Pages

Rabu, 17 September 2014

Aan Yang Merindu


Cerpen yang lolos dalam event bertema "RINDU" penerbit Mafaza Media

Aan Yang Merindu
~ Oleh Antonio Rizzo ~

Ann melengkungkan bibir, gadis yang rambut pirangnya bergerak-gerak dimainkan angin melipat kakinya sampai menyentuh dada, sesekali gemertak gigi maupun kerutan dahi sebagai pelengkap hal yang disebut derita.
            Hari ini hari selasa, senja gelap menyeruak dari balik jendela, menyinari seisi ruangan jahat, juga menyinari seyonginya tubuh Ann yang terbelenggu diatas perebahan, di ujung ruangan.
Senja merah dua bulan lalu, dirinya masih bisa tertawa.
Namun senja merah kali ini, dirinya terbelenggu tak mampu tertawa.
            Seruak cahaya senja tersembunyi perbukitan jauh disana, meski jauh, dari sepasang manik jahat masih bisa menatap lurus-lurus tak goyah, Ann merasakan itu, bukan dari cahayanya menghilang dan berakhir kelam, tetapi hangatnya yang perlahan-lahan hilang.
Karena Ann, wanita itu tidak mampu menampaki cahaya.
            Biasanya untuk ruangan kamar tidur ada sinar lampu manakala sang mentari memilih pergi, diruangan tempat bernaung Ann tidak ada, hilang, lenyap, sengaja ditiadakan, untuk apa berbagi sinar untuk yang tidak mampu merasainya.
Kerongkongan Ann melaju turun.
            Suara dentuman antara kayu pintu dan dinding menggema, sontak Ann yang terdiam merasakan kaget luar biasa, tubuh rapuhnya mundur bersenti-senti, menghindari sebisa mungkin tangan jahat yang kembali menyentuhnya, ucapan jahat yang mengatakan mencintainya, atau makanan jahat yang disediakan olehnya.
“Aku pulang, Ann sayang,”
            Ann bergeming kukuh, menutup bibir, memejamkan mata, menjaga jarak dengan pria gila yang terobsesi olehnya.
“Kenapa Ann? Kau tidak rindu denganku ya? Jahatnya dirimu.” Pria berambut merah itu maju, secara kejam menempelkan telapak tangan dingin pada pipi Ann, yang sontak membuat Ann ketakutan tak berhingga.
“K-Kumohon, hentikan, l-lepaskan aku....”
            Kemudian, bukan mata hijau milik lelaki itu yang meneduh atas kasihan, malah suara tawa maniak memenuhi ruangan sempit, serakah sekaligus mendominasi, memaksa tetesan bening untuk menuruni dari mata gadis pirang satu-satunya.
“Melepaskanmu? Jangan bercanda, Ann sayang,”
            Dapat tertebak oleh Ann, tangan kosong milik Coda, lelaki itu, menelusuri rambut, turun ke selubang tengkorak yang matanya telah menghilang, lalu ke hidung, patah beberapa waktu lalu, dan bibir sobek, mengecupnya mesra.
“Ngggh, Akkkh!”
“Oh, kau mulai berani padaku ya?”
            Selanjutnya, yang terdengar adalah geraman Coda dan teriak sakit Ann.
Ah, Ann sungguh merindukan dirinya dalam naungan senja., dalam naungan kebebasan.
***
            Saat kalender bertajuk pada bulan September, dirinya tidak berada disini, berada di dalam kamarnya yang selalu menguarkan hangat, atau di pusat perbelanjaan, bersama Raye, Michaella, bahkan Hide sekalipun.
Tapi, sejak lelaki jahat bernama Coda itu hadir, kebebasan menjadi hal yang paling dirindukan.
            Ann tersenyum dalam ringisan, tempat ini tidak bising sekaligus tidak beraroma, suara burung bersahutan dapat terjangkau telinga, tanah basah akibat deru hujan pun masih mampu tipis-tipis menancap hidungnya yang patah.
            Semalaman, Coda jahat menyentuhnya, tiap sisi yang mampu terjangkau tak luput dari sepasang tangan dingin yang jahat, tanpa berdosa mencampakkan Ann manakala kepuasan dirasa.
Punggungnya sakit, Coda mencambuk dengan ikat pinggang.
Kulitnya rusak, Coda menyiram dirinya dengan bensin, korek berapi tersentuh dikulit basah terkena bensin.
Dan sekumpulan luka lainnya, yang Ann sendiri tidak mengingatnya, terlalu sakit jika harus kembali berurusan luka.
            Memori masa lalu berputar-putar, menampilkan sesosok perempuan yang memiliki helaian sama, tersenyum menawarkan panekuk hangat, juga Ayah dan adiknya yang menyebalkan, namun saat ini, sebalnya tergantikan.
Oleh rindu, menggebu-gebu.
            Ann merindukan segala hal, Ann rindu duduk dibawah pohon ek yang daunnya menari-nari saat angin datang, Ann rindu kamarnya yang berwarna merah muda, disana dia banyak menorehkan mimpi dalam buku catatan, Ann rindu keluarganya, sangat rindu, melebihi rindunya bersama teman-teman.
Terlalu banyak yang dirindukannya, sampai-sampai Ann berpikir.
Apa mungkin, rinduku bisa tersampaikan?
            Coda jahat datang, membawa semangkuk makanan yang strukturnya buruk sekali, bahkan tempat makanannya pun sangat buruk sekali, Ann ingat bentuknya, ingatan Ann langsung terbayang pada mangkuk khusus untuk Mike, anjing jerman miliknya.
“Makanlah Ann, aku tidak ingin kau mati terlampau cepat.”
            Ann maju, harus sampai menempelkan wajahnya di perebahan, tangan dan leher terbelenggu rantai, tidak ada aroma, tidak ada ganjil, lidah dan hidung terlalu rusak untuk mengecap itu.
“Bagus, anak pintar,” Coda menepuk-nepuk mahkota pirang Ann.
Ah, Ann sungguh merindukan dirinya, dalam naungan keluarga, dalam naungan teman-teman.
***
            Dalam hati, Ann sempat memikirkan suatu hal, bukankah harusnya Ann berterima kasih kepada Coda jahat, membuat pikiran dapat mengerti seberapa penting aspek kehidupan yang kerap kali dianggap remeh.
Tidak, untuk dapat mengerti seberapa penting aspek kehidupan tidak perlu sampai harus menyiksa.
            Sejak rantai membelenggu, Ann dapat mengerti, rasa rindu juga rasa sedih mendalam, dalam hidup normalnya, Ann tidak terikat kata rindu, semua dilalui dingin dan monoton.
Sampai Coda jahat menangkapnya, Ann menyadari rasa rindu.
Membelenggu, menggebu-gebu.
            Semakin lama waktunya bersama Coda jahat, rasa rindu mulai menguar, tapi artinya berbeda seiring berjalannya waktu.
Satu bulan pertama, Ann merindukan keluarga dan teman-teman.
Dua bulan kedua, Ann merindukan Mike, kamar hangat, dan pohon ek.
Tiga bulan ketiga, Ann merindukan cahaya senja, makanan layak, juga aroma-aroma.
Empat bulan keempat, Ann merindukan kulitnya yang bersih tanpa luka.
Lima bulan kelima, Ann merindukan dirinya yang begitu bebas.
Enam bulan selanjutnya, Ann mulai merindukan sesuatu yang dirasa janggal.
Kematian.
            “T-Tolong, b-bunuh aku... A-Aku tidak tahan l-lagi...” Ucap Ann suatu senja, membuat Coda membulatkan mata, membuat napasnya seolah tertahan di tenggorokkan.
            Rindu lain terenyah, hilang tanpa sisa, bayang-bayang sang pencabut nyawa membawa benda tajam lebih manusiawi, daripada pria gila yang kembali memukul dengan barbel. Ann terlalu merindukan kematian. Napas kematian seolah memasuki hidung patah.
            Dapat terasa, Coda jahat meraih segenggam pisau, entah berkarat atau tajam, Ann tidak peduli, waktunya tidak cukup untuk kukuh peduli. Mendadak bayang-bayang akan orang yang sangat dirindukan muncul dikepala, membuat Ann tersenyum dalam matinya.
Sebentar lagi, rindunya akan tersampaikan.
“Selamat tinggal Ann, aku mencintaimu.”
Ya, tersampaikan.
Ah, Ann sungguh merindukan kematian yang memeluknya erat dalam tubuh gelap.
--
Aku pulang.
*** THE END ***

Biodata.
Antonio Rizzo, bocah yang sering tersesat, Email. arrizo38@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar