Fallin’ in
Love
(Oleh
Queen Elsa)
(Cerpen Dalam Buku "CANTIK")
Aku
memandangi bayangan diriku di hadapanku. Otakku masih berpikir keras, sementara
pria gemulai di belakangku memainkan gunting dan jepit rambut. Ia menatapku
dari cermin. “Mau model seperti apa?” tanyanya dengan suara agak dibuat-buat.
Tubuhku kaku, lidahku tak bisa menjawab. Kupandangi rambut panjang kecoklatan
yang membingkai wajahku. Cantik. Setidaknya itu menurutku.
“Bagusnya?”
kataku balik tanya sambil memainkan ujung rambutku. Aku berharap ia memberi
solusi yang terbaik karena ia mungkin sudah ahli dalam bidang ini. Pria tinggi
kurus itu memerhatikan wajahku atau mungkin lebih tepatnya bentuk wajahku. Ia
menggeleng. Aku meraih ponselku dan mencari foto Taeyeon SNSD saat masih
berambut pendek yang kusimpan dalam galeri ponselku, kemudian menunjukkannya
pada pria di belakangku. Ia tersenyum dan mengangguk-angguk pelan menandakan ia
sangat ahli dalam bidang itu.
Ia mulai
memainkan guntingnya di rambutku. Beberapa menit kemudian ia melepas kain tipis
yang menutupi bahuku dan rambutku sudah tampak seperti Taeyeon SNSD meskipun
wajah kami sangat berbeda. Kuakui aku sangat puas dengan hasilnya. Aku
memainkan poni tipis yang kini lebih pendek dan lebih rapi dari sebelumnya.
“Sudah cantik” ujarnya ceria melihat hasilnya yang tidak mengecewakan.
Aku
tersenyum meninggalkan salon itu. Semoga
kau bisa melihatku sedikit saja. Kataku dalam hati. Sebenarnya aku sangat
menyayangi rambutku yang jatuh terbuang, tapi ini semua kulakukan demi dia yang
sudah menyita perhatianku, Wicky. Nama yang unik bukan? Seunik yang punya nama
itu. Ia tidak begitu tinggi tapi punya aura yang luar biasa menenangkan di
setiap langkahnya. Saat ia berjalan, semuanya tampak terdiam dan memusatkan
perhatian hanya padanya. Saat ia
tersenyum, waktu seolah berhenti atau mungkin hanya waktuku yang berhenti
hingga membekukanku. Itu hanya menurutku saja. Baru kutahui bahwa ia menyukai
gadis berambut pendek. Itu sebabnya aku mendatangi salon sore ini dan
memendekkan rambutku.
***
Aku berjalan melambat begitu
melewati kelasnya saat hendak menuju kelasku di sebelahnya. Dengan sedikit sok
asik aku meninggikan volume suaraku berharap ia melihatku dan menyadari
perubahan yang menurutku cukup signifikan dariku. Tapi sepertinya cara itu
belum berhasil.
Siangnya, seusai mata kuliah pertama
aku kembali membuat keributan kecil dengan geng-ku berharap ia melihatku dan
tertarik padaku sedikit saja. Kulihat dari ekor mataku, ia memang melihatku.
Entah apa yang ada di pikirannya tapi ia seperti mulai menyadari sesuatu yang
berubah dariku. Namun, ia berlalu meninggalkan aku dan gengku tanpa senyum atau
respon apapun. Mungkin yang ada di pikirannya aku ini orang yang cerewet dan
berisik.
Beberapa menit kemudian, ia kembali
bersama teman-temannya. Dari pembicaraannya, mereka tampak sedang membicarakan
sesuatu yang seru.
“Aku
menyesal tidak melihat penampilan Dasom semalam”
“Aku tidak
menyangka kau salah satu dari mereka penggemar K-POP” ujar yang lain sambil
menepuk bahu Wicky cukup keras.
“Aku masih
normal, kalau melihat yang cantik juga pasti tertarik” pembicaraan mereka mulai
tak terdengar seiring langkah mereka yang semakin menjauh menaiki tangga. Satu
lagi informasi yang kudapat secara tidak langsung darinya. Ia menyukai Dasom,
atau mungkin gadis dengan korean style.
Mungkin kau
sudah bisa menebak apa yang kulakukan malam ini. Yup! Mencari foto-foto Dasom
dan mendownload tutorial make up ala korea. Aku tidak pandai dalam hal ini,
tapi aku harus melakukannya. Tidak ada salahnya. Aku akan ambil positifnya,
jika Wicky tidak juga melihatku setidaknya aku sudah bisa merias diriku dan
tampak lebih segar dan tidak pucat.
Keesokkan
harinya, aku bak menjadi salah satu artis VIP dalam Grammy Award. Kukira ini
biasa saja, karena pastinya masih ada seorang yang make up-nya lebih dariku.
Tapi kurasa semua orang memandangiku hari ini. Kupercepat langkahku untuk
menuju toilet. Kuperhatikan mataku yang kini terkesan membesar karena eyeliner
yang kugoreskan cukup tebal dan panjang dengan ujung yang meruncing menyerupai
sehelai daun. Bulu mata yang terbuka lebar hingga menunjukkan softlens berwarna
abu-abu yang kupakai. Alis yang kini terbentuk rapi namun masih terbilang
wajar. Tidak seperti seorang yang─kau tahu aku biasanya menyebut pagar ayu bagi
penyambut tamu di acara pernikahan. Bedakku juga masih tidak setebal artis yang
hendak konser, hanya saja mampu menghasilkan kulit wajahku yang lebih licin dan
mulus. Dan merah gincu yang kuoleskan pada bibir tipisku.
“Audrey,
kurasa kau pasti sudah gila” aku bicara pada orang yang sangat mirip denganku
di dalam cermin. Aku menjambak rambutku sendiri. Dengan mengumpulkan keberanian
kulangkahkan kakiku keluar dari toilet, dan memandang kembali setiap orang yang
memandangiku dengan tatapan aneh termasuk…Wicky. Ya dia melihatku. Tidak, lebih
tepatnya memerhatikanku. Aku tidak bisa mengartikan tatapannya itu, tapi ia
berlalu begitu saja saat aku membalas tatapannya.
“Audrey, kau
tahu? Seharusnya kau tidak perlu melakukan hal sejauh ini. Kalau Wicky memang
menyukaimu, ok let’s say tertarik padamu, dia akan mendekatimu tanpa kau harus
melakukan ini─bukan dirimu” kata salah satu temanku. Ada benarnya juga
perkataannya. Aku sendiri tidak menyangka aku berani melakukan hal-hal yang
tidak pernah kulakukan sebelumnya. Kurasa hati dan pikiranku sudah terlalu terpaut
padanya hingga aku sendiri tidak bisa mengenal diriku. Seperti terhipnotis
rasanya. Mungkin dia sudah memberiku love
potion yang ia dapat dari Romilda Vane dan meletakkannya ke dalam makanan
atau minumanku. Lihat? Aku sudah gila kan? Mana mungkin orang dengan penuh
logika seperti Wicky memberiku love
potion.
Seusai jam
kuliah, kupandangi lagi diriku di cermin. Kuharap tak ada seorang pun yang
masuk. Kurasakan mataku mulai memanas. Bibirku bergetar. Aku membuka mulut.
“Sulit
sekali mendapat perhatian darimu. Aku tidak tahu apa maumu, tapi aku berusaha
menjadi seseorang yang kau mau dan hanya menyenangkanmu, Wicky” kutumpahkan
tangisku dengan membenamkan wajahku dengan kedua tanganku. Aku membungkukkan
tubuhku ke meja wastafel. Tiba-tiba seseorang menarik tanganku. Kejadian itu
begitu cepat, hingga aku mendapati diriku tengah berada dalam toilet dengan
pintu tertutup dan di hadapanku sekarang ada Wicky. Ia meletakkan jari
telunjuknya di depan bibirnya.
“Apa yang
kau lakukan di toilet perempuan? Kau mendengarnya? Semua yang kukatakan tadi?”
tanyaku ragu. Ingin rasanya aku memukuli tubuhku sendiri yang bodoh ini. Ia
hanya mengangguk pelan. “Aku hanya…” belum sempat aku menyangkal, dia sudah
bersuara “Apa kau serius dengan ucapanmu tadi?” kami sama-sama terdiam. Ia
terlihat menunggu jawabanku, sedangkan aku masih berusaha mencerna
pertanyaannya. Masalahnya aku sulit berkonsentrasi. Ternyata ia terlihat sangat
tampan dan lebih menarik jika dilihat dari
jarak sedekat ini.
“Ehm!” ia
berdehem meminta jawabanku. Aku mengangguk cepat dan yakin. Kedua sudut
bibirnya terangkat dan memamerkan deretan giginya yang rapi dan tampak putih.
Entah apa yang sudah merasuki kepalaku, tanpa kusadari aku mengangguk “Kalau
begitu tetaplah seperti ini. Aku menyukai Da Som, kau tahu? Jika kau mampu
terlihat mirip atau jika aku melihatmu aku teringat pada Dasom, aku mungkin
akan tertarik padamu” ia tersenyum mengakhiri kalimatnya. Lagi-lagi aku tidak
bisa mengartikan senyumnya itu.
Setelah hari
itu, aku mulai mengubah penampilanku. Aku jadi sering memakai rok span selutut
ke kampus supaya terlihat rapi dan cantik pastinya. Aku juga memakai high heels
setinggi tujuh sentimeter karena memang itulah batas maksimal di kampus ini.
Walaupun begitu aku sulit mengimbangi jalanku dengan sepatu yang lebih mirip
perahu ini.
Sebagian
memandangiku mungkin karena menilaiku cantik, tapi ada juga yang memandangku
aneh. Aku tidak peduli, yang kupedulikan adalah penilaian positif dari Wicky.
Tak jarang aku mendengar gumaman sekelompok gadis tentang diriku.
“Kau tau kenapa dia akhir-akhir ini
berubah?”
“Pasti karena ia sedang jatuh cinta
pada seorang pria. Kudengar, seorang gadis bisa saja kehilangan dirinya karena
pria.”
“Apa menurutmu itu wajar? Menurutku
tidak. Ia tampak seperti seorang gadis murahan yang sedang mengejar cinta
seorang pangeran meskipun aku tidak tahu pria seperti apa yang ia cintai.
Menyedihkan!”
Sekelompok gadis itu pergi. Aku
keluar dari tempat persembunyianku. Kembali kutatapi diriku dalam cermin.
Memotong rambut, memakai riasan, memakai baju yang berbeda dari yang biasa,
memakai high heels setiap hari demi Wicky, tidakkah itu cukup? Tanyaku dalam
hati. Aku memang belum mendengar bahwa ia tertarik atau menyukaiku. Haruskah
kusudahi sandiwara ini? Ini bukan diriku yang sebenarnya. Air mataku menetes
dan menjadi kehitaman karena eyeliner di bawah mataku.
Dengan mata sembab sehabis menangis
kutunggu Wicky keluar dari kelasnya. Begitu aku melihatnya keluar, ia sudah
langsung melihatku. Mungkin karena gayaku yang sedikit nyentrik dibanding yang
lain. “Ada apa?” tanyanya pelan sambil tersenyum. Kutarik napas dalam-dalam dan
berusaha berbicara tanpa suara serak. “I
quit” kataku sambil mengangkat kedua tanganku ke udara “Aku tidak bisa
seperti ini terus. Aku ingin mengakhirinya” kataku susah payah.
Ia hanya menyeringai. Ia memasukkan
tangannya ke dalam saku celananya. “Tidak masalah. Tapi harus kuakui aku mulai
menyukaimu dan ada sesuatu yang ingin kuberitahu padamu. Aku menyukai gadis
penyuka minuman dan mau berbagi pengalaman minumnya denganku. Aku suka gadis
yang kuat” Wicky melangkahkan kakinya dan meninggalkanku. Kini aku berpikir
lagi, haruskah aku melanjutkan semuanya. Kurasa aku sudah berada di tengah
jalan dan hampir sampai di tujuanku.
Malam itu, aku dengan keberanian
tingkat dewa mengajak Wicky untuk minum di salah satu restoran favorit ayahku.
Setelah makan beberapa hidangan.Wicky memanggil pelayan dan memesan soju. What? Soju? Aku belum pernah meminumnya.
Kukira ia akan mengajakku minum red atau wine atau rose wine yang setidaknya
pernah kutenggak beberapa teguk saat acara keluarga. Minuman itu tidak pernah absen dalam acara
keluargaku.
Ia menuangkan soju ke gelas
berukuran kecil dan memberikannya padaku. Dengan ragu aku meminumnya. Rasanya
aneh, aku hampir memuntahkannya. Lidahku tidak bisa biasa menenggak minuman
yang bau alkoholnya terasa nyata ini. “Aku suka gadis yang kuat” katanya sambil
terus menuangkan soju itu ke dalam gelasku dan bersiap menuangkannya lagi saat
gelas itu masih menempel di bibirku.
Aku menyerah. Aku mengangkat
tanganku ke udara. “Wicky, aku sudah tidak bisa lagi” kataku. Aku mulai merasa
ruangan ber-AC itu panas, dan napasku sudah benar-benar bau soju. Aku hampir
muntah karenanya. Kujatuhkan wajahku ke meja. “Kau tidak cukup kuat, Drey.
Maksudku aku menyukai gadis yang kuat. Tapi ternyata kau tidak cukup kuat untuk
melawan dirimu. Kau mengiyakan perkataanku begitu saja walau kau tahu secara
fisik kau tidak bisa melakukannya. Kau tidak cukup kuat untuk melawan pikiranmu
dan mengikuti perasaanmu. Kau tahu selama ini aku hanya mengetesmu? Akan
kubayar bill-nya dan kupanggilkan taksi untukmu”
“Tidak perlu” sergahku cepat. “Aku
bisa pulang sendiri atau meminta kakakku menjemputku” aku membiarkan Wicky
meninggalkanku. Sementara aku masih menempelkan pipi kananku ke meja yang
terasa dingin. Ternyata sesakit ini rasanya mencintai. Lalu kenapa yang lain
terlihat begitu bahagia saat mereka sedang jatuh cinta. Kenapa aku merasa sakit
dan sia sia seperti ini? Apa karena aku mencintai orang yang salah? Aku
mencintai orang yang tidak tepat? Kalau tahu begitu, aku tidak mau merasakan
jatuh cinta. Jatuh cinta? Apa itu cinta? Ada kata jatuh di depannya. Huh!
Pantas saja terasa sakit. Jatuh memang sakit.
Kukumpulkan sisa tenagaku dan
berlari menuju toilet karena perutku mulai bergejolak memaksa mengeluarkan apa
saja yang ada di dalamnya untuk keluar lewat mulutku. Setelah puas menumpahkan
semuanya kubasuh wajahku dengan air yang mengalir dari kran wastafel. Lumayan
segar, aku pun sudah sadar sepenuhnya walau sepertinya mataku memerah.
“Audrey?” panggil seseorang. Aku
membalikkan tubuhku. “Bryan?” entah apa yang sudah kuperbuat, hingga Tuhan
memertemukanku dengan Bryan yang menawarkan diri untuk mengantarku pulang saat
aku masih kurang seimbang seperti ini. Bryan adalah teman SMA-ku. Kami sekelas
waktu itu.
“Apa kau…sefrustasi itu?” tanyanya
hati-hati sambil memandangi wajahku yang merah. “Tidak juga” sahutku ragu. “Aku
hanya…ehm bereksperimen” lanjutku asal.
Bryan membukakan pintu mobilnya
untukku, seseorang menarikku saat hendak menaiki mobil Bryan. “Wicky? Kukira
kau sudah pulang” kataku mengerutkan kening. “Siapa dia?” tanya Bryan menutup
kembali pintu mobilnya.
“Wicky” jawabku singkat yang
menyebalkan karena mungkin yang ditanyakan Bryan adalah status Wicky denganku, dan
percayalah aku tidak peduli lagi.
“Aku akan mengantarnya pulang,
karena kami datang bersama tadi. Tadi aku keluar sebentar, dan sekarang Audrey
harus pulang denganku” Bryan hanya melihatku ditarik Wicky menjauhi mobilnya.
Bryan pamit dan melambaikan tangannya sembul masuk ke BMW-nya. Menit
berikutnya, mobil itu dengan cepat menjauh dan menghilang dari pandangan
mataku. “Dan sudah pergi” kataku sambil memonyongkan bibir.
“Audrey, apa kau benar-benar akan
menyerah?” aku mengangguk yakin. Wicky tampak terdiam. “Kenapa?” tanyanya polos
dan aku sangat membencinya. Dia masih bisa tanya kenapa? Aku mendengus.
“Kenapa? Karena sulit sekali dan….sakit sekali rasanya. Kurasa aku jatuh cinta
pada orang yang salah. Tidak, seharusnya aku memang tidak usah jatuh cinta
karena jatuh itu sakit”
“Kalau begitu hilangkan kata itu.
Kau tidak perlu jatuh cinta padaku, kau hanya perlu mencintaiku. Mengerti?” aku
mengangguk walau sebenarnya belum sepenuhnya mengerti. Hold on! Bukankah seharusnya kita jatuh cinta dulu baru bisa
mencintai? Ah! Ini semakin rumit saja. “Would
you be my girl? Harus kuakui aku jatuh cinta padamu saat kau mulai mengubah
dirimu. Tapi aku tak tahu cara menghadapi orang yang kusukai. Kau terlihat
cantik, tapi itu bukan berarti aku tidak mencintaimu apa adanya. Hanya saja aku
jatuh cinta padamu dengan cara itu. Maaf kalau aku telah menyakitimu”
“Kau bilang hilangkan kata ‘jatuh’
karena jatuh itu sakit”
“Dengar, aku tidak peduli pada hal
itu, jawab saja sekarang!” Wicky mulai kesal. Aku tertawa kecil. Kuanggukan
kepalaku yang sudah terasa berat dan kurasa itu sudah cukup dianggap jawaban.
Kami berjalan menuju rumahku. Sudah selarut ini tidak ada taksi atau angkutan
umum lainnya. Tapi tidak apa-apa, rumahku tidak terlalu jauh dari ruko ini. Dan
baru kusadari bulan terlihat sangat indah malam ini, apalagi aku sedang
memandangnya bersama pria tampan di sebelahku
yang sedang mengenggam tanganku ini.
Wicky aku
jatuh cinta padamu, aku tidak akan takut jatuh cinta lagi padamu jika rasanya
sangat membahagiakan seperti ini. Karena aku jatuh cinta setiap kali melihatmu.
Ah! Mungkin aku tidak cukup untuk mengungkapkan semuanya. Pada intinya, I’m fallin’ in love with you, Wicky.
*** SELESAI ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar