Pages

Minggu, 20 Juli 2014

KATA RINDU



KATA RINDU
 Oleh Muh. Ikrimah


Pagi itu, ketika mata belum jua menemukan fokusnya, ponselku berdering. Mungkin alunan musik yang mengalir darinya yang membangunkanku.
“Yoyo, aku rindu.” Ucapmu.
Kata itu, perlahan menjadi kata yang minim makna. Setiap pagi kamu mengucapkannya melalui ponsel. Ketika pagi pertama kamu di Palopo, kata itu begitu meresap dalam kalbu. Maknanya terasa begitu nyata. Dapat kurasakan rindumu mengalir melalui kata rindu. Bukan sekedar kata yang mewakili pikiran, tetapi sebuah rasa yang menyusup, mengisi seluruh jiwa. Kurasakan rindu itu turut membuncah mendengar kata rindumu.
Setahun lebih empat bulan, atau tepatnya enam belas bulan, di tiap pagi, kamu mendendangkan kata yang perlahan mulai menjemuhkan. Berulang dan terus berulang. Kata itu seakan hanya formalitas mengawali hari.
Andai kamu tahu, gairah yang pernah bergelora selama bersamamu, kini hambar sudah.  Aku lupa bagaimana senyum selalu tersungging di bibirku setiap melihatmu. Mungkin memang aku pelupa. Tetapi ini bukan soal ingatan. Ini soal rasa yang memudar. Rasa yang bergejolak tiap dekat denganmu.
Mungkin kamu tahu dengan rasaku saat ini. Bulan lalu kamu sempat menanyakan, “apakah kamu sudah tidak cinta padaku?”
Kamu tanyakan itu karena merasa aku sangat dingin padamu. Mungkin itu benar. Tetapi entahlah. Di sisi lain, aku masih saja rindu pada sikap manjamu. Dulu tentunya. Karena manjamu melalui ponsel, tak menyentuh hingga relung hatiku.
Aku rindu ketika kita makan bersama di warung pinggir jalan di Botolempangan. Menikmati nasi kuning yang dicampur sate. Agak aneh memang. Namun perpaduan rasanya membuatku ketagihan. Setelah puas menyantap makanan murah meriah itu, kamu memintaku membayar.
“Aku tidak bawa uang,jawabku.
“Serius?” tanyamu. Dahimu mengernyit. Menatapku penuh cemas.
“Aku serius,jawabku mempertegas.
Kemudian kamu menelepon ayahmu. Sekitar dua puluh menit, Ayahmu datang. Mukamu kembali berseri. Isyarat cemas lenyap tak tersisa dari wajah ayumu.
“Jadi laki-laki, harus bermodal.Kata Ayahmu ketika hendak pergi membawa serta dirimu. Senyum di wajahnya seolah mengejekku.
Aku selalu tersenyum ketika mengingat hal itu.
***
Malam itu, dia tampak begitu anggun. Berbalut gaun hijau gelap yang indah. Dari warna yang sering mengisi pernak-perniknya, sangat nampak karakternya yang mapan. Dewasa. Dia selalu ramah dan santun. Sangat jarang berkisah tentang masalah pribadinya. Berbeda denganmu yang lebih senang dengan warna pink. Warna yang manja. Begitu polos.
Di acara resepsi pernikahan temanku, dia melempar senyum yang begitu mempesona. Sempat terbersit dalam benak untuk lebih dekat dengannya. Namun kata rindu yang selalu kamu sampaikan melalui telepon, senantiasa menjagaku. Menjaga agar akupun menjaga kesetiaan padamu. Meski kata rindu itu terasa hambar, namun efektif menjaga pikiranku.
Sejak malam itu, kami selalu bersama. Namun tak ada yang istimewa. Kami hanya berteman. Walau terkadang, rasa kagum padanya merontah untuk memilikinya.
“Besok kamu ikut ke panti asuhan yah.Pintanya padaku suatu ketika.
Dia bersama teman-teman komunitasnya mengajakku turut serta dalam acara syukuran hari lahirnya. Dia sangat berjiwa sosial. Baginya, berbagi kebahagiaan jauh lebih nikmat dari pada menikmati kebahagiaan seorang diri. Dia selalu mengajak orang-orang di sekitarnya untuk lebih peduli pada orang-orang yang kurang merasakan kehangatan.
Esoknya, aku turut bersamanya ke panti asuhan. Tak ada tiup-tiup lilin, ataupun telur busuk. Syukuran itu berlangsung hikmat. Duduk melantai membentuk lingkaran. Cukup dengan doa bersama, dan sepata katanya yang memotivasi para anak yatim piatu itu. Mereka begitu antusias setiap Yolanda datang. Tidak banyak yang dibawa olehnya, hanya kue untuk dimakan bersama. Kebersamaan itu jauh lebih bermakna dari uang atau pakaian bekas. Melalui kebersamaan itu, mereka merasakan kehangatan keluarga yang terampas sejak mereka kecil.
Aku selalu kagum pada pola pikirnya. Hidupnya tak pernah sepi. Selalu ada orang di sekitarnya yang merasa terbantu. Orang-orang begitu senang mengerumuninya. Dia tidak menghamburkan uang banyak. Namun uang yang dia keluarkan selalu efektif.
***
Telah seminggu kamu tidak menelepon. Aku mulai cemas. Entah kamu sakit atau apa. Beberapa kali kucoba menghubungi nomor ponselmu, namun tidak pernah aktif. Hari berganti hari, kata rindu yang selalu kamu ucapkan tak lagi terdengar. Perlahan, rindu mendengar kata rindu darimu kian membumbung.
Pagi itu, Yolanda kembali mengajakku jalan-jalan. Kali ini hanya berdua. Resah yang menyelimuti pikiranku mendesak untuk melepas penat sejenak. Mencari hiburan atau rutinitas untuk terlepas dari beban pikiran. Kuterima ajakannya. Kami berdua berangkat ke sebuah pantai menggunakan mobil pribadinya. Menikmati pasir coklat yang melumuri kaki telanjang kami. Desir ombak membelai.
Menjelang siang, kami meninggalkan pantai itu. Lalu berangkat ke sebuah taman. Di taman itu, dia hamparkan tikar yang tadi disimpannya di dalam mobil. Dia pajang puluhan buku di atasnya.
“Aku melaksanakan ini sekali sebulan.Ujarnya.
Anak-anak jalanan senang dengan kedatangan Yolanda. Karena duduk mengitari lapak buku itu, berarti menikmati kopi gratis. Yolanda menyediakan termos yang berisi kopi untuk dinikmati bersama dengan anak jalanan. Anak-anak yang terlantar, entah mereka punya orang tua atau tidak, yang pasti mereka butuh kehangatan lebih.
Mereka semua tersenyum. Membaca dan bercengkerama serta terutama, menikmati seduhan kopi buatan Yolanda.
“Mereka semua tahu membaca, berarti mereka pernah sekolah dong?” Tanyaku pada Yolanda.
“Sebagian, mungkin sebagian kecil. Selebihnya, aku yang mengajari.Jawabnya. Senyum yang selalu terhias di wajahnya, kian mempercantik mahasiswi itu.
“Apa ada yang mendanai kegiatanmu ini?” Tanyaku lagi.
Ditatapnya dalam-dalam mataku. Aku bingung apa yang hendak dia sampaikan melalui tatapan itu.
“Masa’ sekedar menyediakan kopi mesti tunggu dana dari instansi. Dana pribadi dong.” Dia sungguh gadis yang mempesona. Bukan hanya paras dan penampilannya, melainkan juga sikap welas asihnya. Kelembutan perasaan, dia tuangkan dalam tindakan nyata. Membatu orang-orang di sekitarnya. Walau mungkin bantuan itu tidak seberapa. Sekedar meluangkan waktu. Tapi sangat berarti bagi yang dibantu.
Hingga langit perlahan menghitam. Matahari bertugas menyinari sisi lain bumi ini. Bulan terlihat penuh. Lampu taman tak cukup terang untuk membantu mata menangkap tulisan-tulisan yang memenuhi buku. Kami pun menutup lapak baca gratis itu.
Kami singgah makan di warung makan pinggir jalan yang mengambil separuh trotoar. Tempat yang sangat familiar bagiku. Kami memesan dua nasi kuning ditambah sate. Meski tergolong orang mampu, Yolanda lebih senang makan di tempat sederhana. Mungkin dia berpikir, bahwa uang yang dia miliki, jauh lebih bermanfaat jika digunakan untuk kegiatan sosial.
Pemilik warung makan itu mengernyitkan dahi ketika melihat perempuan yang kubawa. Dia kemudian tersenyum. Akupun membalas senyumnya. Mungkin dia merasa aneh. Aku yang selalu bersamamu ketika makan di tempat ini, kini justru bersama perempuan lain.
“Yoyo, menurutmu, apakah kebetulan nama kita punya kesamaan? Aku sering dipanggil Yo, kamu pun begitu.” Sebuah tanya darinya yang membuatku kebingungan menerka, entah kemana ujung pembicaraan ini akan bermuara.
“Maksudmu?” Tanyaku.
“Yo, aku begitu damai bersamamu. Maukah kamu menjadi pacarku?” Dia mengungkapkan perasaannya. Sungguh ini sangat sulit. Kualihkan pandanganku. Menatap sekeliling. Di samping kiriku, tepat kamu duduk dulu. Ketika kita lupa membawa uang.
Apakah kamu mengalami hal serupa denganku seminggu ini? Sehingga tak terdengar lagi kata rindu yang begitu merdu mengalir dari lidahmu. Mungkinkah di sana, di Kota Palopo, ada seorang pria yang memberimu kehangatan? Tidak sedingin diriku ketika berbicara di telepon.
Kembali resah itu pecah. Bahkan lebih menjadi. Aku begitu takut kehilanganmu.
“Maaf, aku sudah punya pacar. Namanya Rini.Jawabku dengan datar.
“Oh, aku yang harusnya minta maaf. Aku tidak tahu.”
***
Keesokan harinya, aku putuskan untuk ke Palopo. Jarak yang memisahkan, sangat nyata merenggangkan hubungan kita. Saatnya jarak ini dipangkas. Hati yang sempat terlepas, perlu penyatuan kembali. Tunggu aku di kotamu.
Makassar, 25 Mei 2014



Muh. Ikrimah. Lahir di Kota Makassar pada 24 April 1986. Pemilik warung makan Nasi Kuning Golkar di Jalan Botolempangan. Bisa dihubungi melalui akun FB Ikri Green Black, akun Twitter @ikri_greenblack dan Email ikri.green@gmail.com. No ponsel 082193552633.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar