Pages

Minggu, 20 Juli 2014

Bersama Lie: Senja di Musim Salju

Ini adalah cerpen salah satu kontributor yang lolos dalam event "RINDU"




Bersama Lie: Senja di Musim Salju
Oleh Reza Ibnu Muslim


Untuk kesekian kalinya, di tempat ini. Tempat yang sama ketika belasan tahun lalu aku masih belia. Aku tidak pernah berani bermimpi untuk bisa kembali ke tempat ini. Bagaimana mungkin? Aku saja masih bingung untuk membenarkannya. Sepertinya aku harus menyubit lenganku untuk meyakinkan kalau ini bukan mimpi. Momen ini persis sama seperti waktu itu. Hujan. Langit hitam. Tulisan dan harapan. Hanya saja tidak ada kekecewaan dan kesedihan. Aku begitu benci pada dua penyakit itu, kecewa dan sedih. Mereka hampir saja memakan separuh usia hidupku untuk hal-hal bodoh.

Ditempat inilah aku menepi dan berteman baik dengan nuraniku. Hanya untuk berfikir positive, aku sudah menghabiskan waktu berbulan-bulan ditempat ini. Menyendiri dalam sudut waktu. Berharap tidak ada seorangpun datang mencampuri urusan hidupku. Sial… Lagi-lagi aku teringat dengan penjual syal merah itu. Lamat-lamat kupandangi butiran salju semakin menutupi badan jalan di luar apatemen ini. Suasananya begitu persis. Seakan memutas kaset lama untuk beberapa hal bahkan semua hal yang tidak penting.

Musim salju begitu tepat untuk menyendiri di dalam rumah. Hal semacam ini sudah biasa dilakukan oleh orang-orang di daerah empat musim ini. Negeri ini begitu aduhai. Pergantian musim mampu merubah tatanan hidup bahkan pola pergaulan seseorang. Seperti musim salju begini, kebanyakan lebih suka berinteraksi lewat telpon, atau via teleconference saja. Hal ini lebih mudah dan tidak buang waktu banyak untuk keluar rumah. Hal yang ditakutkan hanyalah badai salju.
***

Wanita dengan syal merah itu masih tetap saja diam tak bergidik. Mau sampai kapan dia menunggui di depan rumah?  Demi Tuhan, aku sudah tidak butuh syal merah itu. Aku tahu itu miliknya. Jadi tidak perlu ia bertahan untuk memperpanjang masalah.

Dua jam berlalu, perapianku sudah hampir padam. Siap-siap saja sebentar lagi aku bisa menggigil kedinginan. Terlalu sibuk beberapa hari kebelakang, sehingga aku lupa order kayu perapian. Kalau sudah puncak suhu yang sampai minus sepuluh derajat celcius , tidak ada lagi pengelola kayu yang beroperasi dengan baik. Aku memaksa diri untuk menarik tirai depan balkon, kulihat wanita itu masih duduk diam dengan wajah yang masih membisu. Bodoh. Untuk apa dia memaksa diri diluar. Udaranya sudah ekstrem begini, dia masih saja memohon supaya aku menerimanya.

Arrggh, lelucon macam apa ini? Keras kepala sekali dia. Dengan terpaksa aku harus keluar rumah. Merepotkan. Hal-hal sebodoh ini sungguh tidak perlu ia paksakan. Ini sama saja seperti bunuh diri .
            “Hey gadis bodoh..!!!! Kau ingin tubuhmu beku?”
            “Tidak,,, mmm… Tapi bagaimana dengan syal merah ini?”
Gila. Ini benar-benar gila. Apa yang sebenarnya dia inginkan? Sudah belasan tahun aku meninggalkan tempat ini hanya karena tak ingin berjumpa dengannya. Lie Chen Hi, begitu lengkap namanya. Tapi hari ini begitu sial hingga harus bertatapan lagi dengannya.

            “Buat apa kau masih menyimpan syal itu? Aku sudah tak butuh!!”
            “Tapi…, i..ii..ni.. Kan milikmu.” Lie terbata-bata.
            “Hanya untuk ini? Berikan padaku. Silahkan kau pergi!”
            “Joen…….!!!

Aku tidak memperdulikan lagi. Berteriak saja semampunya. Aku benar-benar tidak mau lagi berurusan dengannya. Lie sudah lama aku hapus dari hidupku setelah ribuan kesakitan di hatiku yang ia ciptakan. Sekarang, malah berani-beraninya ia muncul lagi. Bodoh.

Prakk. Aku mendorong daun pintu dengan kuat. Aku harap Lie segera enyah dari sini. Pusing aku melihat tingkahnya. Apa untungnya ia mengejarku sampai sini? Buang-buang waktu saja!! Gawat! Kayu perapian benar-benar sudah habis. Bagimana ini? Sebentar lagi bisa-bisa aku mati kedinginan. Perlahan aku mengamati Lie dari jendela. Dia masih tetap berdiri dengan sweeter tebal coklat yang dia gunakan. Dia masih nekat di tengah salju yang bisa membuat orang yang tidak terbiasa jatuh pingsan karena kehabisan energy untuk bertahan.

Bagimana kalau ia pingsan? Atau ia malah kejang-kejang di luar sana. Apa yang harus aku lakukan. Arrgghh… Masa bodoh. Aku tidak mau peduli. Itu pilihannya, lagian aku tidak pernah menyuruhnya menunggu diluar sana. Biar Lie tahu bagaimana rasanya sakit hati? Seperti apa sakitnya di khianati. Lie harus banyak belajar tentang kedewasaan berpikir semacam itu. Terlebih betapa bosan untuk menunggu.
Dulu ia membiarkan ku pergi setelah ia menemukan pria lain yang ia sukai. Aku dibuang seperti barang bekas. Syal merah itu adalah hadiah ulang tahun dariku untuknya tepat tanggal dua puluh empat April belasan tahun lalu. Ya, hari ini juga adalah hari yang sama. Ini hari ulang tahun Lie yang aku berusaha melupakannya. Tapi kehadiran Lie membuat aku mengingat semuanya lagi. Benar, aku tidak pernah melupakan sedikitpun tentang Lie, namun aku hanya berpura-pura melupakannya untuk menghibur diri.

            “Lie..!! Hentikan hal bodoh ini!!”
            “Tidak Joen, aku masih menunggu maaf dari kamu.” Isak tangis Lie mulai membuat amarahku mencair.
 “Aku salah Joen… Iya, aku benar-benar menyesal."
            “Pulanglah. Aku akan berusaha memaafkanmu.”

Lie tampak belum menyerah begitu saja, senja itu ia kembali menarik pergelangan tanganku. Aku mampu merasakan tangan Lie begitu dingin. Detik ini aku kembali merasakan sentuhan tangannya. Masih sama seperti beberapa tahun silam saat kami masih begitu dekat. Lie masih terus saja menggenggam tanganku erat. Aku enggan memaksa lepas, karena jemari Lie begitu dingin. Ia sudah sangat menggigil.

Udara dingin ini belum membuat kami beranjak sedikitpun dari tempat ini. Sudah hampir satu jam Lie memegang tanganku. Kaku. Tanpa sepatah kata apapun. Akau kurang mengerti apa maksudnya. Yang ku tahu, Lie adalah wanita pertama yang pernah membuat aku berani menyatakan perasaanku untuknya. Walau kemudian aku sakit hati karena kejujuranku sendiri.

            “Aku hanya ingin kamu Joen. Hidupku hanyalah kamu.” Lie akhirnya mengeluarkan suara yang sudah lama bisu.
            “Lie… Aku tidak pernah mencoba melupakan perasaanku padamu”

Senja ini semakin memudar, salju semakin meningkat jumlahnya. Udara bertambah dingin. Namun aku dan Lie masih saja berdiri disini. Mungkin hingga menghabiskan senja ini. Senja terakhir bersama Lie sebagai teman dekatku. Karena mulai besok hingga seterusnya, kami akan terus melewati senja dalam keadaaan apapun. Bersama. Itu yang Lie inginkan, hanya bersamaku.
            “Lie,,, Selamat ulang tahun. Kuharap kau bahagia bersamaku”

*** THE END ***

Darussalam, 5 Juli 2014
Hujan, Langit Gelap.


Reza Ibnu Muslim
Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kimia FKIP Unsyiah 2011. Juga mengaku ingin menjadi Penulis hebat. Ia juga alumnus dari sebuah sekolah ternama yaitu SMA N 1 Langsa. Aceh. Menyukai suara hujan, angin dan denting piano.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar