Cerpen yang lolos dalam event bertema "RINDU" penerbit Mafaza Media
Merindu Kepulanganmu
Oleh Ana
Widiawati
Meskipun
melelahkan, aku tetap berupaya bertahan. Tak peduli orang mengataiku dungu. Kau
akan selalu menjadi yang kutunggu. Seberapa kasar kata-kata yang mereka
gulirkan, aku sudah kebal. Buasnya ucapan mereka hanyalah semilir angin yang
menusuki. Masih dapat kutangani walaupun tak jarang hatiku meneteskan darah
kepedihan. Yang membuat tangisku sesekali menguar. Tetapi, aku teguh memijakkan
kaki untuk mengasah harapan akan kedatanganmu yang mungkin terlihat samar.
Aku
sudah melangkah sejauh ini, disertai pula memar-memar hati yang membiru. Jika
rindu tiba, itu sekedar perjamuan yang sulit kuhindari. Aku pun memahami sedari
awal bahwa rindu adalah kawan dari menunggu. Saat kuputuskan menunggumu maka
aku telah menganyam hati seribu kali dengan simpul tali kesabaran. Agar hati
tak lekas mati karena rindu yang tiba-tiba menghampiri. Jadi, cepatlah kembali
dengan sepotong hati yang kau dedikasikan
untuk kesakitanku selama ini.
***
Kutengok
jam yang bertengger di tangan. Aku mendesah pelan. Mungkin ini akan menjadi ke
keempat kalinya aku menelan kekecewaan. Ah, tapi aku tidak boleh menyerah. Aku
bahkan sudah bertekad untuk terus bertahan apapun yang akan menghadang. Tak apa
kau belum datang. Tak apa sekarang tidak kutemukan sosokmu di antara penumpang
yang menuruni kereta dari Surabaya itu. Akan tetapi, suatu hari nanti kau pasti pulang
bersama sebingkis kasih yang kudambakan.
Langkah-langkah
lemah menyusuri jalanan yang nampak sepi. Senja mendampingi jiwa-jiwa yang tengah
melirih itu. Mereka yang mengerang sehabis menukar energi dengan berlembar
uang. Aku hanya memandangi dalam diam. Ada segumpal simpati untuk mereka yang
bertarung dengan terjalnya kehidupan. Setiap orang pasti memiliki kepiluannya
sendiri. Tanpa harus diumbar dan diteriakkan di berbagai media layaknya
mahasiswa berorasi. Sama sepertiku, mungkin mereka juga tengah bermesraan
dengan kerinduan. Aku merindumu sedangkan mereka merindu kesejahteraan.
Melihat
mereka, aku merapal doa. Semoga kau dalam keadaan yang lebih beruntung dari
mereka. Membayangkanmu dengan berlumuran peluh, sungguh memilukan kalbu.
Setidaknya, aku berharap kau menjalani pekerjaan yang menyenangkan tanpa
mengeluarkan keringat berlebihan. Aku takut kau jatuh sakit karena terlalu
gigih mencari uang hingga lupa kesehatan. Aku semakin khawatir di saat sakit
tidak ada yang merawatmu dengan benar.
Mengingat
uang, aku kembali menyesap masa silam. Ketika kulepas kepergianmu dengan
kegundahan. Aku sungguh tak rela waktu itu. Berulang kali kuhujat keputusanmu
ke pulau seberang yang tak sekali pun pernah kupijak. Uang adalah alasan yang
kausuguhkan untuk menyakinkanku.
“Aku
pergi untuk kebaikan kita, Nin. Lagipula aku tidak main-main di sana. Aku
bekerja.” Katamu
menyakinkanku.
Aku
memandangmu malas.”Di sini kau juga bekerja. Kau bukan
pengangguran. Jadi, untuk apa kau merantau?”
“Aku
mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan. Pekerjaanku sekarang tak cukup
mnghasilkan uang.” Kau menggenggam tanganku erat. Mencoba memberi pemahaman
padaku yang bebal dan keras kepala melalui sentuhan hangatmu.
“Aku
tak butuh uang!” Ucapku tegas sambil menarik tanganku dari
genggamanmu. Kupalingkan wajah menuju rel-rel kereta api. Kudengar desahan
putus asa keluar dari mulutmu. Aku tahu kau tengah frustasi menghadapi sikapku.
Tetapi, aku tetap pada pendirian bahwa kau tak boleh pergi.
Sepuluh menit kau dan aku saling
bungkam. Hanya suara bising orang berlalu-lalang. Terkadang mereka berlarian
mengejar kereta yang sebentar lagi akan melaju. Suara pemberitahuan dari bagian
informasi yang menggema di sepanjang stasiun akhirnya mampu mengusikku dan
mungkin juga kau. Kereta yang akan membawamu ke Surabaya akan segera tiba.
Setelah itu, kau menuju Bandara Juanda untuk menjemput pekerjaan yang kau katakan bisa membuat kita bersama di
pelaminan. Pekerjaan yang sebenarnya tak kuketahui seperti apa dan bagaimana. Yang
kutahu Pulau Sulawesi adalah tujuanmu.
“Mungkin uang tidak penting bagimu
tapi tidak untuk Bapakmu. Ia menginginkan seorang menantu
yang bergelimang harta. Bukan seperti diriku yang kere ini. Kumohon, mengertilah posisiku. Aku tidak mau berpisah
denganmu tapi aku lebih tak ingin jika bapakmu menikahkanmu dengan pria lain.
Maka dari itu, aku harus mencari pekerjaan yang bisa menghasilkan uang
secepatnya.”
Aku masih diam. Mencerna ucapanmu
dalam-dalam. Kau kembali berujar, kali ini lebih tenang.” Aku
berjanji ini hanya sementara. Aku mencintaimu, Nindya.” Aku menoleh ke arahmu.
Mata pekatmu itu memancarkan tangis yang tertahan. Apakah kau sangat tertekan
dengan sikap Bapakku? Sampai-sampai kau pergi mencari
uang yang banyak untuk meminangku. Bahkan kau yang pantang menyemburatkan air
mata di depan wanita, nampak begitu rapuh dan terluka. “Apa aku sangat menyulitkanmu? batinku.”
“Pergilah, Fikri.” Kau mematung.
Raut wajahmu memperlihatkan keraguan akan apa yang baru saja kaudengar. Aku menggangguk dan tersenyum.
“Aku akan menunggumu kembali.”
“Terima kasih, Nin. Selama kau
menungguku maka tidak ada alasan bagiku untuk menyerah,” ujarmu dengan senyuman
yang dipenuhi kelegaan.
Kau bukan pemalas. Kau pekerja keras
dan tak kupungkiri kau cerdas. Sayang, nasib kurang memihakmu. Kau tidak
berkesempatan mencicipi bangku perkuliahan. Menghabiskan masa setelah sekolah
menengah dengan berjibaku di toko fotokopi mungil itu. Sebuah toko yang kau
beli dari hasil menjual ladang orang tuamu. Terkadang suratan nasib memang
menakutkan. Aku merasa ini tidak adil untukmu. Namun, kehidupan tidak selamanya
sejalan dengan pikiran kita, dan begitulah kehidupan.
Diliputi kejutan.
***
Tanganku mengepal kuat-kuat. Aku
tengah menahan gemertak gigi yang sedari tadi beradu hebat. Aku marah. Menatap
Ranti yang terus bercicit tanpa henti. Ia masih dengan argumennya. Meremehkan
kesetiaanmu yang kupercaya. Ia berhasil membuat kepalaku mendidih di siang hari
ini.
“Pikirkanlah, Nin! Lelaki adalah
mahluk yang berbahaya. Jangan kau percaya begitu saja!”
“Fikri berbeda, Ranti. Ia bukan
tipikal lelaki yang pernah kau kencani.
Mengkhianti cintamu dan pergi.” Aku tidak terima perkataannya. Seolah ia
memandang semua lelaki sama seperti lelaki yang selalu menduakan cintanya. Aku tidak
suka ia menyamakanmu dengan lelaki-lelaki pendusta itu.
“Kenyataannya kau kehilangan
komunikasi dengannya sekarang. Mungkin setahun setelah kepergiannya, kau dan Fikri masih
baik-baik saja. Tapi, ini sudah tiga tahun berlalu tanpa kabar darinya sejak
terakhir kali kalian bercengkerama
melalui handphone.” Lanjut Ranti.
Meskipun semua yang dipaparkan Ranti
adalah kebenaran, aku tetap percaya padamu. Empat tahun menunggumu bukanlah
halangan untukku. Tiga tahun ini, kau hilang tanpa secuil kabar. Aku pun masih
sangat mempercayaimu. Alasanku sebenarnya amat
sederhana, cinta. Sebab cinta ini lebih dari rangkaian lima abjad yang hampa.
Cintaku adalah kepercayaan yang sesungguhnya. Ada sebait rindu yang ingin
kuutarakan kepadamu. Percaya dan rindu telah membaur menjadi satu kekuatan di
dalam cintaku yang berdebar walau jarak memisahkan.
Ranti masih berusaha memengaruhiku.
Ia kembali melontarkan dugaan-dugaan yang mampu menekanku.
”Sangat
mungkin jika ia sengaja mengganti nomer handphone
karena satu alasan. Apalagi kalau bukan wanita idaman lain. Kau jangan
mudah dibodohi, Nindy!”
“Pergilah! Aku lelah, Ran.” Ucapku menanggapi Ranti.
Sebelum aku lepas kendali dengan meluapkan amarah yang membuncah, aku mengalah.
Kupungut bulir-bulir sabar yang sempat tercecer. Menata lagi menjadi benteng
pertahanan.
Aku tidak membenci Ranti. Aku memahami
maksud baiknya sebagai sahabat. Hanya saja aku lebih membutuhkan ketenangan.
Aku adalah manusia biasa. Aku juga tidak sebodoh yang Ranti pikir. Aku pun
pernah meragukan kesetiaanmu. Di saat kerinduan yang meraung-raung itu meminta
tumbal, aku sesekali memakimu dalam bayang. Hatiku sesak mengingatmu yang tak
dapat kujangkau. Pula kabarmu lenyap entah kemana. Semua itu cukup untuk
mengusikku.
Aku rindu. Aku ingin mendengar
suaramu, itu yang kumau. Apakah terlalu susah buatmu? Hingga kau tidak memberiku
kabar sedikitpun. Apakah kau tidak merindukakanku? Tidakkah kau juga ingin
menanyakan bagaimana keadaanku? Andai cinta tidak menjadi dasar cerita ini,
maka kuputuskan untuk menyerah sejak lama. Kini aku cuma bisa mendesah lemah.
Menyelimuti diri dengan rindu yang enggan mati.
***
Tahukah kau tentang rindu yang
setiap pagi menjadi nasi? Kutelan sebagai sarapan. Malam juga ikut meramaikan.
Menghembuskan rindu itu lamat-lamat bersama desau angin yang menggigil. Ini
tentang rindu. Aku membutuhkanmu untuk menjinakkannya yang semakin garang tiap
hari. Ini juga tentangmu, seseorang yang sangat kurindukan. Hilang dalam
berbagai prasangka yang menyesakkan. Aku mulai terbuai prasangka-prasangka itu.
Aku takut kepercayaanku luntur tanpa kusadari.
Di sini aku memandangi bangunan yang
usang itu. Aku tak lagi ke statiun kereta api seperti dulu. Menuruti katamu yang
akan pulang pada akhir tahun. Tepat di hari kelahiranku. Aku memilih
mengenangmu di toko fotokopi bekas milikmu itu. Membayangkan pertemuan kau dan aku
untuk pertama kalinya.
Setetes air mata meluncur dengan
leluasa. Diikuti tetesan-tetesan lain yang tak terhitung jumlahnya. Aku tersedu
di pinggir jalan. Sore yang membentang menemaniku yang kesakitan. Sakit karena
rindu kian menjalari. Mengakar di setiap urat nadi. Hatiku merapuh seketika. Inilah puncak rindu
yang terpaksa kubungkam. Aku sudah lelah. Jika dahulu, rindu adalah salah satu
kekuatanku untuk menunggumu maka rindu itu pula yang menjadi kelemahanku.
Mungkin cintaku sudah menguap pelan-pelan. Tidak mampu lagi menopang
kepercayaanku. Tidak sanggup aku menunggumu. Aku berniat melepasmu pergi, tanpa
ikatanku.
Aku beranjak pulang. Sekali lagi
menatap lekat toko fotokopi itu seakan aku menatap siluet bayanganmu di sana.
Ya, inilah akhir yang tidak kuduga. Aku memutuskan untuk berhenti menunggumu.
Lima tahun yang sia-sia. Aku berputus asa memupuk hati yang merindu ini. Sekuat
aku menunggumu tapi tidak dengan rinduku. Ingin segera bertemu. Apabila bertemu
denganmu nampak semu maka jalan menyerah yang kutuju.
“Halo. Siapa ini?” Aku mengernyit.
Kembali kutengok layar handphone-ku.
Nomer yang tidak kukenal.
Semenit
yang lalu di perjalanan pulang, dering handphone
menginterupsi langahku. Dan selama itu pula tidak ada jawaban dari sang
penelpon. Merasa dipermainkan, aku hendak menutup sambungan panggilan tersebut.
Sebelum sebuah suara terdengar lirih. Amat lirih sehingga angin hampir
menenggelamkan suara itu.
“Aku
akan pulang.”
Aku
memaku. Darahku memacu tetapi napasku tercekat. Itu suaramu. Suara yang
kurindukan bertahun-tahun yang lalu. Kau kembali memberiku sesuap rindu yang
kumau. Lebih dari itu, kau memabawa kabar kepulanganmu yang membangkitkan
kembali kepercayaanku. Kau menepati janjimu. Aku merindukanmu, pulanglah!
***
BIODATA
PENULIS
Ana Widiawati adalah seorang pelajar
yang menggilai sastra dan musim panas (summer). Ana yang sering dipanggil Aw
oleh kawan-kawannya ini adalah seorang gadis kelahiran 14 Juli 1996. Sekarang
ia tinggal di Banyuwangi. Ia dapat dihubungi via Facebook Ana Widiawati email janawidiawati@yahoo.com. Mohon kritik dan saran. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar