Mungkinkah
mereka mengikuti bimbel itu hanya untuk bergaya dan tak ingin ketinggalan
dengan teman, entahlah. Aku tidak memusingkan hal itu.
Tekadku adalah aku bekerja sebagai tenaga pengajar
untuk membantu Ibu, walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak, setidaknya aku
bisa meringankan ongkos untuk ke kampus hasil dari mengajar.
Mungkin ini sudah jalanku. Fandi mengendarai motor
dengan hati-hati, namun dari belakang, motor kami diserempet oleh sebuah mobil
sedan hingga kami terjatuh dan dari belakang kami sebuah truk datang dengan
kecepatan tinggi lalu melindas tubuhku juga tubuh Fandi yang tergeletak di
aspal.
***
Ibu teriak histeris, menangis menjerit saat mendengar
kabar bahwa aku dan Fandi mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan. Beberapa
pengendara dan penduduk sekitar sempat menolong kami, membawa ke sebuah Rumah
Sakit terdekat, namun usaha manusia tidak direstui Yang Maha Kuasa, aku dan
Fandi harus beristirahat dengan tenang lantaran kami kehabisan darah selama
dalam perjalanan menuju Rumah Sakit.
Luka di kepalaku, luka di tangan dan kaki-ku, tak
seberapa parah dibanding luka-luka pada tubuh Fandi. Luka lebar menganga dan
harus dijahit. Setelah urusan dari Rumah Sakit selesai, keluargaku membawa
jasad kami pulang ke rumah. Tangis Ibuku semakin menjadi saat keluargaku
mencoba untuk member penghiburan.
Ibu, akan kubayar semua hutangmu dengan uang yang
didapat dari asuransi jasa raharja, dan aku bisa bertemu dengan Ayah di rumah
Allah. Tugasku didunia telah selesai. Hutang ibuku telah lunas.
*** SELESAI ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar