KATA
RINDU
Oleh Muh. Ikrimah
Pagi
itu, ketika mata belum jua menemukan fokusnya, ponselku berdering. Mungkin
alunan musik yang mengalir darinya yang membangunkanku.
“Yoyo,
aku rindu.” Ucapmu.
Kata
itu, perlahan menjadi kata yang minim makna. Setiap pagi kamu mengucapkannya
melalui ponsel. Ketika pagi pertama kamu di Palopo, kata itu begitu meresap
dalam kalbu. Maknanya terasa begitu nyata. Dapat kurasakan rindumu mengalir
melalui kata rindu. Bukan sekedar kata yang mewakili pikiran, tetapi sebuah rasa yang
menyusup, mengisi seluruh jiwa. Kurasakan rindu itu turut membuncah mendengar
kata rindumu.
Setahun
lebih empat bulan, atau tepatnya enam belas bulan, di tiap pagi, kamu mendendangkan
kata yang perlahan mulai menjemuhkan. Berulang dan terus berulang. Kata itu
seakan hanya formalitas mengawali hari.
Andai
kamu tahu, gairah yang pernah bergelora selama bersamamu, kini hambar sudah. Aku
lupa bagaimana senyum selalu tersungging di bibirku setiap melihatmu. Mungkin
memang aku pelupa. Tetapi
ini bukan soal ingatan. Ini soal rasa yang memudar. Rasa yang bergejolak tiap
dekat denganmu.
Mungkin
kamu tahu dengan rasaku saat ini. Bulan lalu kamu sempat menanyakan, “apakah
kamu sudah tidak cinta padaku?”
Kamu
tanyakan itu karena merasa aku sangat dingin padamu. Mungkin itu benar. Tetapi entahlah. Di sisi
lain, aku masih saja rindu pada sikap manjamu. Dulu tentunya. Karena manjamu
melalui ponsel, tak menyentuh hingga relung hatiku.
Aku
rindu ketika kita makan bersama di warung pinggir jalan di Botolempangan.
Menikmati nasi kuning yang dicampur sate. Agak aneh memang. Namun perpaduan
rasanya membuatku ketagihan. Setelah puas menyantap makanan murah meriah itu,
kamu memintaku membayar.
“Aku
tidak bawa uang,” jawabku.
“Serius?” tanyamu. Dahimu
mengernyit. Menatapku penuh cemas.
“Aku
serius,” jawabku mempertegas.
Kemudian
kamu menelepon ayahmu. Sekitar dua puluh menit, Ayahmu
datang. Mukamu kembali berseri. Isyarat cemas lenyap tak tersisa dari wajah
ayumu.
“Jadi
laki-laki, harus bermodal.”
Kata Ayahmu ketika hendak
pergi membawa serta dirimu. Senyum di wajahnya seolah mengejekku.
Aku
selalu tersenyum ketika mengingat hal itu.
***
Malam
itu, dia tampak begitu anggun. Berbalut gaun hijau gelap yang indah. Dari warna
yang sering mengisi pernak-perniknya, sangat nampak karakternya yang mapan.
Dewasa. Dia selalu ramah dan santun. Sangat jarang berkisah tentang masalah
pribadinya. Berbeda denganmu yang lebih senang dengan warna pink. Warna yang
manja. Begitu polos.
Di
acara resepsi pernikahan temanku, dia melempar senyum yang begitu mempesona. Sempat terbersit
dalam benak untuk lebih dekat dengannya. Namun kata rindu yang selalu kamu
sampaikan melalui telepon, senantiasa menjagaku. Menjaga agar akupun menjaga
kesetiaan padamu. Meski kata rindu itu terasa hambar, namun efektif menjaga pikiranku.
Sejak
malam itu, kami selalu bersama. Namun tak ada yang istimewa. Kami hanya
berteman. Walau terkadang, rasa kagum padanya merontah untuk memilikinya.
“Besok
kamu ikut ke panti asuhan yah.”
Pintanya padaku suatu
ketika.
Dia
bersama teman-teman komunitasnya mengajakku turut serta dalam acara syukuran
hari lahirnya. Dia sangat berjiwa sosial. Baginya, berbagi kebahagiaan jauh
lebih nikmat dari pada menikmati kebahagiaan seorang diri. Dia selalu mengajak
orang-orang di sekitarnya untuk lebih peduli pada orang-orang yang kurang
merasakan kehangatan.
Esoknya,
aku turut bersamanya ke panti asuhan. Tak ada tiup-tiup lilin, ataupun telur
busuk. Syukuran itu berlangsung hikmat. Duduk melantai membentuk lingkaran.
Cukup dengan doa bersama, dan sepata katanya yang memotivasi para anak yatim
piatu itu. Mereka begitu antusias setiap Yolanda datang. Tidak banyak yang
dibawa olehnya, hanya kue untuk dimakan bersama. Kebersamaan itu jauh lebih
bermakna dari uang atau pakaian bekas. Melalui kebersamaan itu, mereka merasakan
kehangatan keluarga yang terampas sejak mereka kecil.
Aku
selalu kagum pada pola pikirnya. Hidupnya tak pernah sepi. Selalu ada orang di
sekitarnya yang merasa terbantu. Orang-orang begitu senang mengerumuninya. Dia
tidak menghamburkan uang banyak. Namun uang yang dia keluarkan selalu efektif.
***
Telah
seminggu kamu tidak menelepon. Aku mulai cemas. Entah kamu sakit atau apa.
Beberapa kali kucoba menghubungi nomor ponselmu, namun tidak pernah aktif. Hari
berganti hari, kata rindu yang selalu kamu ucapkan tak lagi terdengar.
Perlahan, rindu mendengar kata rindu darimu kian membumbung.
Pagi
itu, Yolanda kembali mengajakku jalan-jalan. Kali ini hanya berdua. Resah yang
menyelimuti pikiranku mendesak untuk melepas penat sejenak. Mencari hiburan
atau rutinitas untuk terlepas dari beban pikiran. Kuterima ajakannya. Kami
berdua berangkat ke sebuah pantai menggunakan mobil pribadinya. Menikmati pasir
coklat yang melumuri kaki telanjang kami. Desir ombak membelai.
Menjelang
siang, kami meninggalkan pantai itu. Lalu berangkat ke sebuah taman. Di taman
itu, dia hamparkan tikar yang tadi disimpannya di dalam mobil. Dia pajang
puluhan buku di atasnya.
“Aku
melaksanakan ini sekali sebulan.”
Ujarnya.
Anak-anak
jalanan senang dengan kedatangan Yolanda. Karena duduk mengitari lapak buku
itu, berarti menikmati kopi gratis. Yolanda menyediakan termos yang berisi kopi
untuk dinikmati bersama dengan anak jalanan. Anak-anak yang terlantar, entah
mereka punya orang tua atau tidak, yang pasti mereka butuh kehangatan lebih.
Mereka
semua tersenyum. Membaca dan bercengkerama serta terutama, menikmati seduhan
kopi buatan Yolanda.
“Mereka
semua tahu membaca, berarti mereka pernah sekolah dong?” Tanyaku pada Yolanda.
“Sebagian,
mungkin sebagian kecil. Selebihnya, aku yang mengajari.” Jawabnya. Senyum yang
selalu terhias di wajahnya, kian mempercantik mahasiswi itu.
“Apa
ada yang mendanai kegiatanmu ini?” Tanyaku
lagi.
Ditatapnya
dalam-dalam mataku. Aku bingung apa yang hendak dia sampaikan melalui tatapan
itu.
“Masa’
sekedar menyediakan kopi mesti tunggu dana dari instansi. Dana pribadi dong.”
Dia sungguh gadis yang mempesona.
Bukan hanya paras dan penampilannya, melainkan juga sikap welas asihnya.
Kelembutan perasaan, dia tuangkan dalam tindakan nyata. Membatu orang-orang di
sekitarnya. Walau mungkin bantuan itu tidak seberapa. Sekedar meluangkan waktu.
Tapi sangat berarti bagi yang dibantu.
Hingga
langit perlahan menghitam. Matahari bertugas menyinari sisi lain bumi ini.
Bulan terlihat penuh. Lampu taman tak cukup terang untuk membantu mata
menangkap tulisan-tulisan yang memenuhi buku. Kami pun menutup lapak baca
gratis itu.
Kami
singgah makan di warung makan pinggir jalan yang mengambil separuh trotoar.
Tempat yang sangat familiar bagiku.
Kami memesan dua nasi kuning ditambah sate. Meski tergolong orang mampu,
Yolanda lebih senang makan di tempat sederhana. Mungkin dia berpikir, bahwa
uang yang dia miliki, jauh lebih bermanfaat jika digunakan untuk kegiatan
sosial.
Pemilik
warung makan itu mengernyitkan dahi ketika melihat perempuan yang kubawa. Dia
kemudian tersenyum. Akupun membalas senyumnya. Mungkin dia merasa aneh. Aku yang
selalu bersamamu ketika makan di tempat ini, kini justru bersama perempuan
lain.
“Yoyo,
menurutmu, apakah kebetulan nama kita punya kesamaan? Aku sering dipanggil Yo,
kamu pun begitu.” Sebuah tanya darinya yang membuatku kebingungan menerka,
entah kemana ujung pembicaraan ini akan bermuara.
“Maksudmu?”
Tanyaku.
“Yo,
aku begitu damai bersamamu. Maukah kamu menjadi pacarku?” Dia mengungkapkan
perasaannya. Sungguh ini sangat sulit. Kualihkan pandanganku. Menatap
sekeliling. Di samping kiriku, tepat kamu duduk dulu. Ketika kita lupa membawa
uang.
Apakah
kamu mengalami hal serupa denganku seminggu ini? Sehingga tak terdengar lagi
kata rindu yang begitu merdu mengalir dari lidahmu. Mungkinkah di sana, di Kota
Palopo, ada seorang pria yang memberimu kehangatan? Tidak sedingin diriku
ketika berbicara di telepon.
Kembali
resah itu pecah. Bahkan lebih menjadi. Aku begitu takut kehilanganmu.
“Maaf,
aku sudah punya pacar. Namanya Rini.”
Jawabku dengan datar.
“Oh,
aku yang harusnya minta maaf. Aku tidak tahu.”
***
Keesokan
harinya, aku putuskan untuk ke Palopo. Jarak yang memisahkan, sangat nyata
merenggangkan hubungan kita. Saatnya jarak ini dipangkas. Hati yang sempat
terlepas, perlu penyatuan kembali. Tunggu aku di kotamu.
Makassar, 25 Mei 2014
Muh.
Ikrimah. Lahir di Kota Makassar pada 24 April 1986. Pemilik warung makan Nasi
Kuning Golkar di Jalan Botolempangan. Bisa dihubungi melalui akun FB Ikri Green
Black, akun Twitter @ikri_greenblack dan Email ikri.green@gmail.com.
No ponsel 082193552633.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar