Pages

Rabu, 17 September 2014

Merindu Kepulanganmu


Cerpen yang lolos dalam event bertema "RINDU" penerbit Mafaza Media


Merindu Kepulanganmu
Oleh Ana Widiawati

Meskipun melelahkan, aku tetap berupaya bertahan. Tak peduli orang mengataiku dungu. Kau akan selalu menjadi yang kutunggu. Seberapa kasar kata-kata yang mereka gulirkan, aku sudah kebal. Buasnya ucapan mereka hanyalah semilir angin yang menusuki. Masih dapat kutangani walaupun tak jarang hatiku meneteskan darah kepedihan. Yang membuat tangisku sesekali menguar. Tetapi, aku teguh memijakkan kaki untuk mengasah harapan akan kedatanganmu yang mungkin terlihat samar.
Aku sudah melangkah sejauh ini, disertai pula memar-memar hati yang membiru. Jika rindu tiba, itu sekedar perjamuan yang sulit kuhindari. Aku pun memahami sedari awal bahwa rindu adalah kawan dari menunggu. Saat kuputuskan menunggumu maka aku telah menganyam hati seribu kali dengan simpul tali kesabaran. Agar hati tak lekas mati karena rindu yang tiba-tiba menghampiri. Jadi, cepatlah kembali dengan sepotong hati yang kau dedikasikan untuk kesakitanku selama ini.
***
Kutengok jam yang bertengger di tangan. Aku mendesah pelan. Mungkin ini akan menjadi ke keempat kalinya aku menelan kekecewaan. Ah, tapi aku tidak boleh menyerah. Aku bahkan sudah bertekad untuk terus bertahan apapun yang akan menghadang. Tak apa kau belum datang. Tak apa sekarang tidak kutemukan sosokmu di antara penumpang yang menuruni kereta dari Surabaya itu.  Akan tetapi, suatu hari nanti kau pasti pulang bersama sebingkis kasih yang kudambakan.
Langkah-langkah lemah menyusuri jalanan yang nampak sepi. Senja mendampingi jiwa-jiwa yang tengah melirih itu. Mereka yang mengerang sehabis menukar energi dengan berlembar uang. Aku hanya memandangi dalam diam. Ada segumpal simpati untuk mereka yang bertarung dengan terjalnya kehidupan. Setiap orang pasti memiliki kepiluannya sendiri. Tanpa harus diumbar dan diteriakkan di berbagai media layaknya mahasiswa berorasi. Sama sepertiku, mungkin mereka juga tengah bermesraan dengan kerinduan. Aku merindumu sedangkan mereka merindu kesejahteraan.
Melihat mereka, aku merapal doa. Semoga kau dalam keadaan yang lebih beruntung dari mereka. Membayangkanmu dengan berlumuran peluh, sungguh memilukan kalbu. Setidaknya, aku berharap kau menjalani pekerjaan yang menyenangkan tanpa mengeluarkan keringat berlebihan. Aku takut kau jatuh sakit karena terlalu gigih mencari uang hingga lupa kesehatan. Aku semakin khawatir di saat sakit tidak ada yang merawatmu dengan benar.
Mengingat uang, aku kembali menyesap masa silam. Ketika kulepas kepergianmu dengan kegundahan. Aku sungguh tak rela waktu itu. Berulang kali kuhujat keputusanmu ke pulau seberang yang tak sekali pun pernah kupijak. Uang adalah alasan yang kausuguhkan untuk menyakinkanku.
“Aku pergi untuk kebaikan kita, Nin. Lagipula aku tidak main-main di sana. Aku bekerja.Katamu menyakinkanku.
Aku memandangmu malas.”Di sini kau juga bekerja. Kau bukan pengangguran. Jadi, untuk apa kau merantau?”
“Aku mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan. Pekerjaanku sekarang tak cukup mnghasilkan uang.” Kau menggenggam tanganku erat. Mencoba memberi pemahaman padaku yang bebal dan keras kepala melalui sentuhan hangatmu.
“Aku tak butuh uang!” Ucapku tegas sambil menarik tanganku dari genggamanmu. Kupalingkan wajah menuju rel-rel kereta api. Kudengar desahan putus asa keluar dari mulutmu. Aku tahu kau tengah frustasi menghadapi sikapku. Tetapi, aku tetap pada pendirian bahwa kau tak boleh pergi.
            Sepuluh menit kau dan aku saling bungkam. Hanya suara bising orang berlalu-lalang. Terkadang mereka berlarian mengejar kereta yang sebentar lagi akan melaju. Suara pemberitahuan dari bagian informasi yang menggema di sepanjang stasiun akhirnya mampu mengusikku dan mungkin juga kau. Kereta yang akan membawamu ke Surabaya akan segera tiba. Setelah itu, kau menuju Bandara Juanda untuk menjemput pekerjaan yang kau katakan bisa membuat kita bersama di pelaminan. Pekerjaan yang sebenarnya tak kuketahui seperti apa dan bagaimana. Yang kutahu Pulau Sulawesi adalah tujuanmu.
            “Mungkin uang tidak penting bagimu tapi tidak untuk Bapakmu. Ia menginginkan seorang menantu yang bergelimang harta. Bukan seperti diriku yang kere ini. Kumohon, mengertilah posisiku. Aku tidak mau berpisah denganmu tapi aku lebih tak ingin jika bapakmu menikahkanmu dengan pria lain. Maka dari itu, aku harus mencari pekerjaan yang bisa menghasilkan uang secepatnya.”
            Aku masih diam. Mencerna ucapanmu dalam-dalam. Kau kembali berujar, kali ini lebih tenang. Aku berjanji ini hanya sementara. Aku mencintaimu, Nindya.” Aku menoleh ke arahmu. Mata pekatmu itu memancarkan tangis yang tertahan. Apakah kau sangat tertekan dengan sikap Bapakku? Sampai-sampai kau pergi mencari uang yang banyak untuk meminangku. Bahkan kau yang pantang menyemburatkan air mata di depan wanita, nampak begitu rapuh dan terluka. Apa aku sangat menyulitkanmu? batinku.
            “Pergilah, Fikri.” Kau mematung. Raut wajahmu memperlihatkan keraguan akan apa yang baru  saja kaudengar. Aku menggangguk dan tersenyum. “Aku akan menunggumu kembali.”
            “Terima kasih, Nin. Selama kau menungguku maka tidak ada alasan bagiku untuk menyerah,” ujarmu dengan senyuman yang dipenuhi kelegaan.
            Kau bukan pemalas. Kau pekerja keras dan tak kupungkiri kau cerdas. Sayang, nasib kurang memihakmu. Kau tidak berkesempatan mencicipi bangku perkuliahan. Menghabiskan masa setelah sekolah menengah dengan berjibaku di toko fotokopi mungil itu. Sebuah toko yang kau beli dari hasil menjual ladang orang tuamu. Terkadang suratan nasib memang menakutkan. Aku merasa ini tidak adil untukmu. Namun, kehidupan tidak selamanya sejalan dengan pikiran kita, dan begitulah kehidupan. Diliputi kejutan.
***
            Tanganku mengepal kuat-kuat. Aku tengah menahan gemertak gigi yang sedari tadi beradu hebat. Aku marah. Menatap Ranti yang terus bercicit tanpa henti. Ia masih dengan argumennya. Meremehkan kesetiaanmu yang kupercaya. Ia berhasil membuat kepalaku mendidih di siang hari ini.
            “Pikirkanlah, Nin! Lelaki adalah mahluk yang berbahaya. Jangan kau percaya begitu saja!”  
            “Fikri berbeda, Ranti. Ia bukan tipikal lelaki yang pernah kau kencani. Mengkhianti cintamu dan pergi.” Aku tidak terima perkataannya. Seolah ia memandang semua lelaki sama seperti lelaki yang selalu menduakan cintanya. Aku tidak suka ia menyamakanmu dengan lelaki-lelaki pendusta itu.
            “Kenyataannya kau kehilangan komunikasi dengannya sekarang. Mungkin setahun  setelah kepergiannya, kau dan Fikri masih baik-baik saja. Tapi, ini sudah tiga tahun berlalu tanpa kabar darinya sejak terakhir  kali kalian bercengkerama melalui handphone.Lanjut Ranti.
            Meskipun semua yang dipaparkan Ranti adalah kebenaran, aku tetap percaya padamu. Empat tahun menunggumu bukanlah halangan untukku. Tiga tahun ini, kau hilang tanpa secuil kabar. Aku pun masih sangat mempercayaimu. Alasanku sebenarnya amat sederhana, cinta. Sebab cinta ini lebih dari rangkaian lima abjad yang hampa. Cintaku adalah kepercayaan yang sesungguhnya. Ada sebait rindu yang ingin kuutarakan kepadamu. Percaya dan rindu telah membaur menjadi satu kekuatan di dalam cintaku yang berdebar walau jarak memisahkan.
            Ranti masih berusaha memengaruhiku. Ia kembali melontarkan dugaan-dugaan yang mampu menekanku.
”Sangat mungkin jika ia sengaja mengganti nomer handphone karena satu alasan. Apalagi kalau bukan wanita idaman lain. Kau jangan mudah dibodohi, Nindy!”
            “Pergilah! Aku lelah, Ran.Ucapku menanggapi Ranti. Sebelum aku lepas kendali dengan meluapkan amarah yang membuncah, aku mengalah. Kupungut bulir-bulir sabar yang sempat tercecer. Menata lagi menjadi benteng pertahanan.
            Aku tidak membenci Ranti. Aku memahami maksud baiknya sebagai sahabat. Hanya saja aku lebih membutuhkan ketenangan. Aku adalah manusia biasa. Aku juga tidak sebodoh yang Ranti pikir. Aku pun pernah meragukan kesetiaanmu. Di saat kerinduan yang meraung-raung itu meminta tumbal, aku sesekali memakimu dalam bayang. Hatiku sesak mengingatmu yang tak dapat kujangkau. Pula kabarmu lenyap entah kemana. Semua itu cukup untuk mengusikku.
            Aku rindu. Aku ingin mendengar suaramu, itu yang kumau. Apakah terlalu susah buatmu? Hingga kau tidak memberiku kabar sedikitpun. Apakah kau tidak merindukakanku? Tidakkah kau juga ingin menanyakan bagaimana keadaanku? Andai cinta tidak menjadi dasar cerita ini, maka kuputuskan untuk menyerah sejak lama. Kini aku cuma bisa mendesah lemah. Menyelimuti diri dengan rindu yang enggan mati.
***
            Tahukah kau tentang rindu yang setiap pagi menjadi nasi? Kutelan sebagai sarapan. Malam juga ikut meramaikan. Menghembuskan rindu itu lamat-lamat bersama desau angin yang menggigil. Ini tentang rindu. Aku membutuhkanmu untuk menjinakkannya yang semakin garang tiap hari. Ini juga tentangmu, seseorang yang sangat kurindukan. Hilang dalam berbagai prasangka yang menyesakkan. Aku mulai terbuai prasangka-prasangka itu. Aku takut kepercayaanku luntur tanpa kusadari.
            Di sini aku memandangi bangunan yang usang itu. Aku tak lagi ke statiun kereta api seperti dulu. Menuruti katamu yang akan pulang pada akhir tahun. Tepat di hari kelahiranku. Aku memilih mengenangmu di toko fotokopi bekas milikmu itu. Membayangkan pertemuan kau dan aku untuk pertama kalinya.
            Setetes air mata meluncur dengan leluasa. Diikuti tetesan-tetesan lain yang tak terhitung jumlahnya. Aku tersedu di pinggir jalan. Sore yang membentang menemaniku yang kesakitan. Sakit karena rindu kian menjalari. Mengakar di setiap urat nadi.  Hatiku merapuh seketika. Inilah puncak rindu yang terpaksa kubungkam. Aku sudah lelah. Jika dahulu, rindu adalah salah satu kekuatanku untuk menunggumu maka rindu itu pula yang menjadi kelemahanku. Mungkin cintaku sudah menguap pelan-pelan. Tidak mampu lagi menopang kepercayaanku. Tidak sanggup aku menunggumu. Aku berniat melepasmu pergi, tanpa ikatanku.
            Aku beranjak pulang. Sekali lagi menatap lekat toko fotokopi itu seakan aku menatap siluet bayanganmu di sana. Ya, inilah akhir yang tidak kuduga. Aku memutuskan untuk berhenti menunggumu. Lima tahun yang sia-sia. Aku berputus asa memupuk hati yang merindu ini. Sekuat aku menunggumu tapi tidak dengan rinduku. Ingin segera bertemu. Apabila bertemu denganmu nampak semu maka jalan menyerah yang kutuju.
            “Halo. Siapa ini?” Aku mengernyit. Kembali kutengok layar handphone-ku. Nomer yang tidak kukenal.
Semenit yang lalu di perjalanan pulang, dering handphone menginterupsi langahku. Dan selama itu pula tidak ada jawaban dari sang penelpon. Merasa dipermainkan, aku hendak menutup sambungan panggilan tersebut. Sebelum sebuah suara terdengar lirih. Amat lirih sehingga angin hampir menenggelamkan suara itu.
“Aku akan pulang.”
Aku memaku. Darahku memacu tetapi napasku tercekat. Itu suaramu. Suara yang kurindukan bertahun-tahun yang lalu. Kau kembali memberiku sesuap rindu yang kumau. Lebih dari itu, kau memabawa kabar kepulanganmu yang membangkitkan kembali kepercayaanku. Kau menepati janjimu. Aku merindukanmu, pulanglah!
***
BIODATA PENULIS

            Ana Widiawati adalah seorang pelajar yang menggilai sastra dan musim panas (summer). Ana yang sering dipanggil Aw oleh kawan-kawannya ini adalah seorang gadis kelahiran 14 Juli 1996. Sekarang ia tinggal di Banyuwangi. Ia dapat dihubungi via Facebook Ana Widiawati email janawidiawati@yahoo.com. Mohon kritik dan saran. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar