Curahan
Hati Sang Mentari
(Oleh
: Gisela Maria)
Ini
hanyalah sebuah tulisan kecil, hasil refleksiku pada suatu senja, kuberi nama “Curahan Hati Sang Mentari”.
Aku mengeluh,
setiap keluar rumah rasanya seperti akan berhadapan dengan musuh, padahal tak
ada sedikitpun tanda-tanda akan ada perusuh. Gerah, suasana di luar rumah
membuat semakin jengah. Panas, panas ini membuat hati mengganas. Tapi ada
ketakutan yang sedikit berlebihan, aku takut.
Dulu kau begitu
ramah, setiap aku keluar rumah kau selalu tersenyum cerah, aku pun tak takut
untuk berjumpa denganmu, kapanpun dimanapun, bahkan sendirian sekalipun. Kau
duduk di tahtamu, di tempat tertinggi. Aku keluar seorang diri, berdiri sendiri
menantang menatapmu dengan berani. Aku kaumandikan dengan kehangatan yang tak
pernah bisa aku lupakan. Tapi kini, jangankan menatapmu, untuk keluar pun
sekarang rasanya aku enggan.
Kau telah
berubah. Kau memang tersenyum cerah, tapi senyummu terlalu cerah, seakan-akan
ingin membunuhku. Senyummu seolah-olah ingin membakarku hidup-hidup. Kini aku
enggan untuk menyapamu, menatapmu aku tak mampu, senyummu terlalu angkuh.
Mungkin sekarang kau akan tertawa karena aku tak lagi bisa berdiri seorang diri
untuk menantangmu dan menatapmu. Senyum angkuhmu itu terlalu menyilaukan
mataku. Setiap aku bediri di luar sana, kau seperti telah siap menghanguskan
aku, hangatmu telah memanas dan memanggangku sampai aku tak mampu meneriakkan
kata menyerah lagi. Begitu dahsyatnya perubahanmu dalam waktu sekejap. Kini,
kau yang dulu begitu aku sayangi, telah berubah menjadi sesuatu yang
menakutkan.
Suatu senja,
ketika aku duduk sendiri dan diam terlalu sunyi, hingga sayup-sayup kudengar
sebuah suara yang mengajakku berbicara. Terdengar lirih.
“Aku tidak pernah berubah, Tere. Kalaupun aku
berubah, itu bukan kemauanku. Tak sadarkah kau, siapa yang membuatku jadi
begini? Ini ulahmu, ulah teman-temanmu, ulah kalian semua.”
“Suara siapa
itu?” aku menoleh ke kanan dan kiri. Kupastikan aku sedang sendirian sore itu.
Sampai ketika aku melihat kau sedikit meredup karena tertutup segumpal awan
yang melintas
“Ini aku, Mentari,” ucapmu
masih dengan lirih.
“Hey? Ini
ulahku? Memangnya kapan aku berulah? Pernahkah aku melakukan sesuatu yang
membuatmu berubah menjadi sesosok monster?” tanyaku setelah tahu bahwa kau yang
mengajakku berbicara.
“Astaga, bahkan kau sendiri tidak
menyadarinya? Baik, aku akan membantumu mengingatnya,” kau mengajakku
kembali mengingat semuanya. “Apa kau
ingat, apa yang kau lakukan ketika kau sedang menulis, lalu salah? Kau meremas
kertas itu dan membuangnya. Kemudian kau membuat kesalahan lagi, meremasnya
lagi, dan membuangnya lagi. Kau lakukan itu berulang kali. Padahal kertas itu
masih banyak yang kosong.”
Aku terdiam
ketika mengingat kejadian itu. Kejadian sepuluh tahun yang lalu ketika pertama
kalinya aku mulai menulis. Dulu aku belum memiliki laptop sehingga kertas dan pena adalah andalanku untuk menumpahkan
segala ide di kepalaku.
“Setelah itu, apa kau ingat, apa yang kau
lakukan dengan kertas-kertas itu setelah menumpuk?” lanjutmu. “Kau membuangnya ke tempat sampah. Dari
tempat sampah, kau membawanya ke mana? Ke tempat pembakaran, lalu dengan
entengnya kau menyalakan pemantik api itu dan membakar habis kertas itu.”
Lagi-lagi aku
terdiam, memikirkan hal-hal yang kau katakan. Aku seperti mendapat tamparan
keras. Lagi-lagi ucapanmu benar, itu juga memang perbuatanku.
“Apakah kau pernah berpikir, Tere, berapa
banyak pohon yang ditebang untuk menghasilkan selembar kertas? Pohon-pohon itu
habis hanya untuk menghasilkan kertas, yang pada akhirnya malah kau sia-siakan.
Itu baru perbuatanmu, bayangkan bila semua orang melakukan hal yang sama
seperti yang kau lakukan. Berapa banyak pohon lagi yang harus mati sia-sia? Dan
ketika mereka telah habis, tak ada lagi yang akan menggantikan mereka
melindungi tempat tinggalmu.”
Aku tertunduk
malu mendengarkan setiap katamu, hati ini rasanya seperti ditikam belati beracun.
Namun semuanya membuatku berpikir lagi, benarkah itu semua? Sekejam itukah aku?
Sekejam itukah manusia-manusia lainnya? Mengapa tak pernah terpikirkan
sebelumnya bahwa akan berdampak seperti ini?
“Kau tahu, Tere? Dari dulu aku memang panas, bila
tak panas maka tak akan ada kehidupan di dunia ini. Tapi karena kau membakar
kertas-kertas itu, maka aku semakin panas, ditambah lagi pohon-pohon yang telah
mati sia-sia itu. Itu baru perkara kertas, belum lagi tunggangan mesin
andalanmu itu, yang setiap hari tak pernah berhenti kau ajak berkeliling kota.
Itu baru kau, belum yang lainnya. Dari atas sini aku bisa melihat berapa jumlah
mesin berjalan itu, semakin hari semakin bertambah banyak, sedangkan jumlah
pohon semakin berkurang.”
Segumpal awan
yang tadinya menutupi sebagian ‘wajah’mu, telah berlalu tersapu angin. Cahayamu
yang keemasan segera menerpa wajahku. Senja itu kau memang marah, tapi cahayamu
ramah. Aku bisa merasakan kehangatanmu yang dulu selalu kunanti. Setelah diam
beberapa saar, kau melanjukan curahan hatimu lagi.
“Di sudut lain, alat yang begitu kalian banggakan,
yang membuat
kalian betah belama-lama di dalam rumah, yang membuat ruangan kalian serasa
berada di Eropa. Kalian di dalam sana boleh merasa nyaman, tapi apakah kalian
tidak sadar bahwa zat yang dihasilkan oleh alat itu telah membuatku semakin
panas juga?”
Aku tahu alat
apa yang kau maksud. AC, tentu saja. Siapa yang tidak betah berada di ruangan
ber-AC? Dengan keadaan Bumi yang semakin memanas ini, semua orang lebih memilih
berdiam diri di dalam ruangan ber-AC. Tapi tanpa disadari freon yang dihasilkan oleh mesin pendingin itu ikut memicu menjadi
penyebab menipisnya lapisan ozon. Itu juga yang membuat kau kian memanas.
“Kau pikir aku mau jadi seperti ini, Tere?” lanjutmu
lagi. “Kau pikir aku mau dianggap seperti
monster? Tentu tidak, Tere. Kau dan teman-temanmu sekarang menganggapku seperti
musuh. Setiap keluar rumah, kalian memakai baju tebal, topi, sarung tangan,
bahkan kacamata gelap. Aku terlalu panas, aku terlalu menyilaukan, aku menghanguskan
kalian. Ya, mungkin aku memang tidak menginginkannya, tapi itulah harga yang
harus kalian bayar atas apa yang telah kalian lakukan!”
Untuk yang
kesekian kalinya aku tersentil mendengar ucapanmu. Apa-apaan ini? ternyata aku
sendiri yang telah mengubahmu menjadi monster. Iya, jika sekarang aku jadi
takut denganmu, itu juga karena aku sendiri yang terlalu angkuh. Dulu aku masih
bocah kecil yang tahunya hanya bermain dan bermain. Ketika beranjak remaja,
mulai banyak hal kecil yang aku lakukan. Hingga akhirnya sekarang, ketika hal
kecil itu telah menjadi besar, dan saat inilah aku menuai hasilnya. Benar
katamu, inilah harga yang harus aku bayar.
Apa aku akan
diam saja? Apa aku akan membiarkan keadaan tetap begini? Tentu tidak. Aku ingin
mengubahmu menjadi sahabatku lagi, seperti ketika aku masih kecil dulu. Apapun
akan aku lakukan untuk mengembalikan Mentari-ku seperti dulu lagi. Aku ingin
kau tersenyum hangat lagi, dan aku ingin senyummu selalu dinanti, bukan hanya
saat senja hari.
Hai, pohon hijau nan mungil, cepat besar ya, Nak.
Mentari membutuhkanmu, kami semua membutuhkanmu, batinku
sambil menyirami salah satu anak pohon di halaman rumah. Anak pohon angsana
yang sudah kupelihara selama satu tahun ini, semoga bisa membuat Mentari
tersenyum ramah lagi.
-The End-
Gisela Maria Swastika Sari
Manohara, lahir di Palembang, 3 Mei 1991. Sulung dari tiga bersaudara. Masih
tercatat sebagai Mahasiswa Teknik Arsitektur Sekolah Tinggi Teknik Musi yang
sibuk dengan Tugas Akhir, namun selalu tergoda untuk menulis dan menulis lagi.
Penikmat coklat, pengagum musik, dan pecinta malam alias tukang begadang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar