Cerpen terbaik I dalam event bertema "RINDU"
(Penerbit Mafaza Media)
Bintang, Tunjukkanlah
Jalan Pulang Kepada Ayahku!
Oleh Rizky
Angin malam
berembus dengan lembut. Bunga-bunga dan dedaunan bergoyang mengikuti iramanya.
Mbah memelukku, melindungi dari dinginnya angin yang menusuk-nusuk.
“Ayo masuk ke
dalam nduk! Nanti kamu bisa masuk angin. Kalau masuk angin disuntik Bu Dokter
loh! Jussss.” Mbah mulai mengeluarkan jurus rayuannya. Aku tidak peduli dan
melepaskan pelukannya. Aku kembali melompat-lompat di atas bangku bambu yang lebarnya lebih dari tinggi badanku. Tepat
di atasnya aku bisa melihat langit bertabur jutaan bintang yang berkedap-kedip
genit. Aku gemas. Awas kau! Akan ku tangkap! Aku melompat lagi seraya menggapai
bintang dengan kedua tanganku. Aku melompat lagi, lebih tinggi.
“Looooompaaaat!”
lengkingku.
“Hop!” mbah
meraih dan mendekapku kembali. “jangan lompat-lompat nduk! Nanti kamu bisa
jatuh!”
“Bintang mbah.
Ais mau bintang.” Rengekku.
“Ais mau
bintang? Ambilnya harus pake roket sayang. Nanti Ais minta roket ke ayah ya! Biar
bisa ambil bintang.”
“Roket itu apa mbah?”
“Roket itu
kendaraan canggih yang bisa buat terbang ke langit untuk ambil bintang.”
“Oooh harrus pake roket ya? Ais tunggu
ayah deh. Ayah kapan pulang sih mbah?”
“Kalau Ais mau
nurut sama mbah, ayah pasti akan cepat pulang. Anak manis, nurut ya sama mbah!
Bobo dulu yuk!”
“Ok mbah.” Aku
pun menyerah dan percaya dengan perkataan mbah. Aku merengkuh dan menyandarkan
kepala pada bahunya. Ia lekas membawaku masuk ke dalam rumah, meninabobokan
aku.
***
Aku setia
menunggumu ayah. Aku ingin terbang bersamamu ke langit. Kita terbang bertiga,
Aku, ayah, dan ibu. Ayah di kanan, ibu di kiri, dan aku di tengah. Bersama
kalian berdua, aku akan memetik bintang-bintang. Aku janji akan menuruti semua
titah mbah, agar ayah segera pulang.
Ayah, aku rindu
saat kita bertiga menyambut indahnya dunia walau hanya dengan mengelilingi
sawah. Ingatkah? Kau mengangkatku, mendudukkanku di atas bahumu. Kau tunjukkan
kepadaku luasnya hamparan padi yang masih hijau. Udara segar menyapu sekujur
tubuhku. Burung-burung berterbangan melengkapi indahnya pemandangan pagi itu. Ayah
tersenyum, ibu pun tersenyum. Sungguh bahagianya aku.
Ayah, tahu kah
kau? Semenjak ayah pergi, ibu sering keluar rumah. Keluar pagi dan pulang
malam. Entah apa yang dilakukannya. Mbah bilang, ibu bekerja. Aku tidak
mengerti kenapa ibu bekerja. Saat ayah bersama kami, ibu hanya menemaniku di
rumah. Masak, bersih-bersih dan mengajakku bermain. Tapi sekarang ibu berubah. Ayah
cepatlah pulang!
Aku rasa ibu
merindukan ayah. Ayah tahu? Setiap malam ibu tidur di sampingku. Dan hampir setiap
malam aku merasakan ada air yang membasahi keningku. Aku curiga, apakah rumah
kami kebocoran? Dengan sedikit malas aku mencoba membuka kedua kelopak mataku
yang terkatup. Sayup-sayup kulihat buliran bening mengalir dari mata ibu. Oh,
ternyata ibu juga bisa menangis? Aku kira hanya aku yang bisa menangis. Yang kutahu,
ibu selalu tersenyum. Aku menebaknya, mungkin ibu merindukan ayah.
***
“Sudah lupakan
dia! Kehidupanmu harus terus berjalan! Pikirkan saja Aisyah anakmu! Masa
depannya masih panjang.” Kulihat mbah mengelus pundak ibu. Apa yang mereka
bicarakan? Siapa yang dilupakan? Aku tidak mengerti. Ibu hanya tersenyum. Tapi,
kulihat senyumnya berbeda. Tidak seperti ketika bersama ayah.
“Ibu berangkat
dulu ya sayang. Ais main sama mbah dulu! Ok!” Ibu mencium keningku kemudian
berlalu meninggalkanku di atas pangkuan mbah.
“Kalau saja ayahmu
gak selingkuh nduk, Ibumu tidak harus susah begini. Astaghfirullah.” gumam
mbah. Aku baru saja mendengar kata yang asing bagiku.
“Mbah, selingkuh
itu apa?” tanyaku.
“Bukan.. bukan
apa-apa nduk.” Mbah gelagapan menjawab pertanyaanku. Ah, aku tidak mengerti.
“Oh, hmm. Mbah,
Ais mau permen.”
“Iya, yuk beli
permen. Ais mau permen apa sayang? Lollipop atau permen karet?”
“Lollipooooooooooop.” Teriakku
kegirangan.
***
Kata mbah,
minggu depan lebaran. Lebaran itu apa? Aku tidak mengerti. Hanya saja
teman-temanku sangat gembira menyambutnya. Ridwan, Icha, Bagus, dan Fatma
begitu bahagia karena dibelikan baju baru oleh ayahnya. Kata mereka, banyak
kue, sirup, dan juga permen di rumahnya. Aku juga mau baju baru, kue, dan
permen. Ayah, kapan kau pulang?
Kata mbah ini
lebaran ke empat bagiku. Apakah akan jadi lebaran pertama tanpa ayah? Terlintas
kembali kata asing itu, “selingkuh,” apa artinya? Seolah mbah tidak suka ayah
selingkuh. Aku tidak mengerti. Apakah selingkuh itu artinya pergi? Bahasa orang
dewasa begitu rumit. Aku tidak mau ayah seperti bang Toyib. Yang katanya tiga
kali puasa tiga kali lebaran tidak kunjung pulang. Sepertinya itu sangat lama.
Kenapa ayah
tidak segera pulang? Aku menebak, mungkin ayah sedang tersesat dan tak tahu
arah jalan pulang. Kalau begitu akan kutitipkan pesan pada bintang-bintang,
“Bintang, tunjukkanlah jalan pulang kepada ayahku! Bawalah dia kesini!
Sampaikan salamku padanya! Salam kangeeeeeeeeeeeen dan sayang dari Aisyah.”
*** THE END
***
Rizky, mahasiswa tingkat akhir. Mungkin tulisannya
pantas dibilang “kacau.” Tapi tak mengapa, setidaknya event2 menulis dapat
membantu memberikan semangat untuk berkarya. :D salam lima jari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar