Pages

Senin, 21 Juli 2014

Bintang, Tunjukkanlah Jalan Pulang Kepada Ayahku!


Cerpen terbaik I dalam event bertema "RINDU"
(Penerbit Mafaza Media)

Bintang, Tunjukkanlah Jalan Pulang Kepada Ayahku!
Oleh Rizky

Angin malam berembus dengan lembut. Bunga-bunga dan dedaunan bergoyang mengikuti iramanya. Mbah memelukku, melindungi dari dinginnya angin yang menusuk-nusuk.
“Ayo masuk ke dalam nduk! Nanti kamu bisa masuk angin. Kalau masuk angin disuntik Bu Dokter loh! Jussss.” Mbah mulai mengeluarkan jurus rayuannya. Aku tidak peduli dan melepaskan pelukannya. Aku kembali melompat-lompat di atas bangku bambu  yang lebarnya lebih dari tinggi badanku. Tepat di atasnya aku bisa melihat langit bertabur jutaan bintang yang berkedap-kedip genit. Aku gemas. Awas kau! Akan ku tangkap! Aku melompat lagi seraya menggapai bintang dengan kedua tanganku. Aku melompat lagi, lebih tinggi.
“Looooompaaaat!” lengkingku.
“Hop!” mbah meraih dan mendekapku kembali. “jangan lompat-lompat nduk! Nanti kamu bisa jatuh!”
“Bintang mbah. Ais mau bintang.” Rengekku.
“Ais mau bintang? Ambilnya harus pake roket sayang. Nanti Ais minta roket ke ayah ya! Biar bisa ambil bintang.”
Roket itu apa mbah?”
“Roket itu kendaraan canggih yang bisa buat terbang ke langit untuk ambil bintang.”
“Oooh harrus pake roket ya? Ais tunggu ayah deh. Ayah kapan pulang sih mbah?”
“Kalau Ais mau nurut sama mbah, ayah pasti akan cepat pulang. Anak manis, nurut ya sama mbah! Bobo dulu yuk!”
“Ok mbah.” Aku pun menyerah dan percaya dengan perkataan mbah. Aku merengkuh dan menyandarkan kepala pada bahunya. Ia lekas membawaku masuk ke dalam rumah, meninabobokan aku.
***
Aku setia menunggumu ayah. Aku ingin terbang bersamamu ke langit. Kita terbang bertiga, Aku, ayah, dan ibu. Ayah di kanan, ibu di kiri, dan aku di tengah. Bersama kalian berdua, aku akan memetik bintang-bintang. Aku janji akan menuruti semua titah mbah, agar ayah segera pulang.
Ayah, aku rindu saat kita bertiga menyambut indahnya dunia walau hanya dengan mengelilingi sawah. Ingatkah? Kau mengangkatku, mendudukkanku di atas bahumu. Kau tunjukkan kepadaku luasnya hamparan padi yang masih hijau. Udara segar menyapu sekujur tubuhku. Burung-burung berterbangan melengkapi indahnya pemandangan pagi itu. Ayah tersenyum, ibu pun tersenyum. Sungguh bahagianya aku.
Ayah, tahu kah kau? Semenjak ayah pergi, ibu sering keluar rumah. Keluar pagi dan pulang malam. Entah apa yang dilakukannya. Mbah bilang, ibu bekerja. Aku tidak mengerti kenapa ibu bekerja. Saat ayah bersama kami, ibu hanya menemaniku di rumah. Masak, bersih-bersih dan mengajakku bermain. Tapi sekarang ibu berubah. Ayah cepatlah pulang!
Aku rasa ibu merindukan ayah. Ayah tahu? Setiap malam ibu tidur di sampingku. Dan hampir setiap malam aku merasakan ada air yang membasahi keningku. Aku curiga, apakah rumah kami kebocoran? Dengan sedikit malas aku mencoba membuka kedua kelopak mataku yang terkatup. Sayup-sayup kulihat buliran bening mengalir dari mata ibu. Oh, ternyata ibu juga bisa menangis? Aku kira hanya aku yang bisa menangis. Yang kutahu, ibu selalu tersenyum. Aku menebaknya, mungkin ibu merindukan ayah.
***
“Sudah lupakan dia! Kehidupanmu harus terus berjalan! Pikirkan saja Aisyah anakmu! Masa depannya masih panjang.” Kulihat mbah mengelus pundak ibu. Apa yang mereka bicarakan? Siapa yang dilupakan? Aku tidak mengerti. Ibu hanya tersenyum. Tapi, kulihat senyumnya berbeda. Tidak seperti ketika bersama ayah.
“Ibu berangkat dulu ya sayang. Ais main sama mbah dulu! Ok!” Ibu mencium keningku kemudian berlalu meninggalkanku di atas pangkuan mbah.
“Kalau saja ayahmu gak selingkuh nduk, Ibumu tidak harus susah begini. Astaghfirullah.” gumam mbah. Aku baru saja mendengar kata yang asing bagiku.
“Mbah, selingkuh itu apa?” tanyaku.
“Bukan.. bukan apa-apa nduk.” Mbah gelagapan menjawab pertanyaanku. Ah, aku tidak mengerti.
“Oh, hmm. Mbah, Ais mau permen.”
“Iya, yuk beli permen. Ais mau permen apa sayang? Lollipop atau permen karet?”
Lollipooooooooooop.” Teriakku kegirangan.
***
Kata mbah, minggu depan lebaran. Lebaran itu apa? Aku tidak mengerti. Hanya saja teman-temanku sangat gembira menyambutnya. Ridwan, Icha, Bagus, dan Fatma begitu bahagia karena dibelikan baju baru oleh ayahnya. Kata mereka, banyak kue, sirup, dan juga permen di rumahnya. Aku juga mau baju baru, kue, dan permen. Ayah, kapan kau pulang?
Kata mbah ini lebaran ke empat bagiku. Apakah akan jadi lebaran pertama tanpa ayah? Terlintas kembali kata asing itu, “selingkuh,” apa artinya? Seolah mbah tidak suka ayah selingkuh. Aku tidak mengerti. Apakah selingkuh itu artinya pergi? Bahasa orang dewasa begitu rumit. Aku tidak mau ayah seperti bang Toyib. Yang katanya tiga kali puasa tiga kali lebaran tidak kunjung pulang. Sepertinya itu sangat lama.
Kenapa ayah tidak segera pulang? Aku menebak, mungkin ayah sedang tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Kalau begitu akan kutitipkan pesan pada bintang-bintang, “Bintang, tunjukkanlah jalan pulang kepada ayahku! Bawalah dia kesini! Sampaikan salamku padanya! Salam kangeeeeeeeeeeeen dan sayang dari Aisyah.”  

*** THE END ***


Rizky, mahasiswa tingkat akhir. Mungkin tulisannya pantas dibilang “kacau.” Tapi tak mengapa, setidaknya event2 menulis dapat membantu memberikan semangat untuk berkarya. :D salam lima jari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar