PERMATA YANG HILANG
Oleh Fathna Sa’adati Choliliyah
Malam ini terang bulan menghiasi langit malam, menemani jutaan
bintang yang berpendar. Angin sedikit-sedikit masuk menerobos dinding bambu
rumahku. Sebuah lampu bohlam lima watt menerangi ruang sempit ini. Kuintip adikku dari balik tirai
abu–abu kusam itu. Wajahnya putih pucat, tapi keceriaan tersembul di wajahnya.
Malam ini dia masih asyik mencoret pensil dan beberapa crayonnya ke atas buku
gambar bersampul merah muda yang kubelikan kemarin usai bekerja. Aku merasa larut dalam suasana malam ini,
tenang, damai.
“Mas,
adik pengen ketemu sama Ibu.”
“Dek, Ibu belum boleh pulang sama majikannya, tenang saja, pasti
Ibu pulang,” setelah itu, aku meninggalkan adikku. Benar-benar tak tega. Kembali aku sadar dari lamunanku. Aku
putuskan untuk tidur.
Adzan subuh mengisi lorong-lorong
desaku. Aku segera bangun, kuambil air wudlu, segera menuju
masjid, menunaikan perintah Tuhanku. Dalam ibadahku aku meminta padanya agar
aku bisa menghadapi hidup ini dengan tabah.
Pagi ini aku memasak sayur kangkung dengan
semangat, demi adikku yang aku cintai. Aku sedikit kewalahan menghadapi
persoalan perempuan ini, kadang aku mengeluh, andaikan saja ada Ibu, pasti aku
bisa berangkat lebih awal, karena tak harus memasak dulu.
“Makan yang banyak ya Emi, biar cepet gede, biar pinter.”
“Iya Mas Sidiq, Emi mau makan yang banyak, biar cepet gede, cepet
pinter, terus bisa nyusul Ibu ke Malaysia,” aku tercengang
mendengar jawaban polos adik manisku itu.
“Iya…” Kataku dengan senyum seadanya. “Ayo, kakak antar sekolah.”
Kubonceng Emi dengan sepeda ontel tuaku. Ia
berpegangan erat pada pinggangku. Kuturunkan
Emi, dia menyalamiku, mencium tanganku, dan berlari kecil menuju gerbang
sekolahnya. Seketika itu juga kulihat seorang teman Emi, sedang mencium tangan
Ayahnya. Tiba-tiba pikiranku kembali ke masa sepuluh tahun lalu, ketika aku sekolah di sini. Aku melakukan hal yang sama seperti Emi sekarang. Semua itu tak berlaku sekarang, melihat wajah ayah saja
aku tak sudi, apalagi harus mencium
tangannya. Hal ini semenjak dia menyakiti Ibu dan meringkuk
di jeruji besi. Aku harus kembali mengayuh sepeda ontelku, menuju penggalian
pasir di lereng
Merapi, tempatku mengais nafkah.
“Brak!!!” Bekas kaleng susu itu meluncur ke kakiku.
“Kalau mau dapat uang kerja yang rajin! Masa jam segini baru
datang! Kemana saja kau!” Bentak Pak Giman, majikanku.
“Maaf Pak, saya tadi harus mengantarn adik ke sekolah,”
belaku.
“Selalu itu alasanmu! Cepat sekarang mulai kerja!“
Kuambil
peralatan-peralatanku, kemudian memindahkan butiran-butiran pasir ini ke bak
truk. Jika hidup ini boleh memilih, aku tak mau menjadi kuli pasir. Aku
tak mau hidup miskin, tak mau hidup sengsara. Aku mau hidup kaya, aku
mau melanjutkan sekolah. Aku mau menjadi musisi. Hidup ini hanya kepingan yang
terasing di lautan, tak menentu, tak bisa kita tebak, kadang kepingan itu bisa
menghantam karang yang begitu kokoh.
Aku pulang, Emi sudah di rumah sedang mengerjakan PR. Seusai solat maghrib dan
mengaji, kucoba kembali menengok Emi di kamarnya, ternyata ia sedang menulis.
“Lagi nulis apa?”
“Surat,” jawabnya tanpa menoleh padaku. Aku semakin penasaran.
“Surat, buat siapa?“
“Siapa lagi kalau bukan buat Ibu. Oh iya, Emi titip besok surat ini
dikasih kantor pos ya Mas?” mintanya sambil merengek.
Seminggu sebelum dia menulis surat, Emi pernah berkata, dia akan
menulis surat untuk Ibu, karena sekarang tulisannya sudah bisa dibaca. Aku
kaget dengan keinginannya itu, dan aku memberikan alamat asal-asalan yang sebenarnya aku tak tahu adakah alamat itu di Malaysia. Tapi
dia begitu mempercayaiku. Rasanya aku sangat berdosa karena aku telah berbohong pada orang
yang sangat aku cintai.
“Aku mau tidur Mas, ngantuk,” kuantar dia ke kasurnya, kuselimutkan selimut kusam ke tubuhnya. Tak
lupa mengingatkannya untuk membaca doa yang sudah dia dapat ketika mengaji di
Mushola. Kutatap wajahnya yang tak berdosa, tapi telah aku dustai.
Minggu sore. Desaku ini begitu indah. Kabut sore, matahari
tenggelam, burung-burung berkicau, udara sejuk, pohon-pohon hijau yang
menghiasi jalan tak beraspal, tak bisa kudapat selain di desaku tercinta ini.
Desaku, dimana aku dilahirkan. Desaku, sebuah desa permai di lereng Gunung
Merapi. Tapi Emi, dia batuk hebat. Aku khawatir.
Aku tanya, dia merasa sakit di dadanya. Sampai malam pun dia masih batuk. Aku
khawatir. Esoknya aku membawa Emi ke Puskesmas. Kupapah dia ke
ruang periksa, kusuruh Emi mengeluhkan rasanya ke Bu Dokter berkaca mata itu. Emi
berbicara tertatih-tatih, maklum baru kali petama ia ke dokter. Dokter menyarankan
supaya Emi di rontgen, karena prediksi dokter Emi menderita TBC. Semua kulakukan untuk
kesehatan Emi, tapi aku tak punya banyak uang. Akhirnya aku hutang ke sana ke mari.
Batuk Emi kian menghebat, malah sekarang dia merasa sakit di
kepalanya. Aku bawa lagi dia ke Puskesmas. Dari hasil rontgen kemarin, ternyata
dugaan dokter benar. Emi menderita TBC, segera kubawa Emi ke rumah sakit. Emi menangis.
“Mas, maafin Emi, gara-gara Emi Mas jadi repot. Emi juga kangen sama Ibu,” katanya sambil meneteskan air mata.
“Enggak, Emi ndak merepotkan Mas.”
“Emi kangen sama Ibu.”
Aku tak tahan. “Mungkin tiga bulan lagi Ibu
pulang. Makannya Emi cepet sembuh ya.”
“Yang bener Mas? Wah ndak sabar nunggu Ibu. Iya deh Emi mau cepet
sembuh.”
Aku tak kuat, rasanya ingin menangis. Kuputuskan untuk keluar dari
ruangan serba putih itu. Ketika
aku hendak berjalan, Emi menarik tanganku.
“Emi mau tidur. Doakan Emi bermimpi ketemu Ibu.”
“Amin. Sudah ya, Assalamualaikum.” Aku keluar
kamar, melewati koridor-koridor ini dengan sedikit berlari. Aku meninggalkan
Emi yang sedang sakit untuk menghindari tatapan matanya. Karena aku merasa
begitu berdosa padanya. Beberapa menit kemudian aku kembali ke kamarnya.
Perasaanku tak enak. Aku segera berlari. Dia merintih.
Malam itu dingin menusuk tulangku. Mengikat segala sendi dan
ototku. Langit menggelegar, hujan turun deras sekali. Air mataku sudah tak bisa
lagi kutahan. Aku kehilangan untuk kedua kalinya, Emi.
Pagi itu sepertinya matahari tak secerah biasanya. Seolah langit
ikut sedih, petang. Aku taburkan bunga mawar merah ke atas pusarannya.
Orang-orang pulang, tinggal aku sendiri di pemakaman ini. Aku hancur. Aku tak tahu
harus bagaimana lagi. Aku tak punya siapa-siapa.
Kembali ke aktivitasku perlahan mulai sedikit mengurangi
kesedihan. Bersyukur aku masih punya
tempat untuk menopang hidup. Kesendirian menyiksaku, tapi aku coba
lupakan. Malam ini aku mendengarkan radio tuaku. Radio ini kudapat dari Ayah ketika
aku masih kelas empat SD ketika
mendapat peringkat pertama. Aku mencoba
memutar-mutar tuning untuk mencari saluran yang jelas.
”Mas…. “
Seseorang berteriak memanggilku. Kucoba membalikkan badan. Di
padang rumput yang luas aku melihat seorang gadis cilik memanggilku. Sepertinya
aku pernah melihatnya. Tapi tak tahu kenapa aku tak mendekatinya. Selang beberapa detik dia mendekatiku. Wajahnya putih bersih,
memakai pakaian putih yang menjuntai-juntai.
“Mas, bagaimana kabarnya? Kalau Emi baik-baik saja.”
Aku tak bisa menjawab. Entah. Mulutku seperti terkunci. Dia
melanjutkan kata-katanya.
“Mas, Emi sudah bertemu Ibu. Emi senang
sekali akhirnya bisa bertemu Ibu. Emi tahu kalau Mas Sidiq berbohong pada Emi
kalau Ibu bekerja di Malaysia. Sebenarnya Emi agak kecewa. Tapi aku tahu, Mas
berbohong karena tak ingin Emi sedih. Makasih Mas, selama ini sudah merawat dan
membesarkan Emi. Baik-baik Mas. Jaga diri ya.”
Aku tersentak bangun. Keringat mengucur deras di tubuhku. Aku baru
sadar kalau ternyata aku bermimpi bertemu Emi. Aku sangat merasa bersalah
karena belum minta maaf padanya. Aku menyesal dulu telah berbohong pada Emi.
***
Siang yang panas ini aku mencoba menjenguk Ayah untuk kali pertama.
Aku gugup. Dengan dijaga dua orang polisi, aku duduk berhadap-hadapan dengan
Ayah. Aku enggan memulai pembicaraan. Dan akhirnya, beliaulah yang berkata
dulu.
“Diq, Ayah mau minta maaf telah membunuh Ibumu. Ayah memang sangat
berdosa. Kamu tak pantas mempunyai Ayah seperti ini.” Air matanya turun, tak terasa aku juga ikut menangis.
“Sudah Yah, semua telah berlalu. Ibu juga sudah tenang di sana.”
“Bagaimana kabar Emi?”
“Emi sudah meninggal, terkena TBC.”
“Innalilahi wa inna ilaihi rojiun. Ayah belum sempat melihatnya
berjalan. Andai saja dulu aku tak membunuh Ibu, aku
tak mungkin di sini, dan aku bisa melewati hari dengan kalian.”
Semakin deras Ayah menangis. Tak tahu kenapa, aku memeluknya,
mengelus punggungnya yang semakin membungkuk, air mata pun menetes juga dari mataku.
***
Dua
tahun kemudian…
Intro gitar dari Ipo mengawali lagu kami ketika konser di sebuah
kafe terkenal di Jakarta. Gerimis tak menyurutkan semangat fans kami untuk
berteriak-teriak menyebut nama band kami.
Aku pukulkan stick drum ini dengan semangat. Karena seringnya aku
memukulkan stick drum ini, lenganku menjadi kekar seperti kuli pasar.
Aku bersyukur akhirnya cita-citaku tercapai, mimpiku dapat kuraih meski harus menjadi
pengamen dulu di ibu kota yang kejam ini. Seusai konser, kami pulang
ke rumah kami masing-masing. Aku bercermin, sel-sel otakku mengajakku untuk
mengingat masa lalu, orang-orang yang berarti dalam hidupku, Ibu, Ayah, dan Emi, aku merasa rindu pada mereka. Mereka adalah permataku yang
hilang, tapi tak hilang dalam hatiku, aku masih mencoba menggenggamnya, berharap
mereka sama sepertiku.
Satu ide baru terbesit, nuraniku berkata, aku tak ingin menikah
seumur hidup, sebab aku tak ingin ada orang yang tersakiti karenaku. Tak ingin
ada permata yang akan hilang lagi. Ya, aku mantapkan keputusan ini. Aku rela
tak bahagia agar orang lain tak menjadi tak bahagia karena aku.
***
Takbir dikumandangkan di seluruh masjid di dunia ini, ketupat dan
petasan menyemarakkan suasana hari yang indah ini. Hari raya idul fitri, hari
semua umat muslim di dunia. Aku taburkan bunga mawar yang telah kubeli ke atas
pusaran Ayah, Ibu, dan Emi. Makam mereka berjejeran, mungkin di sebelahnya lagi
aku akan berdiam selamanya. Dan, sudah 40 tahun aku menjalani hidup, sendiri.
Ini adalah janji pada Tuhan dan pada diriku sendiri. Ku tinggalkan pemakaman.
Aku berdiri tegak, menantang setiap arus yang kan coba melawanku, mencoba
menjalani sisa hidup yang digerogoti kanker ini.
***
Fathna Sa’adati Choliliyah, biasa dipanggil
Fathna atau Nana, seorang mahasiswa Sastra Arab Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Gadis yang terlahir tahun 1995 ini sangat mencintai dunia sastra. Penulis bisa dihubungi melalu
email fathna8757@gmail.com, melalui nomor HP 085878988757 atau facebook
dengan alamat https://www.facebook.com/fathna.saadati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar