Cerpen yang lolos dalam event bertema "RINDU". Penerbit Mafaza Media
Ku Sandarkan Rindu Dalam AyatMu
Oleh Anggi Ayu Wiguna
Senja
ini, saat mentari meredup dengan perlahan dan menciptakan mega-mega mempesona,
aku terbelenggu dalam diam. Tak terlihat mega-mega yang menawan itu oleh mata
hatiku, yang ada hanya mendung dan mulai pekat. Suatu asa dimana aku kini mulai
berhenti berharap mungkin lebih tepatnya aku putus asa. Aku berjalan sudah
terlalu jauh sampai saat ini aku baru tersadar bahwa aku telah tersesat begitu
lama. Ya tersesat diduniaku yang masih jauh dariMu, masih dalam semu aku
mengingatMu.
Aku
dilahirkan dengan nama Bilqisty Adzra, dulu
Ibuku berkata beliau memilih nama ini karena Ibuku berharap aku menjadi seorang
ratu yang mulia, ya karena itu adalah arti dari namaku. Semoga doa Ibuku yang
disampaikan melalui nama terkabulkan.
Satu
tahun yang lalu tepat dimana sebuah elegi hidupku terjadi, saat aku memutuskan
memakai hijab di usiaku yang menginjak duapuluh dua tahun saat itu pula aku
sedang menyelesaikan tugas akhir untuk gelar sarjanaku. Siang itu cuaca sangat
terik, matahari sangat bersemangat untuk memancarkan suryanya menerangi manusia
yang sibuk penuh hiruk pikuk dengan urusannya dibumi, termasuk aku yang sedang
tergesa-gesa menuju kampus karena harus menemui dosen pembimbing skripsi.
“Hah…
Panas sekali, habis sudah kulitku kering dan terbakar.” Keluhku.
Sesampai
dikampus aku setengah berlari menuju ruang dosen dan ternyata kosong.
“Oh
ya Allah…lagi-lagi telat, yah seminar hasil harus diundur lagi,” aku berkata setengah
berbisik. Sangat menyesal sekali mengapa aku harus ceroboh melupakan janji. Aku
menghela nafas dan tertunduk lesu. Aku
putuskan untuk menemuinya besok saja. Aku beranjak dari tempat duduk dan mulai
melangkah dengan tak bersemangat. Ya sedikit menunjukkan bahwa aku sangat
kecewa hari ini.
Tiba-tiba
terdengar suara yang berasal dari ujung ruangan.
“Hei
hei,hei ukhti!” Suara lelaki diujung sana, yang membuatku kemudian menoleh
karena suaranya yang setengah berteriak. Dan benar saja dia sedang melihat ke
arahku sambil mengangguk mengisyaratkan bahwa benar yang dia maksud itu adalah
aku. Akhirnya aku menghentikan langkahku, dan laki-laki itu berlari ke arahku,
sedangkan aku hanya terpaku. Subhanallah laki-laki ini adalah Kak Hamim, dia
adalah kakak tingkat sekaligus aktivis kampus. Seseorang yang aku ketahui
dengan ketaatannya kepada Allah, makhluk tampan dan soleh serta cemerlang maka
nyaris sempurnalah dia. Makhluk yang diragukan keasliannya sebagai manusia ini,
karena Anis selalu menyebutkan bahwa laki-laki berkacamata ini adalah malaikat,
dan kini aku mengakui bahwa dia adalah
manusia setengah malaikat.
“Ukhti,
maaf saya mendapat amanat dari Bu Hati untuk menyampaikannya padamu bahwa Bu
hati tidak jadi kekampus hari ini karena ada musibah suami beliau masuk rumah
sakit”. Dengan suara tersengal-sengal Kak Hamim menjelaskan padaku.
“Innalillahi,
semoga suami beliau cepat diberi kesembuhan oleh Allah,amin,” jawabku padanya.
“Amin.
Allah humma amin” sahut dia menegaskan doaku padaNya.
“Baik
Kak terimakasih banyak, saya duluan. Assalamualaikum”.
“Waalaikumsalam”.
Dan
kami saling berlalu dari ruangan itu. Subhanallah entah ada apa dengan siang
ini, aku merasakan tenang saat berbicara dengan manusia setengah malaikat itu,
teduh sekali matanya, siapa yang akan menolak jika seorang hamim meminta untuk
menjadi imam kepada seorang wanita, rasanya tak akan ada wanita yang mampu
menolaknya. Ah aku berpikiran apa, sungguh lancang berharap hal lebih dari
makhluk yang nyaris sempurna itu, aku sungguh naïf, seseorang yang baru memulai
belajar islam dan mengenakan hijab nya baru terhitung hari, menginginkan
seorang adam yang seperti Kak Hamim. Jangankan menjadi nyata memikirkannya pun
aku malu. Pantas saja Anis begitu mengistimewakan laki-laki ini, benar saja dia
sangat istimewa.
***
Tiga
tahun lalu aku pernah bersama dengan seorang laki-laki, dia adalah sahabat
kecilku, hingga aku putuskan untuk menjalin hubungan, memang saat kami menjalin
hubungan penuh drama jahiliyah, kebodohan, dan tersesat, sampai tiba pada suatu
titik yang membuat kami berbalik arah menuju agama kami, menuju Ar-rahman dan
menuju sang Gofur. Dirham nama laki-laki itu, disatu titik itu aku dan dirham
menyepakati bahwa memang kita harus berhenti bersama dalam ikatan yang belum
halal ini, sehingga aku dan dirham harus menyimpan rasa rindu dan cinta ini
dalam diam, dan dalam ayat-ayat alquran. Selalu dirham mengatakan …
“Jika
kita saling merindu bacalah surah Ar-rahman agar hati kita tentram sehingga
cinta kita akan selalu suci dan diridhoiNya. Sampai pada saat aku akan datang
padamu untuk menghahalkanmu, Sampaikan rindumu untukku dalam Ar-rahman.”
Tak
terasa dua bulan telah berlalu, dibulan itu aku mendapakan kejutan luar biasa
dari Allah, tepat dihari itu Kak Hamim mengkhitbahku. Dia meminta kepada Ayah
untuk meridhoi aku menjadi bidadari untuknya, bidadari untuk menemaninya selama
didunia dan diakhiratnya kelak. Aku sungguh kaget bercampur haru, seorang Hamim
mengkhitbahku, betapa tidak aku bisa menolaknya. Aku pun memeluk Ibuku sambil menangis bahagia. Wahai
Allah, hadiah inikah darimu? Akupun malu untuk memimpikannya. Subhanallah
Engkaulah sebaik-baiknya perencana. Maha Besar Engkau dan Maha Perkasa. Telah
direncanakan bahwa pernikahanku dengan kak Hamim akan berlangsung hari senin
depan seminggu dari hari dimana Kak Hamim mengkhitbahku.
Tiga
hari sebelum pernikahanku, aku harus pergi ke luar kota dikarenakan nenek
terkena serangan jantung sehingga aku harus menemani ibu. Akhirnya kami tiba
dirumah sakit aku terkaget-kaget melihat
sosok itu ya dia adalah Dirham.
Laki-laki yang dulu menjadi teman baikku dan berjanji padaku. Aku belum siap
untuk berbicara apapun padanya. Dirham telah menyelesaikan coastnya dan dia
bekerja di rumah sakit ini. Aku tak kuat nampaknya aku akan rapuh Oh Allah,
hamba belum siap. Dirham melihatku dari ujung kacamatanya, dia nampak berbeda,
sangat dewasa dan dia tumbuh dengan baik.
“Bilqis….
Subhanallah… Bilqis aku tidak percaya kau disini.” Dirham berkata dengan nada
yang sangat terlihat dia sangat bahagia.
Wajah
Dirham mulai membiru, ketika aku mengatakan aku akan menikah dengan laki-laki
bernama Hamim. Aku tau,sangat paham jika dia benar-benar akan terluka, melihat
sejauh ini dia sangat berusaha menjadi pria soleh yang aku damba untuk menjadi
imamku. Dia sangat berusaha. Aku berusaha meminta maaf berkali-kali padaNya,
seperti tak pernah cukup kata maaf itu. Namun Dirham masih terdiam bersama
lamunannya. Namun pada akhirnya dia berkata
“Bilqis…
Alhamdulillahirobilalamin, akhirnya kau menemukan seseorang yang layak
mengimamimu, tak usah kau meminta maaf terlalu banyak padaku, jodoh itu garis
takdir, yang telah ditentukan Allah, walau aku memintamu sangat banyak padaNya,
jika Dia tidak berkehendak maka tak akan pernah akan aku memilikimu, aku
bahagia melihatmu sekarang dengan hijab panjangmu, kau terlihat sempurna. Aku ikhlas
dan membebaskanmu dari janjimu untuk menungguku. Menikahlah… Jadilah bidadari
surga untuk orangtuamu dan untuk suamimu. Menikahlah….semoga Allah meridoimu.”
Bagaimana
bisa Dirham nampak baik-baik saja seperti itu, sangat tenang, Sangat ikhlas, setelah
aku menyakiti hatinya? Apa dia kini sudah melupakanku sebenarnya dan dia tidak
mencintai aku lagi? Bagaimana bisa Dirham sangat datar seperti itu. Dirham
berlalu, dan aku masih terpaku.
Aku
berlari mengikutinya,menuju mesjid rumah sakit, kudekati apa yang sedang dia
lakukan di sana, akupun masuk kedalam mesjid dengan terhalang hijab, dalam
batas hijab aku mendengar sayup-sayup ayat Alquran.
“Ar-rahmannn….
Alamaquran…”
Subhanallah…
Dirham, Dirham membaca surah itu dengan suara terbata-bata karena dia menangis.
Seorang Dirham menangis, kembali ia lanjutkan ayat demi ayat namun semakin
nyaring dan semakin terdengar isak tangisnya. Kadang dia menghela nafasnya dan
berkata seperti penuh kesakitan yang mendera didadanya “Allah…!” dan kembali dia
melanjutkan ayat dalam surat Ar-rahman itu.
Dan
apa yang aku lakukan? Aku hanya menangis, sebisa mungkin mencoba menangis
sepelan mungkin agar tak terdengar oleh siapapun, aku ingin berlari dalam hujan
karena hujan membuat ku terlihat tidak menangis.
Kini
aku sendiri disenja ini, senja yang pekat meski mega-mega merona. Aku
merindunya… merindu sosok laki-laki yang membaca surah Ar-rahman sambil
menangis itu. Setelah batalnya pernikahan aku dengan Kak Hamim diwaktu yang
lalu.
“Bilqis… Buka pintunya! Segeralah pakai jilbabmu,
dan ikuti Ibu keluar!”. Suara Ibu menyadarkanku dari lamunan panjang ini, aku
pun membukanya. Ibu dengan wajah merona berkata padaku,
Ayahku
berkata ada seorang laki-laki yang ingin mengkhitbahku dan laki-laki ini bernama
Dirham Hakiki. Serasa ada angin segar yang menghembus kedalam relung hati.
Serta alunan takbir yang tak lepas dalam hati “Ayah aku menginginkannya” ucapku
pada ayah.
Acara
pernikahan telah usai, akhirnya angin malam menghembus menggantikan angin
gersang. Aku berhadapan dengan suami yang sangat kurindu kehadiran nya telah
lama. Aku terlihat sedikit gugup malam itu.
“Nyonya
Dirham, berapa banyak kau membaca surah Ar-rahman akhir-akhir ini?” Ucap dirham
menghilankan gugup ku sambil tersenyum padaku.
“Ribuan
kali…” Jawabku dengan menatap matanya yang teduh. Dirham tersenyum dan kemudian
memelukku
“Ya,
tentu aku pun begitu ribuan kali,sebanyak rinduku padamu dan ku titipkan rindu
itu padaNya melalui Ar-rahman. Ternyata Allah menyampaikannya dengan sangat
indah, subhanallah,” ucap Dirham.
Memang
benar, disaat kita ingin menjadi lebih baik tak pernah ada kata terlambat.
Allah Maha Pengampun, dan selalu mendamba hamba-hambanya yang berbuat salah dan
bertaubat. Cinta yang Dia ridhoi adalah cinta yang suci, dan cinta yang suci
selalu akan sejati, dan cinta sejati adalah anugerah dari yang Maha Sejati.
***
THE END ***
Biodata
Penulis
Anggi
Ayu Wiguna adalah nama yang diberikan oleh orangtuaku semenjak lahir kedunia
ini. Tepat pada tanggal 02 Oktober 22 tahun yang lalu. Saya berasal dari kota
yang sejuk nan rindang bernama Tasikmalaya. Dan sedang belajar di kampus
Universitas Jenderal Soedirman memilih Fakultas Hukum untuk mengabdikan diri
menggali ilmu untuk negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar