Pages

Rabu, 17 September 2014

My Brother


Cerpen yang lolos dalam Event bertema "RINDU" penerbit Mafaza Media.

My Brother
Oleh Veronika Shelvina

Setelah lima tahun aku tidak melihat dirinya, kini aku berdiri di depan sebuah kafe sederhana di pusat kota. Titik-titik air yang turun serta embusan angin berhawa dingin bukanlah halangan bagiku untuk menunggunya. Aku ingin melihat bagaimanakah keadaan dia sekarang? Apakah kabarnya baik? Bagaimana pula dengan pekerjaannya?
Banyak pertanyaan terlintas dalam benakku sampai-sampai aku tidak sadar bahwa ia sedang berjalan ke arahku. Gadis bersurai panjang itu terlihat semakin dewasa. Blus atasan biru muda yang kasual dipadukan dengan rok hitam selutut. Kakinya dibalut sepatu cokelat dengan hak setinggi lima sentimeter.
Dia tetap terlihat manis. Bahkan aroma parfum dari tubuhnya menebarkan pesona yang sama seperti sebelumnya saat ia melewatiku. Aroma camomile yang selalu menjadi ciri khas seorang Seira. Kupandangi punggungnya yang mulai menjauh memasuki kafe. Aku pun ikut masuk ke dalam, lalu duduk manis di kursi yang terletak di sudut ruangan.
Mungkin karena masih terlalu pagi, kafe ini sepi. Aku mengedarkan pandanganku ke arah seorang lelaki paruh baya yang duduk sekitar dua meter jauhnya dariku. Sepasang matanya masih fokus membaca surat kabar sembari sesekali ia menyeruput secangkir kopi hangat. Sementara di sisi lain seorang wanita muda sedang menikmati sarapannya dengan lahap.
Seira datang. Gadis itu membawa nampan yang berisi pesanan milik lelaki paruh baya itu. Tiba-tiba, kudengar pintu kafe dibuka. Sontak aku pun langsung menoleh. Air mukaku seketika berubah saat melihat sesosok lelaki tampan yang berdiri di ambang pintu. Ia membawa sebuah buket bunga lily putih di tangannya.
“Kelvin, pagi sekali kau datang.Sapa Seira ramah. Wajah gadis itu berseri-seri seakan ia sangat senang dengan kedatangan lelaki berparas tampan itu. “Tunggulah sebentar, aku mau beres-beres dulu.”
“Ah, tidak perlu terburu-buru. Aku akan menunggumu, Seira.” Kelvin berucap sambil tersenyum manis. Bibirnya mengembang tipis seiring dengan kedua matanya yang ikut tersenyum pula. Aku tidak suka senyum lelaki itu. Dia benar-benar meniru habis senyumku.
Kelvin duduk di sebuah kursi kayu dengan sandaran busa di belakangnya. Punggungnya yang ringkih itu pun terasa nyaman sekarang. Ia membolak-balikkan buku menu yang terletak atas meja, mengamati setiap menu makanan yang tersedia di kafe itu.
Seira kembali dengan membawa serbet di tangannya. Gadis itu mengelap sebuah meja yang baru saja ditinggalkan oleh wanita muda tadi. Remah-remah makanan yang tersisa dibersihkannya. Piring serta gelas yang sudah kosong pun harus dibawanya ke dapur untuk dicuci.
“Ingin memesan sesuatu?” Seira melirik Kelvin sekilas.
“Hmm, mungkin teh saja. Tanpa gula.”
“Baiklah, tunggu sebentar.”
Seira pun berlalu. Aku berpindah tempat duduk, mengambil posisi kursi di dekatnya. Sesekali aku memerhatikan gerak-gerik lelaki berparas rupawan itu. Sunggingan senyum kecil terpancar di bibirnya sesaat setelah ia mencium aroma wangi dari buket bunga lily yang dipegangnya.
Biar kutebak, lelaki ini pasti menggunakan bunga itu untuk menyatakan cintanya kepada Seira. Ada segelintir rasa kecewa di hatiku. Kepergianku ternyata mampu membuat gadis itu berpaling dari diriku. Bagaimanapun aku harus menerima kenyataan pahit ini.
Seira datang dan membawa secangkir teh hangat untuk Kelvin. Ia menaruhnya di atas meja, lalu duduk di kursi tepat di depan Kelvin.
“Minumlah mumpung masih hangat,” kata Seira lembut.
Kelvin menyeruput cangkir itu perlahan dan menyesap teh tersebut. Aroma daun teh yang wangi itu menguar melalui kepulan uap airnya yang hangat.
“Kau selalu membawa bunga lily untuknya.” Seira sedikit menundukkan kepalanya. Raut wajah yang manis itu mulai berubah muram. Aku mengerjapkan kedua mataku, mempertajam telingaku untuk mendengar apa yang akan dibicarakan gadis ini selanjutnya.
“Iya, dia suka bunga ini,” Kelvin meletakkan buket tersebut di atas meja, lalu menyandarkan punggung ringkihnya ke sandaran kursi.
“Dia pernah bilang kalau bunga lily adalah lambang kesederhanaan, pesona, kerendahan hati, dan kecantikan,” Kelvin mendongak, menatap wajah Seira. “Seperti dirimu.”
Seira sedikit tersentak dengan perkataan lelaki itu. Entah kenapa air matanya hampir menganak sungai. Ia berusaha untuk menahan butiran kristal itu keluar.
“Vincent. Dia tipe lelaki yang tidak mudah menyerah dan juga pekerja keras. Ia selalu berusaha untuk terlihat sempurna, entah apa pun itu. Aku jadi ingat saat masa sekolah dulu. Vincent selalu memarahiku ketika nilai ujianku jelek. Bahkan omelannya yang menurutku tidak bermutu itu selalu saja kuacuhkan.”
Kelvin menarik napasnya panjang. Pandangan mataku tak pernah salah. Ia berusaha menyembunyikan kesedihan hatinya. Hatiku tertohok kala melihat dia bersedih seperti ini.
“Vincent selalu membantuku di saat aku mengalami kesulitan. Ketika aku masih kecil, aku pernah menjatuhkan vas cantik milik ibuku secara tidak sengaja. Ibuku marah, namun Vincent membelaku. Ia mengatakan bahwa dirinyalah yang menjatuhkan vas itu. Dia melakukan hal itu untuk menyembunyikan kesalahanku.”
Suara Kelvin mulai serak. Sebutir air mata pun mengalir di pipi kanannya. “Andaikan ia ada di sini. Andaikan kecelakaan itu tidak terjadi. Andaikan aku bisa memutarbalikkan waktu, aku ingin kembali ke masa-masa itu. Saat-saat di mana aku dan dia masih bersama.”
Aku menahan diriku untuk tidak menangis. Melihat kesedihan hati Kelvin sontak membuatku merasakan hal yang sama. Ya, sejujurnya aku pun ingin kembali ke masa-masa itu. Ah, sayangnya hal itu tak akan pernah terjadi.
Seira menggenggam pergelangan tangan Kelvin, mengelus punggung tangannya lembut.
“Meskipun aku memiliki keinginan yang sama, tentulah hal itu tidak bisa terjadi. Vincent sudah hidup di dunia yang berbeda. Tetapi, aku selalu melihat Vincent ada di dalam dirimu,” ucap Seira sembari tersenyum tipis.
“Oh, Seira, wajahku dan Vincent memang mirip karena kami kembar. Tetapi bukan berarti pribadi kami sama.”
“Aku tahu,” Seira mengubah posisi duduknya. “Tapi aku merasakan suatu hal yang sama saat aku bersama dengan Vincent dan juga bersamamu.”
Mulutku terkatup rapat ketika suara Seira tadi menelusuk telingaku. Aku pun bisa merasakan adanya perubahan di hati Seira. Gadis itu sudah menemukan penggantiku dan aku harus menyadarinya. Ia tak akan pernah bisa kembali padaku.
Di sisi lain, hatiku sedikit lebih tenang karena Seira jatuh ke tangan lelaki yang baik seperti Kelvin. Ia adalah adikku yang hanya berselisih lima menit dariku. Meski sifatnya yang agak ceroboh, tetapi aku yakin ia bisa menjaga Seira dengan baik.
“Aku jadi merindukan Vincent,” kata Kelvin sambil menyeka air matanya.
Seira membalasnya dengan senyum kecil. “Aku juga. Hm, bagaimana kalau kita ke makamnya sekarang?”
“Ide yang bagus, Seira.” Wajah Kelvin kembali cerah.
Seira segera beranjak dari kursinya. “Baiklah, aku ganti baju dulu.”
Bibirku mengembangkan senyum kecil. Ternyata dugaanku salah. Bunga lily putih itu ternyata untuk diriku.
Mungkin ini terakhir kalinya aku melihat Kelvin dan juga Seira. Kerinduanku terhadap Seira terobati sudah karena sekarang ada Kelvin di sisinya. Aku tak perlu mengkhawatirkannya lagi.
Tak lama kemudian, Seira datang dengan mengenakan pakaiannya yang tadi dan bersiap untuk pergi ke pemakamanku. Kelvin menggandeng lengan gadis itu, lalu berjalan melewatiku.
Benar, mereka memang tidak bisa melihatku, tetapi aku bisa melihat mereka dengan jelas.
Kelvin, aku menitipkan Seira padamu. Hanya kepadamu.... Aku akan menunggumu sampai waktunya tiba. Kau akan kembali ke pangkuan Tuhan dan di sanalah kau akan bertemu denganku. Kelvin, aku menyayangimu.

*** THE END ***

Veronika Shelvina, si penyuka musik Kpop yang suka menulis di blog pribadinya. Lahir di kota Pangkalpinang, 16 April 1995. Ia bisa dihubungi melalui Twitter @Veronika_1315.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar