Pages

Rabu, 17 September 2014

PANGGILAN HATI YANG BERGANTI


Cerpen yang lolos dalam Event bertema "RINDU", penerbit Mafaza Media

PANGGILAN HATI YANG BERGANTI
Oleh Dewinta Asiana

            Tak terbesit dalam benakku, bahwa detik-detik telah berlalu dan ingatan itu kini kembali terasa. Pergantian malam pun menambah usiaku makin senja. Di kala itu hadir di pikiranku, sesak dalam dada terjadi kian merajalela. Aku terbangun di tengah malam sunyi, dan berjalan menuju dapur untuk membuatkan sebotol susu hangat bagi anak keduaku, Maharani. Sekembali dari itu, aku sempat menatap kalender yang terpajang di kamar tidurku. Aku teringat dengan kampung halamanku di desa.
            Hembusan napasku bertambah sesak dikala melihat tanggal mencapai akhir bulan ini. Tunggakan telepon, air, listrik, sembako, ah, berat rasanya di otakku malam ini. Tapi sudahlah. Besok pasti ada senyuman manis dari isteriku tercinta yang selalu mengawali pagiku yang terkadang terasa sepi.
            Secercah cahaya pagi, kini naik perlahan di ufuk timur. Tatkala putraku, Soni, datang memintaku mengikatkan tali sepatunya. Semeja berempat, terasa bahagia seperti di setiap hariku. Kedua putra putriku terlihat sangat lucu di usia mereka. Rasanya hidup ini sudah lengkap karena kehadiran orang-orang yang selalu aku kasihi.
            Seperti biasa, tiap hari Senin hingga Sabtu deadline pekerjaan sudah menanti di meja kerjaku. Kutaruh tas ransel di atas kursi, dan aku berjalan menuju meja partnerku, Rudi. Dia yang selama ini membantuku menyelesaikan laporan bulanan di kantor. Kalau tidak ada dia, mungkin aku akan kewalahan sendiri dengan setumpuk kerjaan.
            “Rud, besok lusa aku mau ngambil cuti seminggu. Kira-kira si Bos keberatan enggak ya?” Tanyaku pada Rudi tanpa basa basi. Rudi yang baru saja mengawali harinya dengan muka serius, seketika itu menoleh padaku.
            “Mau pergi kemana kamu? Apa kamu enggak tau kalau bulan ini kita harus tutup buku dan nyerahin laporan pada si Boss?”
            Akupun menelan ludah. Rudi terlalu menganggap serius kata-kataku barusan. Ah, tapi itukan kata-kata Rudi, bukan omongan dari si Boss. Kalau enggak dicoba, mana aku tahu cara ini akan berhasil atau tidak.
            “Em, aku sekeluarga mau liburan ke kampung halamanku. Sudah lama aku enggak menengok  keadaan rumah di sana. Lebaran kemarin, aku belum sempat mampir. Tambah enggak enak kalau lama-lama enggak kesana.”
            “Terserah kamu deh. Dua jam lagi si Boss mau datang kok.” Jawab Rudi agak lumayan luluh. Menambah percaya diriku untuk meminta izin pada si Boss. Aku tersenyum lega mendengar jawaban dari Rudi. Dengan wajah agak memelas, aku pun meminta izin pada si Boss. Dan pada akhirnya, terkabul juga.
            Tiba juga dimana hari yang kami tunggu-tunggu. Pagi-pagi kami menyiapkan banyak barang bawaan. Lengkap dengan sebuah mobil Honda yang lumayan keren, hasil dari kerjaku selama hampir empat setengah tahun belakangan ini.
            Istriku yang setia mendampingiku, kini tengah duduk disebelah kiriku. Perjalanan panjang akan kami jalani hari ini. Butuh waktu sekitar 8 jam agar dapat sampai di kampung kelahiranku. Jarang sekali aku mengadakan perjalanan seperti ini di keluarga kecilku. Mungkin baru kali ini aku menunjukkan rumah pertamaku pada istri dan anak-anakku. Sesekali kami berhenti untuk mengisi bensin dan membeli makanan ringan.
            Sesampainya di kampung, aku sekeluarga disambut gembira oleh ketiga adikku yang sekarang sudah berkeluarga. Kedua orangtua kami sudah lama meninggal sejak Nurul, adik ketigaku naik ke pelaminan. Tapi itu tidak menjadikan lupa akan tanah kelahiran, walaupun aku yang sekarang ini tinggal di kota besar. Lama rasanya aku tidak singgah. Semenjak keputusanku untuk menetap di luar kota untuk bekerja hingga aku meminang seorang wanita dari keluarga kalangan atas.
            Hidup tercukupi, kenyamanan terpenuhi, tetapi kurang lengkap rasanya jika belum mampir ke sini. Hanya saja jika aku pergi ke kampungku ini, rasanya ingat dengan seseorang yang pernah membuatku jatuh hati sebelum akhirnya lama di kota. Itulah masa lalu yang belum terungkap sampai sekarang. Namun, aku berusaha menjalani kenyataan hidup bersama Rani, istriku. Rasa penasaranku masih besar, sebelum tahu bagaimana kehidupan seseorang yang untuk saat ini ingin kujumpai.
            Di hari kedua di sini, aku pergi ke kebun yang dulu sering ditanami jagung oleh Bapakku semasa hidupnya. Tanah yang berukuran sekitar 2 hektar itu, aku niatkan untuk dijual saja. Daripada tak ada lagi yang mau merawatnya sejak kepergian Bapak.
            Tak lama seorang laki-laki bercaping dan bercelana pendek menyapaku dari kejauhan. Sepertinya aku mengenal orang itu tapi lupa siapa namanya. Dia langsung menjabat tanganku sebelum tanya siapa aku dan sedang apa aku di sini.

            “Sejak kapan kau datang ke sini, Yud?” Tanya orang itu tanpa ada basa basi lagi. Aku cuma tersenyum menjawabnya.
“Aku Bapaknya Heni. Heni teman SMPmu dulu. Masih ingat enggak?” Tanyanya untuk kedua kali. Aku masih kebingungan sendiri.   
            “Kemarin Pak.” Jawabku.
            “Kau sudah punya anak berapa sekarang?”
            “Dua, satu laki-laki dan satunya lagi perempuan. Emm, Heni gimana kabarnya, Pak? Lama kita tak jumpa.”
            “Baik, enggak mau mampir ke rumah? Dekat kok dari sini. Ayo!” Ajak orang itu padaku. Aku ragu-ragu tetapi rasanya ingin juga menemui Heni, teman kecilku. Mungkin untuk hari ini, belum dulu deh. Kapan-kapan saja aku akan ngobrol dengannya. Pikirku dalam hati. Kali ini aku menolak ajakan Pak Budi, ayah Heni.
            Dalam perjalanan pulang dari sana, aku berniat membeli rujak untuk istriku. Saat aku akan menaiki motor, seorang wanita seumuran denganku tengah berjalan menuju tukang rujak juga. Dia tersenyum sipu kepadaku, seperti sudah kenal lama. Apa dia, wanita yang sebenarnya ingin kutemui?
            “Kau Heni, ‘kan?” Secara spontan aku bertanya pada wanita tadi. Dia cuma mengangguk pelan. “Lama kita enggak ketemu ya. Sekarang kau punya anak berapa?” Tiba-tiba saja dia pergi tanpa menjawabku terlebih dulu.”Hen, Heni!” Panggilku.
            “Kau kenal dia ya, Mas?” Tanya si tukang rujak. Aku pun menoleh seketika.
“Kau tidak tahu, dia itu siapa?” Orang itu menghela napas sebelum meneruskan omongannya. “Denger-denger sih, dia itu gila gara-gara ditinggalin pacarnya. Katanya sih gitu, Mas. Kasihan dia. Cantik-cantik gila.” Aku kaget banget mendengar penjelasan si tukang rujak itu. Rasanya jantungku mau copot kali ini. Masyaallah. Kenapa Heni sampai begitu? Apa jangan-jangan….
            Sesampainya di rumah, aku langsung terduduk lesu. Sampai-sampai bibirku tidak bisa digerakkan. Istriku beranjak menghampiriku, membawakan segelas air putih karena dia melihatku aneh sekali hari ini. Aku menelan ludah, menyiapkan jawaban atas pertanyaan istriku nantinya.
            “Mas, kamu kenapa? Tiba-tiba pulang dari menengok kebun malah jadi kayak gini. Kamu sakit?” Istriku meminta penjelasan atas keanehan pada diriku.
“Ya udah, diminum dulu airnya. Biar Mas Yudi tenang.” Sejak tadi aku belum menjawab pertanyaannya satupun. Pikiranku ke mana-mana jadinya. Aku berusaha mengatur rasa gugupku saat ini.
Aku masih terdiam lama, tapi istriku tetap setia menunggu jawaban dariku.
            “Kau mau menemaniku menemui seseorang?”
            “Iya Mas, aku mau.” Tanpa tanya apa-apa, Rani langsung menyetujui permintaanku. Sebenarnya aku enggak enak hati dengan Rani. Tapi apa boleh buat. Seseorang yang telah lama tak kutemui lagi, kali ini ingin sekali kudatangi rumahnya. Bukan karena apa-apa dan bukan karena siapa-siapa. Tapi aku hanya ingin tahu, apa yang terjadi padanya selama kutinggal pergi ke kota.
            Senja pun datang mengganti terangnya dunia hari ini. Sehabis berjamaah dengan keluarga, aku dan istriku langsung menuju ke rumah Heni. Apa yang menjadi penyebab perubahan di diri Heni kini membuatku penasaran. Pikiranku kembali ke masa lalu saat aku dan Heni masih remaja dan pernah menjalin hubungan selayaknya sepasang sejoli. Namanya juga anak muda. Setiap hari ketemu membuat kami saling ada perasaan satu sama lain. Namun itu tak pernah terjadi secara serius.
            Sudah hampir delapan tahun aku tidak pernah menyapanya semenjak kepergianku mencari kerja di kota. Tapi tak banyak yang tahu tentang hubunganku ini. Termasuk kedua orang tua kami sendiri. Jujur, aku rindu padanya. Di sisi lain, aku sangat mencintai Rani, istriku.
            Di teras rumah Heni, terlihat bapaknya sedang merapikan kayu. Di saat kedatanganku, beliau beranjak mendekat dan menjabat tanganku. Kedua orang tuanya memang sangat baik padaku. Kami dipersilakan masuk dan duduk di kursi ruang tamu.
            Tidak banyak ada perubahan pada keadaan rumahnya. Hanya jumlah penghuninya saja yang berkurang. Ku awali niatku dengan basa basi. Tak nampak Heni keluar untuk menjamu kedatangan kami. Tapi tak lama lamunanku pudar saat Heni keluar dari dalam kamarnya. Dia juga tak nampak berubah. Hanya sedikit kurusan. Dia tersenyum  padaku dan juga pada istriku. Wajahnya tak sedikitpun memperlihatkan kekecawaan atau kesedihan. Ia pun duduk di sebelah ayahnya.
            “Nak Yudi, kami minta maaf sebelumnya.” Kata ayah Heni.
            “Kenapa Pak?”
            “Sebenarnya…Heni ini sudah enggak seperti Heni yang dulu lagi.”
            “Maksudnya apa ya, Pak?”
            “Heni itu orang yang jarang cerita-cerita. Apapun masalahnya selalu dipendam sendiri. Mungkin ini akibatnya jika orang yang terlalu menyembunyikan perasaan hati. Malah jadi penyakit pada pikirannya sendiri. Sudah hampir enam tahun dia seperti ini. Berobat  ke mana-mana sudah kami jalani. Rasanya kami sangat putus asa.”
            “Apa Heni enggak pernah cerita-cerita, kenapa atau siapa yang membuatnya kayak gini, Pak?”
            “Dia itu pendiam. Hingga sekarang, tak ada satupun pria yang mau mendekatinya gara-gara ketidakwarasannya ini.” Beliaupun tak dapat menahan rasa sedihnya waktu bercerita tentang Heni. Sungguh tragis rasanya aku mendengar cerita itu. Aku jadi rindu pada Heni yang dulu. Dia itu selalu ramah dan baik padaku. Tapi sekarang sudah jauh berubah. Dia bukanlah Heni yang pernah kukenal. Aku lantas tersungkur di kaki Heni seketika itu. Istriku yang mengetahui hal itu, spontan memapahku untuk duduk kembali.
            “Pak, aku minta maaf pada keluarga ini. Terutama pada Heni. Mungkin gara-gara diriku Heni menjadi seperti ini. Aku tinggalkan dia sewaktu kami saling suka. Bertahun-tahun aku tidak pernah menengok apalagi tanya kabar tentang dia. Aku sengaja pergi darinya karena ini kehendak kedua orang tuaku sendiri. Aku enggak tau kalau akibatnya akan seperti ini, Pak. Aku minta maaf.” Tangisku di depan ketiga orang yang memang seharusnya kukatakan dengan sejujur-jujurnya apa yang terjadi dengan masa laluku bersama Heni. Walaupun agak sakit hati, ayah Heni menerima permintaan maafku. Semuanya adalah takdir. Dan kita semua tidak tahu, apa yang akan terjadi selanjutkan pada kehidupan ini. Rasa rinduku pada wanita pertama yang membuatku jatuh hati, kini telah berganti dengan rasa bersalah yang amat mendalam.
            Di kehidupanku yang nyata, aku akan selalu memperbaiki diri untuk membangun hidup baru dengan istri dan kedua anakku. Kesalahanku di masa lalu, tak akan kuulangi di masa yang akan datang. Rindu ini tetap tersimpan walau sudah lapuk dimakan zaman. Panggilan yang selama ini kurasakan, sekarang sudah terjawab dan tersampaikan kepada orang yang kutuju. Pergantian hati takkan menjadikanku berubah pikiran. Yang dulu adalah masa lalu, dan yang sekarang adalah kehidupan nyata yang harus aku jalani.

*** THE END ***

Namaku Dewinta Asiana, Lulusan dari SMK N 1 Kudus angkatan tahun 2010 jurusan Akuntansi. Beralamat di Desa Kedungdowo Krajan RT 01/RW 1 Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kudus. Email : d_asiana@yahoo.com. Akun Facebook : Sang Fatamorgana. Motto Hidup : Gunakan masa mudamu untuk melakukan hal-hal yang positif, sebelum datang masa tuamu hingga kau tak dapat melakukan apa-apa lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar