Pages

Senin, 21 Juli 2014

TUAN


Cerpen terbaik III dalam event yang bertema "RINDU"
(Penerbit Mafaza Media)


TUAN
By Jose Rizal

Tak pelak diri ini hanya bisa berharap dihempaskan pada masamnya pembuangan, atau sebaiknya terjamahi lagi. Gegap gempita pada seputaran tak mampu lagi menggubah keputus-asaan. Dia. Pada tiap malamnya selalu berdendang padaku, mencurahkan semua kisah suka maupun duka. Memberikan noktah pada tiap kata terakhir. Menggengam erat, bahkan memeluk sesaat sebelum beranjak. Dulu, sekarang tidak lagi.

Berjajar penuh di hadapanku buku-buku tebal. Tertata rapi. Sebagian kosong karena telah terbaca dan belum sempat dikembalikan. Mungkin besok sudah tertanam lagi dalam deretan itu. Deretan yang lugas seolah sombong berdiri tegak berhimpit antara satu dengan yang lain. Mereka mencoba bersolek sebagus mungkin, agar tercerabut dari himpitan dan kemudian dijamahi sekian jam.  Satu hal yang tak disukai mereka; abu rokok yang tanpa sengaja terjatuh tepat pada tubuhnya. Meskipun buku itu berisi tentang akibat buruk yang disebabkan rokok. Dia tetap membacanya dengan segenap kepulan asap yang tak pernah berhenti.

“Tuan. Keberadaanku kini mungkin tak lagi kau hirau, namun mengapa tak kau buang saja? Agar segera hancur semua kenanganmu sendiri dan pastinya kenanganku bersamamu. Terapung pada sungai sambil sesekali meluruhkan tubuh. Entah terhantam padas, atau terpatuk ikan-ikan kecil. Itu lebih menyenangkan daripada kau diamkan saja di sini. Tak berhimpit. Seolah menyalahi kodratku sendiri”

Malam ini Tuan datang. Seperti biasa. Menyalakan lampu meja yang benderang di dalam kamar remang. Tak sempat Tuan berganti baju. Hanya melepas sepatu dan dasi. Aku mengharap Tuan menghampiriku. Menjamahi, berdendang, dan kemudian meninggalkan noktah untuk terakhir kalinya. Beberapa yang lain juga berharap seperti itu. Tak hirau seberapa banyak kepulan asap dan abu yang nantinya memberikan sedikit rasa perih pada tubuh kami. Sayang, Tuan lebih tertarik dengan perangkat modern nan erotis itu. Sebuah perangkat yang konon katanya mampu menyediakan segala kebutuhan mahluk seperti Tuan.

Parasnya memang lebih menggoda. Tuan tak hanya mampu menyentuh dan atau sesekali membolak-balik seperti apa yang tuan lakukan padaku. Dengannya tuan mendapatkan sesuatu yang lebih sensual. Tuan mampu merabai tiap bidang yang berstektur, menekan entah perlahan ataupun keras. Menggesernya sesering mungkin. Semua indera peraba mampu aktif dengannya. Dari sini wajah tampan tuan terlihat sesekali berkelip ditempa cahaya yang tepat terpancar di depan muka. Aku bisa membayangkan betapa erotisnya subjek yang mampu mengeluarkan cahaya gemerlap itu. Senyum yang mengembang tatkala perangkat modern itu berkelip menempa garis wajah yang menonjol milik tuan, membuatku semakin ingin melompat-menghambur-mendekap kemudian meresapi lagi sejuknya mata yang merabaiku. Na'as, keinginan itu hanya membuat rindu di hati ini semakin pejal menusuki. Serasa sakit tak berujung. Putus asa rasanya; ingin segera beranjak dari sini. Tapi tak bisa. Tuan. 

Tetangga sebelah, aku bisa melihatnya dari jendela yang tak pernah lagi kau tutup kelambunya. Di ujung sana, yang sepertiku masih saja bisa menikmati belaian lembut tuannya. Saat cahaya mentari pagi menerobos dedaunan, dan kemudian menghangatkan ruangan itu. Saat itulah tuan mereka berdendang, membelai, memaknai tiap kisah di antara keduanya. Tak berhenti saat itu saja. Kala senja merapat, masih saja ada aktifitas yang menyenangkan di antaranya. Aku merindukan yang seperti itu, seperti di balik jendela tuan. Tahukan tuan? Tubuh ini mengering tanpa belaian tinta kasih sayangmu lagi. Tiap pori-poriku semakin merapat, sehingga terlihat kusut. Pada ruang-ruang kosong yang tuan tinggalkan, mulai ditumbuhi titik noda yang bertebaran. Bukan inginku. Titik noda tumbuh dengan sendirinya, mungkin karena sedang berharap pada Tuan yang lain. Tuan yang ada di balik jendela itu.

Sudilah kiranya sejenak tinggalkan perangkat modern yang erotis itu. Karena kini aku sudah tak jenak dengannya. Dengannya kau terlalu banyak menyisihkan waktu, sehingga aku yang di sini merasa rindu sekaligus cemburu. Sudilah beranjak mendekatiku. Menumpahkan tintamu yang sudah mulai mengering itu. Memberikan noktah kala menyudahi aku. Sudikah Tuan? Sekedarnya saja untuk mengobati rasa rindu yang semakin hari semakin menggebu ini. Akan aku lentangkan tubuh ini agar tuan leluasa menjamahi dan bisa sepuasnya meniti tiap sisinya. Sejenak saja Tuan. Maka akan melembab lagi ruang-ruang yang sebelumnya telah mengering. Barang satu atau dua menit saja, aku bahagia tuan. Karena kebahagiaanku adalah saat terjamahi tat kala telah lama tuan berpaling. Itu saja tuan.

Sebuah mukjizat datang menghampiriku malam ini. Sesaat setelah Tuan menutup pintu, sorot matanya langsung tertuju padaku. Bukan perangkat erotis itu. Perangkat yang membuat seluruh isi ruangan ini muram, dan cemburu di dalam hatiku. Tuan mendekatiku. Rasa hati ini berbunga-bunga. Seluruh isi ruangan ini seolah terhenyak melihat sesuatu yang sedikit janggal; meskipun beberapa bulan yang lalu hal ini adalah hal yang lumrah. Tuan menjamahiku. Ah... mendesir darah ini sampai ke ubun-ubun. Seolah aku perawan yang terbuai jejaka kala berbulan madu di atas perahu kecil di tengah telaga. Tiap sentuhan mampu mempercepat detak jantung, memompa darah yang berlomba mencapai puncaknya. Tuan membolak-balik tubuhku. Ah... ini yang telah lama aku rindukan. Genggaman erat tangan kekar itu membuatku tak berdaya. Kepulan asap rokok yang dulu serasa mengganggu kini bak semerbak aroma nafas yang sedang diburu birahi. Abu yang tak sengaja jatuh di tubuhku kini tak terasa perih, malah membuai. Tuan …

Agh! Tangan tuan terlalu kuat menarikku. Sontak semua yang ada di sini terperangah. Suasana menjadi ribut. Tarikan yang berulang-ulang membuat tubuhku menjadi beberapa bagian; robek. Tuan mengepali bagian-bagian yang tak mampu tuan hancurkan. Dengan geram tuan menuju ke arah jendela. Dengan paksa membuka kait penguncinya yang telah aus. Setelah terbuka tuan menghanyutkan aku pada sungai yang mengalir di balik jendela. Tuan, bukan ini yang aku inginkan. aku merindukan babak sebelum kau menghempasku di sini...

Lamat-lamat dari kejauhan, aku mendengar suara perempuan yang baru saja masuk ke dalam ruanganmu. Sepertinya dia sedang kalap. Aku mengenal suara itu. Masih terdengar dari sini, bahwasanya perempuan itu sedang mencariku. Mungkin sedang mencari sesuatu dariku. Sebuah kisah perselingkuhanmu dan foto seorang gadis lain yang kau simpan dalam tubuhku. Ya, jika saja tuan beberapa hari yang lalu mau menjamahiku. Akan aku sampaikan pada tuan, bahwa perempuan itu mendapati foto perempuan lain selain dirinya di dalam tubuhku. Tapi sayang, tuan telah mabuk dengan perangkat erotis itu. Maaf tuan. Meskipun ada gadis lain di dalam tubuhku, meski ada gadis lain yang tuan jamahi selain diriku, meski kini telah terhempas karena tanganmu. Tuan, aku tetap merindumu. Merindukan bait kisahmu yang selalu kau tuliskan pada tubuhku. Entah kisah suka maupun duka. Karena itulah kodratku sebagai buku diary mu.

Malang, 8 Juni 2014


Di kalangan sanggar teater dan kepenulisan wilayah lokal Malang Raya lebih dikenal Jose Rizal daripada nama aslinya Yusrizal Helmi. Akun FB yusrizalhelmi@rocketmail.com. Blog http://HYPERLINK "http://cantingjo.blogspot.com/"cantingjo.blogspot.com. Pernah mendapatkan penghargaan penulisan naskah fragmen budi pekerti  terbaik se - Jawa Timur. Maret 2014 menerbitkan kumcer berjudul TETAS. Sedang dalam proses menyelesaikan Novel berjudul “Tentang Seribu Lalat Yang Tak Pernah Mati”

2 komentar: