Cerpen yang lolos dalam Event bertema "RINDU", penerbit Mafaza Media
PANGGILAN
HATI YANG BERGANTI
Oleh
Dewinta Asiana
Tak
terbesit dalam benakku, bahwa detik-detik telah berlalu dan ingatan itu kini
kembali terasa. Pergantian malam pun menambah usiaku makin senja. Di kala itu hadir di pikiranku, sesak dalam dada terjadi kian
merajalela. Aku terbangun di tengah malam sunyi, dan berjalan menuju dapur
untuk membuatkan sebotol susu hangat bagi anak keduaku, Maharani. Sekembali
dari itu, aku sempat menatap kalender yang terpajang di kamar tidurku. Aku
teringat dengan kampung halamanku di desa.
Hembusan
napasku bertambah sesak dikala melihat tanggal mencapai akhir bulan ini. Tunggakan
telepon, air, listrik, sembako, ah, berat rasanya di otakku malam ini. Tapi
sudahlah. Besok pasti ada senyuman manis dari isteriku tercinta yang selalu
mengawali pagiku yang terkadang terasa sepi.
Secercah
cahaya pagi, kini naik perlahan di ufuk timur. Tatkala putraku, Soni, datang
memintaku mengikatkan tali sepatunya. Semeja berempat, terasa bahagia seperti
di setiap hariku. Kedua putra putriku terlihat sangat lucu di usia mereka.
Rasanya hidup ini sudah lengkap karena kehadiran orang-orang yang selalu aku
kasihi.
Seperti
biasa, tiap hari Senin hingga Sabtu deadline pekerjaan sudah menanti di meja
kerjaku. Kutaruh tas ransel di atas kursi, dan aku berjalan menuju meja
partnerku, Rudi. Dia yang selama ini membantuku menyelesaikan laporan bulanan
di kantor. Kalau tidak ada dia, mungkin aku akan kewalahan sendiri dengan
setumpuk kerjaan.
“Rud,
besok lusa aku mau ngambil cuti seminggu. Kira-kira si Bos keberatan enggak ya?”
Tanyaku pada Rudi tanpa basa basi. Rudi yang baru saja mengawali harinya dengan
muka serius, seketika itu menoleh padaku.
“Mau
pergi kemana kamu? Apa kamu enggak tau kalau bulan ini kita harus tutup buku
dan nyerahin laporan pada si Boss?”
Akupun
menelan ludah. Rudi terlalu menganggap serius kata-kataku barusan. Ah, tapi
itukan kata-kata Rudi, bukan omongan dari si Boss. Kalau enggak dicoba, mana
aku tahu cara ini akan berhasil atau tidak.
“Em,
aku sekeluarga mau liburan ke kampung halamanku. Sudah lama aku enggak
menengok keadaan rumah di sana. Lebaran
kemarin, aku belum sempat mampir. Tambah enggak enak kalau lama-lama enggak kesana.”
“Terserah
kamu deh. Dua jam lagi si Boss mau datang kok.” Jawab Rudi agak lumayan luluh.
Menambah percaya diriku untuk meminta izin pada si Boss. Aku tersenyum lega
mendengar jawaban dari Rudi. Dengan wajah agak memelas, aku pun meminta izin
pada si Boss. Dan pada akhirnya, terkabul juga.
Tiba
juga dimana hari yang kami tunggu-tunggu. Pagi-pagi kami menyiapkan banyak barang
bawaan. Lengkap dengan sebuah mobil Honda yang lumayan keren, hasil dari kerjaku
selama hampir empat setengah tahun belakangan ini.
Istriku
yang setia mendampingiku, kini tengah duduk disebelah kiriku. Perjalanan
panjang akan kami jalani hari ini. Butuh waktu sekitar 8 jam agar dapat sampai
di kampung kelahiranku. Jarang sekali aku mengadakan perjalanan seperti ini di
keluarga kecilku. Mungkin baru kali ini aku menunjukkan rumah pertamaku pada
istri dan anak-anakku. Sesekali kami berhenti untuk mengisi bensin dan membeli
makanan ringan.
Sesampainya
di kampung, aku sekeluarga disambut gembira oleh ketiga adikku yang sekarang
sudah berkeluarga. Kedua orangtua kami sudah lama meninggal sejak Nurul, adik
ketigaku naik ke pelaminan. Tapi itu tidak menjadikan lupa akan tanah
kelahiran, walaupun aku yang sekarang ini tinggal di kota besar. Lama rasanya
aku tidak singgah. Semenjak keputusanku untuk menetap di luar kota untuk
bekerja hingga aku meminang seorang wanita dari keluarga kalangan atas.
Hidup
tercukupi, kenyamanan terpenuhi, tetapi kurang lengkap rasanya jika belum
mampir ke sini. Hanya saja jika aku pergi ke kampungku ini, rasanya ingat
dengan seseorang yang pernah membuatku jatuh hati sebelum akhirnya lama di kota.
Itulah masa lalu yang belum terungkap sampai sekarang. Namun, aku berusaha
menjalani kenyataan hidup bersama Rani, istriku. Rasa penasaranku masih besar,
sebelum tahu bagaimana kehidupan seseorang yang untuk saat ini ingin kujumpai.
Di
hari kedua di sini, aku pergi ke kebun yang dulu sering ditanami jagung oleh Bapakku
semasa hidupnya. Tanah yang berukuran sekitar 2 hektar itu, aku niatkan untuk
dijual saja. Daripada tak ada lagi yang mau merawatnya sejak kepergian Bapak.
Tak
lama seorang laki-laki bercaping dan bercelana pendek menyapaku dari kejauhan.
Sepertinya aku mengenal orang itu tapi lupa siapa namanya. Dia langsung
menjabat tanganku sebelum tanya siapa aku dan sedang apa aku di sini.
“Sejak
kapan kau datang ke sini, Yud?” Tanya orang itu tanpa ada basa basi lagi. Aku cuma
tersenyum menjawabnya.
“Aku Bapaknya Heni.
Heni teman SMPmu dulu. Masih ingat enggak?” Tanyanya untuk kedua kali. Aku
masih kebingungan sendiri.
“Kemarin
Pak.” Jawabku.
“Kau
sudah punya anak berapa sekarang?”
“Dua,
satu laki-laki dan satunya lagi perempuan. Emm, Heni gimana kabarnya, Pak? Lama
kita tak jumpa.”
“Baik,
enggak mau mampir ke rumah? Dekat kok dari sini. Ayo!” Ajak orang itu padaku. Aku
ragu-ragu tetapi rasanya ingin juga menemui Heni, teman kecilku. Mungkin untuk
hari ini, belum dulu deh. Kapan-kapan saja aku akan ngobrol dengannya. Pikirku
dalam hati. Kali ini aku menolak ajakan Pak Budi, ayah Heni.
Dalam
perjalanan pulang dari sana, aku berniat membeli rujak untuk istriku. Saat aku
akan menaiki motor, seorang wanita seumuran denganku tengah berjalan menuju
tukang rujak juga. Dia tersenyum sipu kepadaku, seperti sudah kenal lama. Apa
dia, wanita yang sebenarnya ingin kutemui?
“Kau
Heni, ‘kan?” Secara spontan aku bertanya pada wanita tadi. Dia cuma mengangguk
pelan. “Lama kita enggak ketemu ya. Sekarang kau punya anak berapa?” Tiba-tiba saja
dia pergi tanpa menjawabku terlebih dulu.”Hen, Heni!” Panggilku.
“Kau
kenal dia ya, Mas?” Tanya si tukang rujak. Aku pun menoleh seketika.
“Kau tidak tahu, dia
itu siapa?” Orang itu menghela napas sebelum meneruskan omongannya.
“Denger-denger sih, dia itu gila gara-gara ditinggalin pacarnya. Katanya sih
gitu, Mas. Kasihan dia. Cantik-cantik gila.” Aku kaget banget mendengar
penjelasan si tukang rujak itu. Rasanya jantungku mau copot kali ini. Masyaallah.
Kenapa Heni sampai begitu? Apa jangan-jangan….
Sesampainya
di rumah, aku langsung terduduk lesu. Sampai-sampai bibirku tidak bisa digerakkan. Istriku beranjak menghampiriku, membawakan
segelas air putih karena dia melihatku aneh sekali hari ini. Aku menelan ludah,
menyiapkan jawaban atas pertanyaan istriku nantinya.
“Mas,
kamu kenapa? Tiba-tiba pulang dari menengok kebun malah jadi kayak gini. Kamu
sakit?” Istriku meminta penjelasan atas keanehan pada diriku.
“Ya udah, diminum dulu
airnya. Biar Mas Yudi tenang.” Sejak tadi aku belum menjawab pertanyaannya
satupun. Pikiranku ke mana-mana jadinya. Aku berusaha mengatur rasa gugupku saat
ini.
Aku masih terdiam lama, tapi istriku
tetap setia menunggu jawaban dariku.
“Kau
mau menemaniku menemui seseorang?”
“Iya
Mas, aku mau.” Tanpa tanya apa-apa, Rani langsung menyetujui permintaanku. Sebenarnya
aku enggak enak hati dengan Rani. Tapi apa boleh buat. Seseorang yang telah
lama tak kutemui lagi, kali ini ingin sekali kudatangi rumahnya. Bukan karena
apa-apa dan bukan karena siapa-siapa. Tapi aku hanya ingin tahu, apa yang
terjadi padanya selama kutinggal pergi ke kota.
Senja
pun datang mengganti terangnya dunia hari ini. Sehabis berjamaah dengan
keluarga, aku dan istriku langsung menuju ke rumah Heni. Apa yang menjadi
penyebab perubahan di diri Heni kini membuatku penasaran. Pikiranku kembali ke
masa lalu saat aku dan Heni masih remaja dan pernah menjalin hubungan
selayaknya sepasang sejoli. Namanya juga anak muda. Setiap hari ketemu membuat
kami saling ada perasaan satu sama lain. Namun itu tak pernah terjadi secara
serius.
Sudah
hampir delapan tahun aku tidak pernah menyapanya semenjak kepergianku mencari
kerja di kota. Tapi tak banyak yang tahu tentang hubunganku ini. Termasuk kedua
orang tua kami sendiri. Jujur, aku rindu padanya. Di sisi lain, aku sangat
mencintai Rani, istriku.
Di
teras rumah Heni, terlihat bapaknya sedang merapikan kayu. Di saat
kedatanganku, beliau beranjak mendekat dan menjabat tanganku. Kedua orang
tuanya memang sangat baik padaku. Kami dipersilakan masuk dan duduk di kursi
ruang tamu.
Tidak
banyak ada perubahan pada keadaan rumahnya. Hanya jumlah penghuninya saja yang
berkurang. Ku awali niatku dengan basa basi. Tak nampak Heni keluar untuk
menjamu kedatangan kami. Tapi tak lama lamunanku pudar saat Heni keluar dari
dalam kamarnya. Dia juga tak nampak berubah. Hanya sedikit kurusan. Dia
tersenyum padaku dan juga pada istriku.
Wajahnya tak sedikitpun memperlihatkan kekecawaan atau kesedihan. Ia pun duduk
di sebelah ayahnya.
“Nak
Yudi, kami minta maaf sebelumnya.” Kata ayah Heni.
“Kenapa
Pak?”
“Sebenarnya…Heni
ini sudah enggak seperti Heni yang dulu lagi.”
“Maksudnya
apa ya, Pak?”
“Heni
itu orang yang jarang cerita-cerita. Apapun masalahnya selalu dipendam sendiri.
Mungkin ini akibatnya jika orang yang terlalu menyembunyikan perasaan hati. Malah
jadi penyakit pada pikirannya sendiri. Sudah hampir enam tahun dia seperti ini.
Berobat ke mana-mana sudah kami jalani. Rasanya kami
sangat putus asa.”
“Apa
Heni enggak pernah cerita-cerita, kenapa atau siapa yang membuatnya kayak gini,
Pak?”
“Dia
itu pendiam. Hingga sekarang, tak ada satupun pria yang mau mendekatinya
gara-gara ketidakwarasannya ini.” Beliaupun tak dapat menahan rasa sedihnya
waktu bercerita tentang Heni. Sungguh tragis rasanya aku mendengar cerita itu.
Aku jadi rindu pada Heni yang dulu. Dia itu selalu ramah dan baik padaku. Tapi
sekarang sudah jauh berubah. Dia bukanlah Heni yang pernah kukenal. Aku lantas
tersungkur di kaki Heni seketika itu. Istriku yang mengetahui hal itu, spontan
memapahku untuk duduk kembali.
“Pak,
aku minta maaf pada keluarga ini. Terutama pada Heni. Mungkin gara-gara diriku
Heni menjadi seperti ini. Aku tinggalkan dia sewaktu kami saling suka.
Bertahun-tahun aku tidak pernah menengok apalagi tanya kabar tentang dia. Aku
sengaja pergi darinya karena ini kehendak kedua orang tuaku sendiri. Aku enggak
tau kalau akibatnya akan seperti ini, Pak. Aku minta maaf.” Tangisku di depan
ketiga orang yang memang seharusnya kukatakan dengan sejujur-jujurnya apa yang
terjadi dengan masa laluku bersama Heni. Walaupun agak sakit hati, ayah Heni
menerima permintaan maafku. Semuanya adalah takdir. Dan kita semua tidak tahu,
apa yang akan terjadi selanjutkan pada kehidupan ini. Rasa rinduku pada wanita
pertama yang membuatku jatuh hati, kini telah berganti dengan rasa bersalah
yang amat mendalam.
Di
kehidupanku yang nyata, aku akan selalu memperbaiki diri untuk membangun hidup baru
dengan istri dan kedua anakku. Kesalahanku di masa lalu, tak akan kuulangi di
masa yang akan datang. Rindu ini tetap tersimpan walau sudah lapuk dimakan
zaman. Panggilan yang selama ini kurasakan, sekarang sudah terjawab dan
tersampaikan kepada orang yang kutuju. Pergantian hati takkan menjadikanku berubah
pikiran. Yang dulu adalah masa lalu, dan yang sekarang adalah kehidupan nyata yang
harus aku jalani.
***
THE END ***
Namaku Dewinta Asiana, Lulusan
dari SMK N 1 Kudus angkatan tahun 2010 jurusan Akuntansi. Beralamat di Desa
Kedungdowo Krajan RT 01/RW 1 Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kudus. Email : d_asiana@yahoo.com.
Akun Facebook : Sang Fatamorgana. Motto Hidup : Gunakan masa mudamu untuk
melakukan hal-hal yang positif, sebelum datang masa tuamu hingga kau tak dapat
melakukan apa-apa lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar