Cerpen terbaik II dalam event bertema "RINDU"
(Penerbit Mafaza Media)
Sepotong Rindu, Seorang Lelaki Pada
Sang Guru
Oleh: Hijrah BillaLogica
“Gelora rindu mampu
merobek segala macam tutup dan membuka semua rahasia.”
_Imam Al-Ghazali_
***
Perasaanku saat ini seperti cuaca di
luar sana. Mendung. Awan tebal berisi milyaran titik-titik hujan disertai angin
yang bertiup deras dan kilat yang bergerigi seakan mencambuk langit. Dan tanpa
sadar air mataku pun berlinang. Setelah kubaca sms yang kuterima pagi ini dari
adikku yang berada di kampung. Disana tertulis,
“Assalamualaikum, Bang Salman.
Inalilahi wainailaihi rojiun. Bang, ustaz Hamdi telah berpulang tadi malam
pukul 21.45 wib. Namun kami sungguh tidak mengira sama sekali beberapa saat
sebelum ustaz Hamdi menghembuskan napas terakhirnya beliau sempat bertanya
tentang kabarmu bahkan berkata bahwa beliau sangat rindu padamu. Kami sangat
berharap Bang Salman bisa pulang walau hanya sehari saja. Wassalam.”
Aku semakin tak bisa membendung
kesedihanku dan rasa menyesal karena tidak sempat sekalipun mengunjungi ustaz
Hamdi yang sedang sakit. Rinduku tiba-tiba saja membuncah pada lelaki tua yang
amat berjasa dalam perjalanan ibadahku itu. Ustaz Hamdi, yang selalu sabar
mengenalkanku pada huruf-huruf hijaiyah, mengajariku cara membaca Qur’an sampai
fasih, membimbingku salat dengan cara yang baik dan benar, dan menjadi tempatku
mencurahkan segenap perasaan ketika hatiku sedang dirundung resah. Apalagi
ustaz Hamdi adalah lelaki soleh yang tidak pernah sekalipun membuat masalah di
kampungku tersebab kebaikannya yang membuat orang-orang selalu ramah dan sangat
menghargainya.
Aku tahu bahwa ustaz Hamdi memang
sangat menyayangiku. Ia bahkan sangat tahu apa-apa saja keinginan, harapan, dan
segala rahasiaku dimasa lalu hingga akhirnya aku memutuskan merantau dan belum
pernah pulang setelah itu. Sungguh apa yang telah dilakukan ustaz Hamdi
kepadaku tak akan pernah bisa terbalas dengan apapun yang dapat kuberikan
kepadanya. Namun saat ini dan seterusnya, dengan rasa menyesal, aku hanya dapat mempersembahkan doa kepadanya,
semoga Tuhan menempatkannya di sisi paling indah bersama orang-orang soleh
lainnya.
Kemudian kutatap langit mendung
sesaat lalu kepejamkan kedua mataku, membiarkan angin menghembus memenuhi
rongga dadaku dan titik-titik air hujan yang masuk melalui jendela membasahi
wajahku. Aku sedang merasakan sesuatu yang bergetar dalam dadaku sampai
tiba-tiba saja segalanya berpusar dengan cepat menembus kegelapan hingga
akhirnya saat kubuka mata, aku telah berada pada sepotong cerita di masa lalu.
Bersama ustaz Hamdi.
Malam itu gelap seperti malam-malam
sebelumnya di kampungku. Penerangan hanya berupa lampu-lampu minyak yang
terbuat dari kaleng-kaleng minuman ringan ataupun botol kaca seperti obor yang
diletakkan di tiap-tiap halaman rumah ataupun mesjid. PLN belum masuk ke
kampungku saat itu. Hanya ada satu mesin kecil yang diletakkan di balai desa.
Itupun hanya digunakan pada saat acara tertentu di balai desa dan di mesjid.
Selebihnya kami selalu melewati malam bersama terang lampu minyak atau rembulan
dan bintang-bintang saat tampak di langit.
Ketika itu aku sedang duduk
sendirian di tangga mesjid. Merenung di sisi kanan obor yang menyala terang. Teman-temanku sudah
pulang lebih dulu seusai belajar mengaji. Aku masih belum ingin pulang ke rumah
meski sudah sepi tidak ada siapa-siapa
lagi di sana kecuali ustaz Hamdi yang masih sibuk berberes menutup pintu dan
jendela mesjid. Aku sedang dilanda perasaan takut dan bersalah kala itu. Namun
lamunanku buyar ketika sebuah suara yang ramah menegurku. Aku tahu suara itu.
Suara ustaz Hamdi. Rupanya beliau pun juga sudah selesai berberes dan hendak
pulang.
“Loh, belum pulang, Le?” Tanya ustaz
Hamdi berdiri di dekatku. Caranya memanggil murid-murid mengajinya adalah salah
satu hal yang tidak pernah bisa kulupakan. Beliau memanggil semua murid
laki-lakinya dengan sebutan “Tole” sementara murid-murid perempuannya dengan
sebutan “Nduk”. Sungguh unik. Karena ustaz Hamdi adalah seorang lelaki berdarah
Jawa tulen. Lahir dan besar di sana hingga akhirnya ia terpilih menjadi
transmigran yang dikirim ke kampung melayu kami puluhan tahun yang lalu sebelum
kami ada.
Aku terdiam tak langsung menjawab.
Menunduk seraya berpikir sampai ustaz Hamdi mengulang pertanyaannya.
“Ehem! Belum pulang, Le?”
“Hmmm…. Belum, Ustaz,” jawabku
singkat dan serak seraya tetap menunduk.
“Loh, kenapa belum pulang? Sudah
malam ini,” katanya dengan aksen Jawa yang kental sekali. “Ibu sama bapakmu
cemas nanti.”
“Justru itu, Ustaz. Saya tidak
berani pulang. Saya takut.”
Ustaz Hamdi lantas duduk di
sebelahku. Menghela napas, ia menyuruhku menatapnya lalu ia tersenyum padaku.
Senyumnya yang mendamaikan hati adalah satu hal lain yang juga selalu tertanam
dalam ingatanku. Gundahku perlahan hilang ketika ia bertanya sambil memegang
bahuku yang kurus.
“Ada apa toh, Le? Kok kamu sampai
tidak berani pulang. Ada masalah sama ibu dan bapakmu ya?”
Aku hanya mengangguk dan memalingkan
wajah darinya.
“Masalah apa? Sini, cerita sama Ustaz.
Barangkali nanti bisa bantu sedikit, Insha Allah.”
Sebenarnya aku masih takut dan tidak
enak hati menceritakan masalah yang sedang kuhadapi kepada siapapun. Namun,
ustaz Hamdi selalu saja berhasil merobohkan pertahanan hatiku yang kaku. Ia
sangat mengerti bagaimana caranya meluluhkan hati seseorang walau hanya lewat
segaris senyumannya yang ramah.
“Begini, Ustaz,” kataku mulai berani
cerita dengan mimik sedih. “Sebenarnya ibu sama bapak saya tidak tahu masalah
ini, bahkan mereka tidak menuduh saya. Tapi kok saya jadi merasa bersalah dan
sangat berdosa setelah mendengar ceramah Ustaz tadi di dalam mesjid.”
Ustaz Hamdi mengangguk-angguk
mendengarkan ceritaku dengan seksama sembari tersenyum. Seakan dia sedang
menganalisis permasalahanku. Maka kulanjutkan kejujuran ceritaku padanya.
“Tadi pagi, tanpa bilang sama ibu,
saya mengambil uang ibu di bawah kasur, Ustaz. Uangnya dipakai untuk iuran di
sekolah. Waktu saya pulang, ibu kebingungan dan sedih setelah tahu uangnya
hilang. Padahal uang itu sangat perlu buat beli kebutuhan makan. Makanya saya
jadi bingung dan takut, Ustaz.”
Baru saja aku menyelesaikan ceritaku
padanya, ia langsung berkata, “Masha Allah, Salman. Jadi kamu mencuri uang
ibumu?”
Dengan gemetar dan jantung berdegup
kencang aku mengangguk lambat.
“Tapi saya tidak bermaksud begitu,
Ustaz. Itu saya lakukan karena terpaksa.”
Ustaz Hamdi mendecak dan menghela
napas seraya membalas, “Yang namanya mengambil barang milik orang lain tanpa
permisi itu disebut dengan mencuri, Salman. Tidak ada pengecualian. Apalagi itu
uang ibumu sendiri yang sebenarnya sangat diperlukan untuk kebutuhan makan
keluargamu. Itu sangat berdosa. Allah sangat tidak menyukai orang-orang yang
panjang tangan atau suka mengambil barang milik orang lain. Kita dilarang
memanfaatkan kesempatan terpaksa untuk berbuat keburukan. Allah itu Maha
Melihat apa-apa saja yang dilakukan oleh segala makhluk ciptaanNya. Apalagi
kamu ini anak soleh, tidak boleh begitu, Le.”
Aku terdiam mendengarkan nasehat
ustaz Hamdi. Yang membuatku ingin menangis sekeras-kerasnya karena semakin
merasa bersalah dan berdosa. Namun, bukan ustaz Hamdi namanya jika tak bisa
membuat jiwa seseorang kuat kembali. Tutur katanya yang lembut membuat malamku
menjadi lebih damai.
“Yo wis, biar Ustaz antar kamu
pulang sekarang, tidak usah sedih lagi. Biar nanti Ustaz yang jelaskan sama
orang tuamu dan mengganti uang yang sudah kamu ambil.”
“Tapi, Ustaz?”
“Sudah, tidak usah dipikirkan.
Tenang saja, Ustaz tidak bakal cerita kepada teman-temanmu dan siapapun kok.
Semuanya biar Allah saja yang tahu. Tapi ingat, Le. Jangan sekali-kali kamu
mengulanginya lagi, Itu berdosa dan Allah sangat membencinya. Paham?”
Aku mengangguk. Dadaku semakin
terasa longgar. Napasku mulai ringan dan kepalaku tidak terasa berat lagi.
Perasaanku lebih tenang sekarang. Dalam cahaya obor yang menyala terang aku melihat senyum ustaz Hamdi yang begitu
tulus dan hangat.
Ustaz Hamdi kemudian berdiri dan
mengulurkan tangannya padaku. Kuraih tangannya dan ia segera saja mengajakku
pulang. Dalam perjalanan menembus kegelapan bersama cahaya dari api obor yang
menari-nari ditangan kanan ustaz Hamdi kupeluk beliau erat-erat seraya berkata,
“terima kasih ya Ustaz. Allah pasti selalu sayang sama Ustaz.”
Tiba-tiba segalanya berpusar
kembali, seperti dalam ombak tinta hitam pekat, aku kecil dan ustaz Hamdi serta
semuanya lenyap dalam gelap. Aku berputar dan merasa agak pusing. Kemudian kutarik napasku perlahan, ketika kubuka mata ternyata
aku telah kembali ke masa sekarang. Sedang berdiri di tepi jendela yang semakin
basah karena hujan yang menderas. Dan wajahku hangat oleh air mata yang
berlinang. Ah, ustaz Hamdi. Aku sangat rindu memelukmu.
Selagi bayangan peristiwa masa kecil
bersama ustaz Hamdi itu masih membekas di pelupuk mataku, kupandang sekilas
langit mendung yang tampak berat dan kelam. Kemudian aku berbalik seraya
mengusap air mataku, memutuskan masuk ke dalam kamar dan mulai mengeluarkan
pakaian dari dalam lemari. Lalu mulai menyusunnya ke dalam koper yang sudah kubentangkan
di atas tempat tidur.
***
Lirik,
02 Juli 2014
:
ter-untuk guru mengajiku dulu. semoga Allah membangunkan sebuah istana
kemuliaan di Surga sana.
Biodata
Hijrah
BillaLogica adalah nama pena dari Rocky Billal. Lahir di Lirik, 14 Agustus 1990.
Hobi Menulis,
Membaca buku sastra dan novel epik fantasi.
Tinggal
di Jalan Iskandar Ismail RT 008 RW 002 Desa Rejosari Kecamatan Lirik Kabupaten
Indragiri Hulu Provinsi Riau. bisa
dihubungi via email di logicabillal@yahoo.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar