Cerpen yang lolos dalam Event bertema "RINDU" penerbit Mafaza Media.
My Brother
Oleh
Veronika Shelvina
Setelah lima tahun aku tidak melihat dirinya, kini aku
berdiri di depan sebuah kafe sederhana di pusat kota. Titik-titik air yang
turun serta embusan angin berhawa dingin bukanlah halangan bagiku untuk
menunggunya. Aku ingin melihat bagaimanakah keadaan dia sekarang? Apakah
kabarnya baik? Bagaimana pula dengan pekerjaannya?
Banyak pertanyaan terlintas dalam benakku sampai-sampai
aku tidak sadar bahwa ia sedang berjalan ke arahku. Gadis bersurai panjang itu
terlihat semakin dewasa. Blus atasan biru muda yang kasual dipadukan dengan rok
hitam selutut. Kakinya dibalut sepatu cokelat dengan hak setinggi lima
sentimeter.
Dia tetap terlihat manis. Bahkan aroma parfum dari
tubuhnya menebarkan pesona yang sama seperti sebelumnya saat ia melewatiku.
Aroma camomile yang selalu menjadi
ciri khas seorang Seira. Kupandangi punggungnya yang mulai menjauh memasuki
kafe. Aku pun ikut masuk ke dalam, lalu duduk manis di kursi yang terletak di
sudut ruangan.
Mungkin karena masih terlalu pagi, kafe ini sepi. Aku
mengedarkan pandanganku ke arah seorang lelaki paruh baya yang duduk sekitar
dua meter jauhnya dariku. Sepasang matanya masih fokus membaca surat kabar
sembari sesekali ia menyeruput secangkir kopi hangat. Sementara di sisi lain
seorang wanita muda sedang menikmati sarapannya dengan lahap.
Seira datang. Gadis itu membawa nampan yang berisi pesanan
milik lelaki paruh baya itu. Tiba-tiba, kudengar pintu kafe dibuka. Sontak aku
pun langsung menoleh. Air mukaku seketika berubah saat melihat sesosok lelaki
tampan yang berdiri di ambang pintu. Ia membawa sebuah buket bunga lily putih di
tangannya.
“Kelvin, pagi sekali kau datang.” Sapa Seira ramah. Wajah gadis itu berseri-seri seakan ia sangat senang
dengan kedatangan lelaki berparas tampan itu. “Tunggulah sebentar, aku mau
beres-beres dulu.”
“Ah, tidak perlu terburu-buru. Aku akan menunggumu,
Seira.” Kelvin berucap sambil tersenyum manis. Bibirnya mengembang tipis
seiring dengan kedua matanya yang ikut tersenyum pula. Aku tidak suka senyum
lelaki itu. Dia benar-benar meniru habis senyumku.
Kelvin duduk di sebuah kursi kayu dengan sandaran busa di
belakangnya. Punggungnya yang ringkih itu pun terasa nyaman sekarang. Ia
membolak-balikkan buku menu yang terletak atas meja, mengamati setiap menu
makanan yang tersedia di kafe itu.
Seira kembali dengan membawa serbet di tangannya. Gadis
itu mengelap sebuah meja yang baru saja ditinggalkan oleh wanita muda tadi.
Remah-remah makanan yang tersisa dibersihkannya. Piring serta gelas yang sudah
kosong pun harus dibawanya ke dapur untuk dicuci.
“Ingin memesan sesuatu?” Seira melirik Kelvin sekilas.
“Hmm, mungkin teh saja. Tanpa gula.”
“Baiklah, tunggu sebentar.”
Seira pun berlalu. Aku berpindah tempat duduk, mengambil
posisi kursi di dekatnya. Sesekali aku memerhatikan gerak-gerik lelaki berparas
rupawan itu. Sunggingan senyum kecil terpancar di bibirnya sesaat setelah ia
mencium aroma wangi dari buket bunga lily yang dipegangnya.
Biar kutebak, lelaki ini pasti menggunakan bunga itu
untuk menyatakan cintanya kepada Seira. Ada segelintir rasa kecewa di hatiku.
Kepergianku ternyata mampu membuat gadis itu berpaling dari diriku.
Bagaimanapun aku harus menerima kenyataan pahit ini.
Seira datang dan membawa secangkir teh hangat untuk
Kelvin. Ia menaruhnya di atas meja, lalu duduk di kursi tepat di depan Kelvin.
“Minumlah mumpung masih hangat,” kata Seira lembut.
Kelvin menyeruput cangkir itu perlahan dan menyesap teh
tersebut. Aroma daun teh yang wangi itu menguar melalui kepulan uap airnya yang
hangat.
“Kau selalu membawa bunga lily untuknya.” Seira sedikit
menundukkan kepalanya. Raut wajah yang manis itu mulai berubah muram. Aku
mengerjapkan kedua mataku, mempertajam telingaku untuk mendengar apa yang akan
dibicarakan gadis ini selanjutnya.
“Iya, dia suka bunga ini,” Kelvin meletakkan buket
tersebut di atas meja, lalu menyandarkan punggung ringkihnya ke sandaran kursi.
“Dia pernah bilang kalau bunga lily adalah lambang
kesederhanaan, pesona, kerendahan hati, dan kecantikan,” Kelvin mendongak,
menatap wajah Seira. “Seperti dirimu.”
Seira sedikit tersentak dengan perkataan lelaki itu.
Entah kenapa air matanya hampir menganak sungai. Ia berusaha untuk menahan
butiran kristal itu keluar.
“Vincent. Dia tipe lelaki yang tidak mudah menyerah dan
juga pekerja keras. Ia selalu berusaha untuk terlihat sempurna, entah apa pun
itu. Aku jadi ingat saat masa sekolah dulu. Vincent selalu memarahiku ketika nilai
ujianku jelek. Bahkan omelannya yang menurutku tidak bermutu itu selalu saja
kuacuhkan.”
Kelvin menarik napasnya panjang. Pandangan mataku tak
pernah salah. Ia berusaha menyembunyikan kesedihan hatinya. Hatiku tertohok
kala melihat dia bersedih seperti ini.
“Vincent selalu membantuku di saat aku mengalami
kesulitan. Ketika aku masih kecil, aku pernah menjatuhkan vas cantik milik
ibuku secara tidak sengaja. Ibuku marah, namun Vincent membelaku. Ia mengatakan
bahwa dirinyalah yang menjatuhkan vas itu. Dia melakukan hal itu untuk
menyembunyikan kesalahanku.”
Suara Kelvin mulai serak. Sebutir air mata pun mengalir
di pipi kanannya. “Andaikan ia ada di sini. Andaikan kecelakaan itu tidak
terjadi. Andaikan aku bisa memutarbalikkan waktu, aku ingin kembali ke masa-masa
itu. Saat-saat di mana aku dan dia masih bersama.”
Aku menahan diriku untuk tidak menangis. Melihat
kesedihan hati Kelvin sontak membuatku merasakan hal yang sama. Ya, sejujurnya
aku pun ingin kembali ke masa-masa itu. Ah, sayangnya hal itu tak akan pernah
terjadi.
Seira menggenggam pergelangan tangan Kelvin, mengelus
punggung tangannya lembut.
“Meskipun aku memiliki keinginan yang sama, tentulah hal
itu tidak bisa terjadi. Vincent sudah hidup di dunia yang berbeda. Tetapi, aku
selalu melihat Vincent ada di dalam dirimu,” ucap Seira sembari tersenyum
tipis.
“Oh, Seira, wajahku dan Vincent memang mirip karena kami
kembar. Tetapi bukan berarti pribadi kami sama.”
“Aku tahu,” Seira mengubah posisi duduknya. “Tapi aku
merasakan suatu hal yang sama saat aku bersama dengan Vincent dan juga
bersamamu.”
Mulutku terkatup rapat ketika suara Seira tadi menelusuk
telingaku. Aku pun bisa merasakan adanya perubahan di hati Seira. Gadis itu
sudah menemukan penggantiku dan aku harus menyadarinya. Ia tak akan pernah bisa
kembali padaku.
Di sisi lain, hatiku sedikit lebih tenang karena Seira
jatuh ke tangan lelaki yang baik seperti Kelvin. Ia adalah adikku yang hanya
berselisih lima menit dariku. Meski sifatnya yang agak ceroboh, tetapi aku
yakin ia bisa menjaga Seira dengan baik.
“Aku jadi merindukan Vincent,” kata Kelvin sambil menyeka
air matanya.
Seira membalasnya dengan senyum kecil. “Aku juga. Hm,
bagaimana kalau kita ke makamnya sekarang?”
“Ide yang bagus, Seira.” Wajah Kelvin kembali cerah.
Seira segera beranjak dari kursinya. “Baiklah, aku ganti
baju dulu.”
Bibirku mengembangkan senyum kecil. Ternyata dugaanku
salah. Bunga lily putih itu ternyata untuk diriku.
Mungkin ini terakhir kalinya aku melihat Kelvin dan juga
Seira. Kerinduanku terhadap Seira terobati sudah karena sekarang ada Kelvin di
sisinya. Aku tak perlu mengkhawatirkannya lagi.
Tak lama kemudian, Seira datang dengan mengenakan
pakaiannya yang tadi dan bersiap untuk pergi ke pemakamanku. Kelvin menggandeng
lengan gadis itu, lalu berjalan melewatiku.
Benar, mereka memang tidak bisa melihatku, tetapi aku
bisa melihat mereka dengan jelas.
Kelvin, aku menitipkan Seira padamu. Hanya kepadamu.... Aku
akan menunggumu sampai waktunya tiba. Kau akan kembali ke pangkuan Tuhan dan di
sanalah kau akan bertemu denganku. Kelvin, aku menyayangimu.
***
THE END
***
Veronika Shelvina, si penyuka musik Kpop yang suka
menulis di blog pribadinya. Lahir di kota Pangkalpinang, 16 April 1995. Ia bisa
dihubungi melalui Twitter @Veronika_1315.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar