Pages

Senin, 21 Juli 2014

Sepotong Rindu, Seorang Lelaki Pada Sang Guru


Cerpen terbaik II dalam event bertema "RINDU"
(Penerbit Mafaza Media)


Sepotong Rindu, Seorang Lelaki Pada Sang Guru
Oleh: Hijrah BillaLogica

“Gelora rindu mampu merobek segala macam tutup dan membuka semua rahasia.”
_Imam Al-Ghazali_
***
            Perasaanku saat ini seperti cuaca di luar sana. Mendung. Awan tebal berisi milyaran titik-titik hujan disertai angin yang bertiup deras dan kilat yang bergerigi seakan mencambuk langit. Dan tanpa sadar air mataku pun berlinang. Setelah kubaca sms yang kuterima pagi ini dari adikku yang berada di kampung. Disana tertulis,
            “Assalamualaikum, Bang Salman. Inalilahi wainailaihi rojiun. Bang, ustaz Hamdi telah berpulang tadi malam pukul 21.45 wib. Namun kami sungguh tidak mengira sama sekali beberapa saat sebelum ustaz Hamdi menghembuskan napas terakhirnya beliau sempat bertanya tentang kabarmu bahkan berkata bahwa beliau sangat rindu padamu. Kami sangat berharap Bang Salman bisa pulang walau hanya sehari saja. Wassalam.”
            Aku semakin tak bisa membendung kesedihanku dan rasa menyesal karena tidak sempat sekalipun mengunjungi ustaz Hamdi yang sedang sakit. Rinduku tiba-tiba saja membuncah pada lelaki tua yang amat berjasa dalam perjalanan ibadahku itu. Ustaz Hamdi, yang selalu sabar mengenalkanku pada huruf-huruf hijaiyah, mengajariku cara membaca Qur’an sampai fasih, membimbingku salat dengan cara yang baik dan benar, dan menjadi tempatku mencurahkan segenap perasaan ketika hatiku sedang dirundung resah. Apalagi ustaz Hamdi adalah lelaki soleh yang tidak pernah sekalipun membuat masalah di kampungku tersebab kebaikannya yang membuat orang-orang selalu ramah dan sangat menghargainya.
            Aku tahu bahwa ustaz Hamdi memang sangat menyayangiku. Ia bahkan sangat tahu apa-apa saja keinginan, harapan, dan segala rahasiaku dimasa lalu hingga akhirnya aku memutuskan merantau dan belum pernah pulang setelah itu. Sungguh apa yang telah dilakukan ustaz Hamdi kepadaku tak akan pernah bisa terbalas dengan apapun yang dapat kuberikan kepadanya. Namun saat ini dan seterusnya, dengan rasa menyesal,  aku hanya dapat mempersembahkan doa kepadanya, semoga Tuhan menempatkannya di sisi paling indah bersama orang-orang soleh lainnya.
            Kemudian kutatap langit mendung sesaat lalu kepejamkan kedua mataku, membiarkan angin menghembus memenuhi rongga dadaku dan titik-titik air hujan yang masuk melalui jendela membasahi wajahku. Aku sedang merasakan sesuatu yang bergetar dalam dadaku sampai tiba-tiba saja segalanya berpusar dengan cepat menembus kegelapan hingga akhirnya saat kubuka mata, aku telah berada pada sepotong cerita di masa lalu. Bersama ustaz Hamdi.
            Malam itu gelap seperti malam-malam sebelumnya di kampungku. Penerangan hanya berupa lampu-lampu minyak yang terbuat dari kaleng-kaleng minuman ringan ataupun botol kaca seperti obor yang diletakkan di tiap-tiap halaman rumah ataupun mesjid. PLN belum masuk ke kampungku saat itu. Hanya ada satu mesin kecil yang diletakkan di balai desa. Itupun hanya digunakan pada saat acara tertentu di balai desa dan di mesjid. Selebihnya kami selalu melewati malam bersama terang lampu minyak atau rembulan dan bintang-bintang saat tampak di langit.
            Ketika itu aku sedang duduk sendirian di tangga mesjid. Merenung di sisi kanan  obor yang menyala terang. Teman-temanku sudah pulang lebih dulu seusai belajar mengaji. Aku masih belum ingin pulang ke rumah meski  sudah sepi tidak ada siapa-siapa lagi di sana kecuali ustaz Hamdi yang masih sibuk berberes menutup pintu dan jendela mesjid. Aku sedang dilanda perasaan takut dan bersalah kala itu. Namun lamunanku buyar ketika sebuah suara yang ramah menegurku. Aku tahu suara itu. Suara ustaz Hamdi. Rupanya beliau pun juga sudah selesai berberes dan hendak pulang.
            “Loh, belum pulang, Le?” Tanya ustaz Hamdi berdiri di dekatku. Caranya memanggil murid-murid mengajinya adalah salah satu hal yang tidak pernah bisa kulupakan. Beliau memanggil semua murid laki-lakinya dengan sebutan “Tole” sementara murid-murid perempuannya dengan sebutan “Nduk”. Sungguh unik. Karena ustaz Hamdi adalah seorang lelaki berdarah Jawa tulen. Lahir dan besar di sana hingga akhirnya ia terpilih menjadi transmigran yang dikirim ke kampung melayu kami puluhan tahun yang lalu sebelum kami ada.
            Aku terdiam tak langsung menjawab. Menunduk seraya berpikir sampai ustaz Hamdi mengulang pertanyaannya.
            “Ehem! Belum pulang, Le?”
            “Hmmm…. Belum, Ustaz,” jawabku singkat dan serak seraya tetap menunduk.
            “Loh, kenapa belum pulang? Sudah malam ini,” katanya dengan aksen Jawa yang kental sekali. “Ibu sama bapakmu cemas nanti.”
            “Justru itu, Ustaz. Saya tidak berani pulang. Saya takut.”
            Ustaz Hamdi lantas duduk di sebelahku. Menghela napas, ia menyuruhku menatapnya lalu ia tersenyum padaku. Senyumnya yang mendamaikan hati adalah satu hal lain yang juga selalu tertanam dalam ingatanku. Gundahku perlahan hilang ketika ia bertanya sambil memegang bahuku yang kurus.
            “Ada apa toh, Le? Kok kamu sampai tidak berani pulang. Ada masalah sama ibu dan bapakmu ya?”
            Aku hanya mengangguk dan memalingkan wajah darinya.
            “Masalah apa? Sini, cerita sama Ustaz. Barangkali nanti bisa bantu sedikit, Insha Allah.”
            Sebenarnya aku masih takut dan tidak enak hati menceritakan masalah yang sedang kuhadapi kepada siapapun. Namun, ustaz Hamdi selalu saja berhasil merobohkan pertahanan hatiku yang kaku. Ia sangat mengerti bagaimana caranya meluluhkan hati seseorang walau hanya lewat segaris senyumannya yang ramah.
            “Begini, Ustaz,” kataku mulai berani cerita dengan mimik sedih. “Sebenarnya ibu sama bapak saya tidak tahu masalah ini, bahkan mereka tidak menuduh saya. Tapi kok saya jadi merasa bersalah dan sangat berdosa setelah mendengar ceramah Ustaz tadi di dalam mesjid.”
            Ustaz Hamdi mengangguk-angguk mendengarkan ceritaku dengan seksama sembari tersenyum. Seakan dia sedang menganalisis permasalahanku. Maka kulanjutkan kejujuran ceritaku padanya.
            “Tadi pagi, tanpa bilang sama ibu, saya mengambil uang ibu di bawah kasur, Ustaz. Uangnya dipakai untuk iuran di sekolah. Waktu saya pulang, ibu kebingungan dan sedih setelah tahu uangnya hilang. Padahal uang itu sangat perlu buat beli kebutuhan makan. Makanya saya jadi bingung dan takut, Ustaz.”
            Baru saja aku menyelesaikan ceritaku padanya, ia langsung berkata, “Masha Allah, Salman. Jadi kamu mencuri uang ibumu?”
            Dengan gemetar dan jantung berdegup kencang aku mengangguk lambat.
            “Tapi saya tidak bermaksud begitu, Ustaz. Itu saya lakukan karena terpaksa.”
            Ustaz Hamdi mendecak dan menghela napas seraya membalas, “Yang namanya mengambil barang milik orang lain tanpa permisi itu disebut dengan mencuri, Salman. Tidak ada pengecualian. Apalagi itu uang ibumu sendiri yang sebenarnya sangat diperlukan untuk kebutuhan makan keluargamu. Itu sangat berdosa. Allah sangat tidak menyukai orang-orang yang panjang tangan atau suka mengambil barang milik orang lain. Kita dilarang memanfaatkan kesempatan terpaksa untuk berbuat keburukan. Allah itu Maha Melihat apa-apa saja yang dilakukan oleh segala makhluk ciptaanNya. Apalagi kamu ini anak soleh, tidak boleh begitu, Le.”
            Aku terdiam mendengarkan nasehat ustaz Hamdi. Yang membuatku ingin menangis sekeras-kerasnya karena semakin merasa bersalah dan berdosa. Namun, bukan ustaz Hamdi namanya jika tak bisa membuat jiwa seseorang kuat kembali. Tutur katanya yang lembut membuat malamku menjadi lebih damai.
            “Yo wis, biar Ustaz antar kamu pulang sekarang, tidak usah sedih lagi. Biar nanti Ustaz yang jelaskan sama orang tuamu dan mengganti uang yang sudah kamu ambil.”
            “Tapi, Ustaz?”
           “Sudah, tidak usah dipikirkan. Tenang saja, Ustaz tidak bakal cerita kepada teman-temanmu dan siapapun kok. Semuanya biar Allah saja yang tahu. Tapi ingat, Le. Jangan sekali-kali kamu mengulanginya lagi, Itu berdosa dan Allah sangat membencinya. Paham?”
            Aku mengangguk. Dadaku semakin terasa longgar. Napasku mulai ringan dan kepalaku tidak terasa berat lagi. Perasaanku lebih tenang sekarang. Dalam cahaya obor yang menyala terang  aku melihat senyum ustaz Hamdi yang begitu tulus dan hangat.
            Ustaz Hamdi kemudian berdiri dan mengulurkan tangannya padaku. Kuraih tangannya dan ia segera saja mengajakku pulang. Dalam perjalanan menembus kegelapan bersama cahaya dari api obor yang menari-nari ditangan kanan ustaz Hamdi kupeluk beliau erat-erat seraya berkata, “terima kasih ya Ustaz. Allah pasti selalu sayang sama Ustaz.”
            Tiba-tiba segalanya berpusar kembali, seperti dalam ombak tinta hitam pekat, aku kecil dan ustaz Hamdi serta semuanya lenyap dalam gelap. Aku berputar dan merasa agak pusing. Kemudian  kutarik napasku perlahan, ketika kubuka mata ternyata aku telah kembali ke masa sekarang. Sedang berdiri di tepi jendela yang semakin basah karena hujan yang menderas. Dan wajahku hangat oleh air mata yang berlinang. Ah, ustaz Hamdi. Aku sangat rindu memelukmu.
            Selagi bayangan peristiwa masa kecil bersama ustaz Hamdi itu masih membekas di pelupuk mataku, kupandang sekilas langit mendung yang tampak berat dan kelam. Kemudian aku berbalik seraya mengusap air mataku, memutuskan masuk ke dalam kamar dan mulai mengeluarkan pakaian dari dalam lemari. Lalu mulai  menyusunnya ke dalam koper yang sudah kubentangkan di atas tempat tidur.
***
Lirik, 02 Juli 2014
: ter-untuk guru mengajiku dulu. semoga Allah membangunkan sebuah istana kemuliaan di Surga sana.

Biodata
Hijrah BillaLogica adalah nama pena dari Rocky Billal. Lahir di Lirik, 14 Agustus 1990. Hobi Menulis, Membaca buku sastra dan novel epik fantasi. Tinggal di Jalan Iskandar Ismail RT 008 RW 002 Desa Rejosari Kecamatan Lirik Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau. bisa dihubungi via email di logicabillal@yahoo.com.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar