Cerpen terbaik III dalam event yang bertema "RINDU"
(Penerbit Mafaza Media)
TUAN
By
Jose Rizal
Tak pelak diri ini hanya bisa berharap dihempaskan
pada masamnya pembuangan, atau sebaiknya terjamahi lagi. Gegap gempita pada
seputaran tak mampu lagi menggubah keputus-asaan. Dia. Pada tiap malamnya
selalu berdendang padaku, mencurahkan semua kisah suka maupun duka. Memberikan
noktah pada tiap kata terakhir. Menggengam erat, bahkan memeluk sesaat sebelum
beranjak. Dulu, sekarang tidak lagi.
Berjajar penuh di hadapanku buku-buku tebal. Tertata
rapi. Sebagian kosong karena telah terbaca dan belum sempat dikembalikan.
Mungkin besok sudah tertanam lagi dalam deretan itu. Deretan yang lugas seolah
sombong berdiri tegak berhimpit antara satu dengan yang lain. Mereka mencoba
bersolek sebagus mungkin, agar tercerabut dari himpitan dan kemudian dijamahi
sekian jam. Satu hal yang tak disukai
mereka; abu rokok yang tanpa sengaja terjatuh tepat pada tubuhnya. Meskipun
buku itu berisi tentang akibat buruk yang disebabkan rokok. Dia tetap
membacanya dengan segenap kepulan asap yang tak pernah berhenti.
“Tuan.
Keberadaanku kini mungkin tak lagi kau hirau, namun mengapa tak kau buang saja?
Agar segera hancur semua kenanganmu sendiri dan pastinya kenanganku bersamamu.
Terapung pada sungai sambil sesekali meluruhkan tubuh. Entah terhantam padas,
atau terpatuk ikan-ikan kecil. Itu lebih menyenangkan daripada kau diamkan saja
di sini. Tak berhimpit. Seolah menyalahi kodratku sendiri”
Malam ini Tuan datang. Seperti biasa. Menyalakan
lampu meja yang benderang di dalam kamar remang. Tak sempat Tuan berganti baju.
Hanya melepas sepatu dan dasi. Aku mengharap Tuan menghampiriku. Menjamahi,
berdendang, dan kemudian meninggalkan noktah untuk terakhir kalinya. Beberapa
yang lain juga berharap seperti itu. Tak hirau seberapa banyak kepulan asap dan
abu yang nantinya memberikan sedikit rasa perih pada tubuh kami. Sayang, Tuan
lebih tertarik dengan perangkat modern nan erotis itu. Sebuah perangkat yang
konon katanya mampu menyediakan segala kebutuhan mahluk seperti Tuan.
Parasnya memang lebih menggoda. Tuan tak hanya mampu
menyentuh dan atau sesekali membolak-balik seperti apa yang tuan lakukan
padaku. Dengannya tuan mendapatkan sesuatu yang lebih sensual. Tuan mampu
merabai tiap bidang yang berstektur, menekan entah perlahan ataupun keras.
Menggesernya sesering mungkin. Semua indera peraba mampu aktif dengannya. Dari
sini wajah tampan tuan terlihat sesekali berkelip ditempa cahaya yang tepat
terpancar di depan muka. Aku bisa membayangkan betapa erotisnya subjek yang
mampu mengeluarkan cahaya gemerlap itu. Senyum yang mengembang tatkala
perangkat modern itu berkelip menempa garis wajah yang menonjol milik tuan,
membuatku semakin ingin melompat-menghambur-mendekap kemudian meresapi lagi
sejuknya mata yang merabaiku. Na'as, keinginan itu hanya membuat rindu di hati
ini semakin pejal menusuki. Serasa sakit tak berujung. Putus asa rasanya; ingin
segera beranjak dari sini. Tapi tak bisa. Tuan.
Tetangga sebelah, aku bisa melihatnya dari jendela
yang tak pernah lagi kau tutup kelambunya. Di ujung sana, yang sepertiku masih
saja bisa menikmati belaian lembut tuannya. Saat cahaya mentari pagi menerobos
dedaunan, dan kemudian menghangatkan ruangan itu. Saat itulah tuan mereka
berdendang, membelai, memaknai tiap kisah di antara keduanya. Tak berhenti saat
itu saja. Kala senja merapat, masih saja ada aktifitas yang menyenangkan di
antaranya. Aku merindukan yang seperti itu, seperti di balik jendela tuan.
Tahukan tuan? Tubuh ini mengering tanpa belaian tinta kasih sayangmu lagi. Tiap
pori-poriku semakin merapat, sehingga terlihat kusut. Pada ruang-ruang kosong
yang tuan tinggalkan, mulai ditumbuhi titik noda yang bertebaran. Bukan
inginku. Titik noda tumbuh dengan sendirinya, mungkin karena sedang berharap
pada Tuan yang lain. Tuan yang ada di balik jendela itu.
Sudilah kiranya sejenak tinggalkan perangkat modern
yang erotis itu. Karena kini aku sudah tak jenak dengannya. Dengannya kau
terlalu banyak menyisihkan waktu, sehingga aku yang di sini merasa rindu
sekaligus cemburu. Sudilah beranjak mendekatiku. Menumpahkan tintamu yang sudah
mulai mengering itu. Memberikan noktah kala menyudahi aku. Sudikah Tuan?
Sekedarnya saja untuk mengobati rasa rindu yang semakin hari semakin menggebu
ini. Akan aku lentangkan tubuh ini agar tuan leluasa menjamahi dan bisa
sepuasnya meniti tiap sisinya. Sejenak saja Tuan. Maka akan melembab lagi
ruang-ruang yang sebelumnya telah mengering. Barang satu atau dua menit saja,
aku bahagia tuan. Karena kebahagiaanku adalah saat terjamahi tat kala telah
lama tuan berpaling. Itu saja tuan.
Sebuah mukjizat datang menghampiriku malam ini.
Sesaat setelah Tuan menutup pintu, sorot matanya langsung tertuju padaku. Bukan
perangkat erotis itu. Perangkat yang membuat seluruh isi ruangan ini muram, dan
cemburu di dalam hatiku. Tuan mendekatiku. Rasa hati ini berbunga-bunga.
Seluruh isi ruangan ini seolah terhenyak melihat sesuatu yang sedikit janggal;
meskipun beberapa bulan yang lalu hal ini adalah hal yang lumrah. Tuan
menjamahiku. Ah... mendesir darah ini sampai ke ubun-ubun. Seolah aku perawan
yang terbuai jejaka kala berbulan madu di atas perahu kecil di tengah telaga.
Tiap sentuhan mampu mempercepat detak jantung, memompa darah yang berlomba
mencapai puncaknya. Tuan membolak-balik tubuhku. Ah... ini yang telah lama aku
rindukan. Genggaman erat tangan kekar itu membuatku tak berdaya. Kepulan asap
rokok yang dulu serasa mengganggu kini bak semerbak aroma nafas yang sedang
diburu birahi. Abu yang tak sengaja jatuh di tubuhku kini tak terasa perih,
malah membuai. Tuan …
Agh! Tangan tuan terlalu kuat menarikku. Sontak
semua yang ada di sini terperangah. Suasana menjadi ribut. Tarikan yang
berulang-ulang membuat tubuhku menjadi beberapa bagian; robek. Tuan mengepali
bagian-bagian yang tak mampu tuan hancurkan. Dengan geram tuan menuju ke arah
jendela. Dengan paksa membuka kait penguncinya yang telah aus. Setelah terbuka
tuan menghanyutkan aku pada sungai yang mengalir di balik jendela. Tuan, bukan
ini yang aku inginkan. aku merindukan babak sebelum kau menghempasku di sini...
Lamat-lamat dari kejauhan, aku mendengar suara
perempuan yang baru saja masuk ke dalam ruanganmu. Sepertinya dia sedang kalap.
Aku mengenal suara itu. Masih terdengar dari sini, bahwasanya perempuan itu
sedang mencariku. Mungkin sedang mencari sesuatu dariku. Sebuah kisah
perselingkuhanmu dan foto seorang gadis lain yang kau simpan dalam tubuhku. Ya,
jika saja tuan beberapa hari yang lalu mau menjamahiku. Akan aku sampaikan pada
tuan, bahwa perempuan itu mendapati foto perempuan lain selain dirinya di dalam
tubuhku. Tapi sayang, tuan telah mabuk dengan perangkat erotis itu. Maaf tuan.
Meskipun ada gadis lain di dalam tubuhku, meski ada gadis lain yang tuan jamahi
selain diriku, meski kini telah terhempas karena tanganmu. Tuan, aku tetap
merindumu. Merindukan bait kisahmu yang selalu kau tuliskan pada tubuhku. Entah
kisah suka maupun duka. Karena itulah kodratku sebagai buku diary mu.
Malang,
8 Juni 2014
Di kalangan sanggar teater dan kepenulisan wilayah lokal
Malang Raya lebih dikenal Jose Rizal daripada nama aslinya Yusrizal Helmi. Akun
FB yusrizalhelmi@rocketmail.com.
Blog http://cantingjo.blogspot.com.
Pernah mendapatkan penghargaan penulisan naskah fragmen budi pekerti terbaik se - Jawa Timur. Maret 2014
menerbitkan kumcer berjudul TETAS. Sedang dalam proses menyelesaikan Novel
berjudul “Tentang Seribu Lalat Yang Tak Pernah Mati”
Mampir :D
BalasHapusehh, ada Bang Joss.. makasi udah mampir bang :)
BalasHapus