Ini adalah cerpen salah satu kontributor yang lolos dalam event "RINDU"
Bersama
Lie: Senja di Musim Salju
Oleh
Reza Ibnu Muslim
Untuk kesekian kalinya,
di tempat ini. Tempat yang sama ketika belasan tahun lalu aku masih belia. Aku
tidak pernah berani bermimpi untuk bisa kembali ke tempat ini. Bagaimana
mungkin? Aku saja masih bingung untuk membenarkannya. Sepertinya aku harus
menyubit lenganku untuk meyakinkan kalau ini bukan mimpi. Momen ini persis sama
seperti waktu itu. Hujan. Langit hitam. Tulisan dan harapan. Hanya saja tidak
ada kekecewaan dan kesedihan. Aku begitu benci pada dua penyakit itu, kecewa
dan sedih. Mereka hampir saja memakan separuh usia hidupku untuk hal-hal bodoh.
Ditempat inilah aku
menepi dan berteman baik dengan nuraniku. Hanya untuk berfikir positive, aku
sudah menghabiskan waktu berbulan-bulan ditempat ini. Menyendiri dalam sudut
waktu. Berharap tidak ada seorangpun datang mencampuri urusan hidupku. Sial… Lagi-lagi
aku teringat dengan penjual syal merah itu. Lamat-lamat kupandangi butiran
salju semakin menutupi badan jalan di luar apatemen ini. Suasananya begitu
persis. Seakan memutas kaset lama untuk beberapa hal bahkan semua hal yang
tidak penting.
Musim salju begitu
tepat untuk menyendiri di dalam rumah. Hal semacam ini sudah biasa dilakukan
oleh orang-orang di daerah empat musim ini. Negeri ini begitu aduhai.
Pergantian musim mampu merubah tatanan hidup bahkan pola pergaulan seseorang.
Seperti musim salju begini, kebanyakan lebih suka berinteraksi lewat telpon,
atau via teleconference saja. Hal ini
lebih mudah dan tidak buang waktu banyak untuk keluar rumah. Hal yang
ditakutkan hanyalah badai salju.
***
Wanita dengan syal
merah itu masih tetap saja diam tak bergidik. Mau sampai kapan dia menunggui di
depan rumah? Demi Tuhan, aku sudah tidak
butuh syal merah itu. Aku tahu itu miliknya. Jadi tidak perlu ia bertahan untuk
memperpanjang masalah.
Dua jam berlalu,
perapianku sudah hampir padam. Siap-siap saja sebentar lagi aku bisa menggigil
kedinginan. Terlalu sibuk beberapa hari kebelakang, sehingga aku lupa order
kayu perapian. Kalau sudah puncak suhu yang sampai minus sepuluh derajat celcius ,
tidak ada lagi pengelola kayu yang beroperasi dengan baik. Aku memaksa diri
untuk menarik tirai depan balkon, kulihat wanita itu masih duduk diam dengan
wajah yang masih membisu. Bodoh. Untuk apa dia memaksa diri diluar. Udaranya
sudah ekstrem begini, dia masih saja memohon supaya aku menerimanya.
Arrggh, lelucon macam
apa ini? Keras kepala sekali dia. Dengan terpaksa aku harus keluar rumah.
Merepotkan. Hal-hal sebodoh ini sungguh tidak perlu ia paksakan. Ini sama saja
seperti bunuh diri .
“Hey
gadis bodoh..!!!! Kau ingin tubuhmu beku?”
“Tidak,,,
mmm… Tapi bagaimana dengan syal merah ini?”
Gila. Ini benar-benar
gila. Apa yang sebenarnya dia inginkan? Sudah belasan tahun aku meninggalkan
tempat ini hanya karena tak ingin berjumpa dengannya. Lie Chen Hi, begitu
lengkap namanya. Tapi hari ini begitu sial hingga harus bertatapan lagi
dengannya.
“Buat
apa kau masih menyimpan syal itu? Aku sudah tak butuh!!”
“Tapi…,
i..ii..ni.. Kan milikmu.” Lie terbata-bata.
“Hanya
untuk ini? Berikan padaku. Silahkan kau pergi!”
“Joen…….!!!
Aku tidak memperdulikan
lagi. Berteriak saja semampunya. Aku benar-benar tidak mau lagi berurusan
dengannya. Lie sudah lama aku hapus dari hidupku setelah ribuan kesakitan di hatiku
yang ia ciptakan. Sekarang, malah berani-beraninya ia muncul lagi. Bodoh.
Prakk. Aku mendorong
daun pintu dengan kuat. Aku harap Lie segera enyah dari sini. Pusing aku
melihat tingkahnya. Apa untungnya ia mengejarku sampai sini? Buang-buang waktu
saja!! Gawat! Kayu perapian benar-benar sudah habis. Bagimana ini? Sebentar
lagi bisa-bisa aku mati kedinginan. Perlahan aku mengamati Lie dari jendela.
Dia masih tetap berdiri dengan sweeter tebal coklat yang dia gunakan. Dia masih
nekat di tengah salju yang bisa membuat orang yang tidak terbiasa jatuh pingsan
karena kehabisan energy untuk bertahan.
Bagimana kalau ia
pingsan? Atau ia malah kejang-kejang di luar sana. Apa yang harus aku lakukan.
Arrgghh… Masa bodoh. Aku tidak mau peduli. Itu pilihannya, lagian aku tidak
pernah menyuruhnya menunggu diluar sana. Biar Lie tahu bagaimana rasanya sakit
hati? Seperti apa sakitnya di khianati. Lie harus banyak belajar tentang
kedewasaan berpikir semacam itu. Terlebih betapa bosan untuk menunggu.
Dulu ia membiarkan ku
pergi setelah ia menemukan pria lain yang ia sukai. Aku dibuang seperti barang
bekas. Syal merah itu adalah hadiah ulang tahun dariku untuknya tepat tanggal dua puluh empat April belasan tahun lalu. Ya, hari ini juga adalah hari yang sama. Ini hari
ulang tahun Lie yang aku berusaha melupakannya. Tapi kehadiran Lie membuat aku
mengingat semuanya lagi. Benar, aku tidak pernah melupakan sedikitpun tentang
Lie, namun aku hanya berpura-pura melupakannya untuk menghibur diri.
“Lie..!!
Hentikan hal bodoh ini!!”
“Tidak
Joen, aku masih menunggu maaf dari kamu.” Isak tangis Lie mulai membuat
amarahku mencair.
“Aku salah Joen… Iya, aku benar-benar
menyesal."
“Pulanglah.
Aku akan berusaha memaafkanmu.”
Lie tampak belum
menyerah begitu saja, senja itu ia kembali menarik pergelangan tanganku. Aku
mampu merasakan tangan Lie begitu dingin. Detik ini aku kembali merasakan
sentuhan tangannya. Masih sama seperti beberapa tahun silam saat kami masih
begitu dekat. Lie masih terus saja menggenggam tanganku erat. Aku enggan
memaksa lepas, karena jemari Lie begitu dingin. Ia sudah sangat menggigil.
Udara dingin ini belum
membuat kami beranjak sedikitpun dari tempat ini. Sudah hampir satu jam Lie
memegang tanganku. Kaku. Tanpa sepatah kata apapun. Akau kurang mengerti apa
maksudnya. Yang ku tahu, Lie adalah wanita pertama yang pernah membuat aku
berani menyatakan perasaanku untuknya. Walau kemudian aku sakit hati karena
kejujuranku sendiri.
“Aku
hanya ingin kamu Joen. Hidupku hanyalah kamu.” Lie akhirnya mengeluarkan suara
yang sudah lama bisu.
“Lie…
Aku tidak pernah mencoba melupakan perasaanku padamu”
Senja ini semakin
memudar, salju semakin meningkat jumlahnya. Udara bertambah dingin. Namun aku
dan Lie masih saja berdiri disini. Mungkin hingga menghabiskan senja ini. Senja
terakhir bersama Lie sebagai teman dekatku. Karena mulai besok hingga
seterusnya, kami akan terus melewati senja dalam keadaaan apapun. Bersama. Itu yang
Lie inginkan, hanya bersamaku.
“Lie,,,
Selamat ulang tahun. Kuharap kau bahagia bersamaku”
***
THE END ***
Darussalam, 5 Juli 2014
Hujan, Langit Gelap.
Reza
Ibnu Muslim
Penulis adalah
mahasiswa Pendidikan Kimia FKIP Unsyiah 2011. Juga mengaku ingin menjadi
Penulis hebat. Ia juga alumnus dari sebuah sekolah ternama yaitu SMA N 1
Langsa. Aceh. Menyukai suara hujan, angin dan denting piano.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar